Slamet Lan Sugih Eps 1

262 7 0
                                    

  “Bahahahahha…bajigurrrr!!! berarti tadi kamu makan tiga?” Arman bertanya pada Budi, teman satu kamarnya. “Hehehehe….iyo. Ya mau gimana lagi, uangku juga sudah nipis nih,” yang dipanggil Budi menjawab dengan cengengesan. “Lah emang kamu nggak pernah kayak gitu juga Man?” ganti dia bertanya. “Gak lah,” jawab Arman dengan muka serius. Budi langsung  tidak enak  hati.

     “Gak pernah kalau cuma sekali. Tiga kali ada heheh,” kali ini wajah arman terlihat merah agak malu.

“Jiaaaahhh dasar! Gue pikir cuman gue yang makan tiga bayar satu !” dan meledak lagi tawa kedua mahasiswa yang sedang bokek itu. Keduanya baru saja pulang dari ngangkring di angkringan Lik Slamet seberang kost mereka.

“Wis ah, tobat-tobat besok jangan gitu lagi. Dosa juga ku pikir-pikir,” Budi yang berasal dari Jakarta itu masih tertawa kecil.

“Izzoooo….besok bulan depan kita bayar lunas. Sekarang tulis dulu sudah berapa yang ditilep,” teman sekamarnya yang asli Kulonprogo itu juga masih terlihat geli dan tak lama membuka sebuah buku catatan kecil, kelihatannya dia mencatat sudah berapa nasi kucing dan gorengan yang dia makan dan tidak dibayar.

Budi melongo dan menggelengkan kepalanya dengan perasaan geli. Kadal nih anak, ternyata sudah lama dia punya kebiasaan ^nggabrul^ makanan.

Daftarnya cukup panjang. Dan kecurigaan lainnya mulai muncul.

“Lah kok banyak Man?” tanyanya.
Arman sedikit tergagap, tidak disangkanya Budi mengintip dari belakang. “Woh hehe iya, nanti aja bayarnya kalau sudah lulus dan dapat kerja,” jawabnya ringan.

Budi menepok jidatnya dan geleng-geleng. Gile lu Man. Digaruk-garuknya kepalanya yang tidak gatal dan dengan kikuk dia mengambil salah satu buku catatan kuliahnya dan mulai menulis di bagian belakang hutang terselubungnya pada Lik Slamet.

Tentu saja dengan kode-kode yang hanya dia sendiri yang tahu. Malam itu ditulisnya Bkw 2, St us 1 , Dibaca: bakwan dua biji, Sate usus 1. Tadi yang dia makan adalah 3 biji bakwan dan dua sate usus serta dua bungkus nasi kucing.
Lik  Slamet adalah pahlawannya. Diam2  dan sungguh2  dia berjanji utk membayar  hutangnya.

Slamet Lan Sugih bin Joyosentono adalah nama yang tidak biasa di kalangan orang Jawa apalagi Klaten. Tetapi simbok dan bapaknya percaya kalau sebuah nama adalah doa sehingga jangan sekali-kali sembarangan dalam memberi nama. Nama itu adalah titel pengharapan seumur hidup.

Nama lelaki usia dua puluh sembilan tahun itu cukup panjang untuk dilafalkan sehingga orang sekitarnya biasanya hanya cukup memanggilnya dengan Slamet .

Bener-bener pilihan nama yang tepat karena setiap kali nama itu diucapkan, apalagi dengan penuh kasih sayang, maka alam semesta pun akan mengamini.

Akan tetapi pada usianya ini,  belum ada tanda-tanda nama ketiganya terwujud, yaitu Sugih atau menjadi kaya padahal jika dipikir dan dikalkulasi jika satu hari orang memanggilnya dengan nama Sugih sebanyak sepuluh kali maka total jendral sudah lebih dari delapan ribu kali orang mendoakannya menjadi kaya.

Sayangnya, orang-orang sekitarnya lebih senang dan sreg hatinya memanggilnya dengan nama depannya, Slamet. Jadilah ia selalu Slamet sampai hari ini tetapi ketinggalan sugihnya.

Tak mengapa. Kedua orang tuanya sudah cukup bahagia memiliki anak semata wayangnya yang menjadi tumpuan hidup mereka di masa tua kelak. Tetapi, sudah bertahun-bertahun belakangan ini mereka cukup pusing dan sendu memikirkan keberadaan anak lelakinya yang tak jua ingin segera rabi atau menikah.

Kenapa. Kenapa. Apa tidak ada perawan di Cawas yang tertarik pada lirikan matanya dan sumringahnya senyum Slamet. Giginya sedikit maju ke depan, dan kulitnya tidak begitu kelam.

Di depan mata orang tuanya anak mereka adalah pemuda ngguanteng yang harusnya menjadi idaman para gadis. Kenyataannya para gadis tidak melihat Slamet seperti orang tuanya memandangnya.

Pemuda lugu yang sepertinya pemalu itu terlewatkan dari radar para gadis manis.

Musim kering yang cukup panjang dan sawah yang menolak dibuahi apalagi menghasilkan padi-padi ranum seperti biasanya membuat pusing tujuh keliling para petani handal Cawas yang memiliki hektaran tanah. Apatah lagi orang tua Slamet yang hanya punya satu-satunya petak sawah yang ikut serta bersekongkol dengan sawah lainnya, mogok berproduksi.

Tak ada jalan lain, tak ada pilihan lain. Satu-satunya cara untuk melanjutkan hidup adalah mengikuti jejak Lik Man, pengusaha angkringan tenar seantero Klaten. Keturunan langsung dari Mbah Pairo, cikal bakal pengusaha angkringan di Yogyakarta.

Lik Man dan Mbah Pairo adalah nama yang mumpuni di kalangan penduduk Cawas. Mereka adalah simbol pencari sisik melik jalan tikus menerobos kesusahan karena kemiskinan musiman yang datang bersamaan musim kering.

Jauh sebelum Slamet lahir di dunia fana ini, kedua legenda itu telah membuka Angkringan yang menjadi jujugan, tujuan, hampir setiap orang yang datang ke Yogya. No Lik Man, No Yogya.

Edan ternyata, orang Klaten ternyata supplier ide dahsyat bagi orang Yogya dalam hal strategi bertahan hidup.

Nah Slamet harus segera menyelamatkan status bujang singelnya itu dari nyinyiran para tetangga dan para tetua kerabat dekat dan jauhnya. Wajah boleh pas-pasan. Cinta boleh ditolak (tolak terus).

Tetapi dirinya harus tetap makan. Apalagi simbok dan bapaknya. Berbekal modal menjual beberapa bebeknya dan meminjam simpanan simbok, berangkatlah si pemuda lugu berambut ikal dan bergigi tonggos itu ke Yogya.

Sebuah gerobak yang pemakaiannya bergiliran antara dia dan temannya telah nangkring dengan tampilan tak kalah lugunya dari penjualnya. Tak ada olesan cat, tak ada bubuhan plitur, hanya kayu sederhana yang tertaut satu sama lain menggelar berbagai macam panganan gorengan dan sego kucing.

Para kucing, eh para pelanggannya biasanya datang setelah maghrib usai. Setelah setengah tahun mangkal di sekitaran Kali Code ia mendapat banyak sekali pelanggan: mahasiswa, copet, dosen, seniman, PSK, pengemis, tukang sampah, artis daerah, para santri, sampai para ustadz semua tumplek blek bergantian datang menikmati berbagai macam hidangan khas angkringannya.

Pagi itu dia memasukkan pendapatannya pada kaleng tua bekas biskuit sambil tersenyum kecut sekecut wajahnya yang hanya dibasuh sekenanya. “Ono sing ora mbayar meneh (Ada yang tidak bayar lagi),” gumamnya.

Tapi senyum kecutnya tidak lama bertengger di wajah pas-pasannya itu karena dia masih dapat untung dari perniagaan semalam. Suara Andre Taulani menyenandungkan lagu andalan Stinky-nya yang berjudul Mungkinkah cukup mendayu-dayu dan meredam kemasaman hatinya.

Dari biliknya yang sangat sempit, yang berukuran 2,5 x 2m yang disekat triplek dan memuat tiga orang termasuk dirinya, dia keluar sambil mengalungkan handuk di lehernya. Dia siap antri kamar mandi satu-satunya yang diperuntukkan untuk sekitar sepuluh orang yang tinggal di lokasi yang sama. Slamet memang tinggal di kamar-kamar yang disekat dimana semua penghuninya adalah pedagang angkringan.

Hidupnya memang tidak lebih bebas menggunakan kamar mandi, tetapi hatinya semakin riang dari hari ke hari karena berbagai cerita yang mampir di angkringannya setiap malam.

Cerita yang asyik dan dia adalah pendengar yang dipaksa setia.

Nanti malam adalah kamis kliwon. Biasane  Pakdhe Kirman pembuat kunci di Demangan akan bertandang. Plus Suprapto mahasiswa  UGM . Biasanya duet  keduanya menghasilkan obrolan yg menarik.  Slamet jadi tak sabar menunggu malam tiba.

SLAMET LAN SUGIHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang