5. Tidur

19K 568 29
                                    

Aku tenggelam dalam kekalutan besar saat ia meninggalkanku sendirian.

Terlambat bagiku untuk mudur.

Terlalu banyak yang harus kuselamatkan, sehingga harus mengorbankan diri seperti ini.

Satu-satunya jalan, hanya berhenti mementingkan diri sendiri.

Saat amarah akan diriku sendiri memuncak, ia kembali masuk.

"Turunlah, kau perlu makan" katanya lembut, tapi tak memandangku sama sekali.

Aku menatapnya tidak suka dan sudut bibirku terangkat mengejek "Cih, jangan berlagak seakan kau peduli" kataku penuh penekanan kebencian.

Siapa yang bisa menebak ia langsung menarik lenganku, dan menyeretku dengan kasar.

"Apa yang kau lakukan?" pekikku kaget "lepas. Lepaskan aku. Aku bisa berjalan sendiri" kataku lagi dengan lebih jelas "Lepas"

Aku meronta dan memohon melepaskan diri, tapi ia terlalu keras kepala untuk mengalah.

"Aku juga tidak sudi kau sentuh, asal kau tahu saja" pekikku makin keras agar ia melepaskanku "jikalau tidak terpaksa, aku juga tidak bakal ada disini. Laki-laki lembek bertampang datar sepertimu tidak bakal membuatku tertarik sama sekali, sialan. Meski hanya kita berdua yang berada di bumi, aku bakal biarkan saja umat manusia punah. Aku sungguh tidak peduli" teriakku sekuat tenaga sambil menahan kaki kuat-kuat kelantai.

Ketika hampir sampai ke pintu keluar ia berhenti dan aku jadi tidak sengaja bertubrukan dengan punggungnya.

"Aduh" kataku mulai menggaduh "Kalau mau berhenti harusnya kasih aba-aba" kataku memegang kening yang berdenyut.

Aku mengangkat kepala dan menyadari matanya tertuju padaku, memandang, memperhatikanku dari ujung kaki hingga kepala, sudut-sudut bibirnya terangkat tidak senonoh, kelaparan dan menerkamku.

Aku mulai merasa terancam, apalagi hanya mengunakan kemeja miliknya.

"Benarkah, huh?" tanyanya berat dan berjalan mendekat.

"A... Apa?" aku tergagap. Pupilku melebar sedang kakiku bergerak mundur ketakutan.

Ia mengangkat ujung kaos yang ia pakai lalu meloloskannya kekepala tanpa berhenti mendekat ataupun memandang nakal.

"Apa yang kau lakukan" pekikku tidak percaya. Ia bertelanjang dada mempertontonkan otot-otot perut dan dada bidangnya yang terlatih dan bagus, membuatku meneguk saliva.

"Menurutmu?" cetusnya main-main.

Ujung jariku terasa dingin bersentuhan dengan tembok, jalan buntu, dan aku berakhir terjebak diantara dirinya dan tembok, meski sudah berusaha melarikan diri, tapi ia menarik tanganku dan memepetku ke tembok.

Mencoba keras menenangkan pacuan jantungku yang makin ngebut, aku menunduk dalam-dalam, membuang muka dari seringainya yang menelanku bulat-bulat.

Aku terkesiap menahan nafas, tangannya sudah berada dibagian dalam pahaku, bergerak makin ke atas dengan lambat, ia mengelus bagian paling sensitif bagiku. Seluruh rambut di tubuhku meremang oleh perlakuannya.

Ia makin memepetku sehingga kulit kami saling bersentuhan.

Tubuhnya yang tinggi besar itu makin didesakkanku, sebelah kakinya menggeser kakiku agar terbuka lebar dan ia makin menempelkan tubuhnya. Aku merasakan sesuatu yang teras sudah tertekan ke pangkal pahaku, dan ia mulai menggesekkan dengan diriku.

"Kumohon lepaskan aku... Argh"

Sensasinya aneh saat ia tak henti-hentinya melakukan gerakan lambat berima yang berimbas pada mulutku terbuka dan satu desahan lolos dari sana.

Rasanya...

....menyenangkan.

Ditengah-tengah sensasi nikmat tersebut tiba-tiba ia berhenti dan mengangkat kerah kemeja yang kugunakan dengan kasar.

Bagian paling dalam dariku, sangat dalam, dan baru kusadari kehadirannya merasa sedikit kecewa.

"Lepas" pekikku mulai histeris dan meronta lagi. Membuat ia makin tersenyum aneh.

"Kau akan menikmatinya sayang" suaranya mulai gelap dan tak lagi bisa dikenali. Tatapannya dipenuhi gairah yang buncah.

Sialan, ibunya pasti sudah buta. Apanya yang gay, anaknya jelas-jelas penuh nafsu dan kasar.

Tanpa peringatan atau aba-aba apapun ia menciumiku dengan paksa, melumat bibirku keras.

Aku mengeluarkan suara "Hmmp" tapi tertahan mulutnya yang agresif membabi buta sehingga yang terdengar hanya gumaman tak jelas bercampur desahan.

Lidahnya memaksa untuk masuk, meski aku menolaknya, namun tubuhku terlalu hanyut didalamnya.

Permainan lidahnya yang handal, tangan yang dengan kuat menahan tekukku kokoh membuatku tidak bisa berbuat apa-apa.

Meski tanganku yang bebas terus memukul, mendorong, mencakar, atau melakukan apa saja agar ia menghentikan tindakan brutalnya, tak satupun usahaku membuahkan hasil. Bahkan malah membuatnya makin tertantang menaklukkanku dalam belaian lidahnya di lidahku.

Kakiku mulai kehilangan pijakan, aku merasa melayang dan tulang-tulangku kehilangan fungsinya. Sekuat tenaga aku mencoba memposisikan diri agar tidak merosot kelantai dengan mencengkram lengannya ketika ciuman itu makin dalam dan intens, memberikan kesempatan padanya untuk meremas dua bukit kembarku, menjalar ke bokongku. Ia melakukannya dengan cepat dan mengairahkan.

Ereksinya makin mengeras dan makin ditekankan padaku, membuat sekujur tubuhku panas.

Ketika ia benar-benar butuh udara ia melepaskan ciuman itu dan menyandarkan dahinya di dahiku.

Aku terengah-engah sama seperti dirinya. Dan terdiam sambil berpacu nafas.

*

Aku terbangun dan mendapati dirinya yang memandangku.

Jay sykes yang dikira Gay oleh ibunya sangat gila di ranjang, membuatku kewalahan.

Laki-laki yang memaksaku kejang-kejang tiga kali itu sudah berpakaian lengkap dan sepertinya sudah selesai mandi.

Ia menyeringai dengan kedua tangan terlipat didepan dada "Beberapa saat yang lalu kau masih perawan,huh?" cetusnya penuh kemenangan.

Aku tarik selimut dan menutupi wajahku yang memanas, aku begitu malu dan merasa bersalah.

Benar kata orang, terpaksa seorang wanita berhubungan badan bukan soal tubuhnya, tapi soal batinnya yang dikoyak-koyak.

Aku sudah melanggar etika dasar keluargaku.

Aku merasakan ia mengusap kepalaku dengan lembut "Mandilah, aku sudah menyiapkan air panas untukmu dan juga pakaian bersih, meski itu hanya pakaianku. Turunlah jika kau sudah selesai"

Ia keluar dari sana dan aku segera bangkit dan mengunci pintu.

Isakku pecah saat menyadari diriku merasa nyeri di sana.

Berendam air panas memang mampu meredamkannya dan membuatku lebih rileks.

Pekerjaanku memang sudah selesai, tapi tak sedikitpun aku merasa lega. Malah dilanda rasa bersalah dan dihadang penyesalan yang besar.

FIRE OF DECEIT ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang