Slamet Lan Sugih EPS 2

127 3 0
                                    

Slamet  Lan Sugih

Eps 2

     “Whaaaayyyyyyy do you loooov meee …..so sweeet and ThendHerlyyyyyyy…” suara sedikit cempreng dari Jono pengamen sepanjang jalan sekitaran Code itu terdengar sayup-sayup dari angkringan kecil yang diterangi lampu minyak kecil.

   Bayangan api yang meliuk terkena angin itu seakan-akan mengikuti suara Jono yang sangat medhok / kental dengan logat Jawanya khususnya ketika mengucapkan kata ThendHerleeeyyy, alih-alih mengucapkan /tenderli/.

Dia dan kru ngamennya sedang bernyanyi-nyanyi santai menyender di satu sisi pagar beton kota, menghabiskan malam yang sebentar lagi menuju jam 12.

Tidak ada pengamen yang manggung di angkringan Slamet. Bagaimana mungkin mereka menyanyi dan minta uang di depan teman sendiri. Angkringan Lek Slamet Gondrong, begitu mereka sering menyebutnya, sudah menjadi rumah tempat nongkrong mereka.

Mungkin juga para pengamen itu jatuh kasihan pada penampakan tempat jajan itu yang meskipun ramai tak terlihat ramainya.

Kok bisa. Ya bisa karena satu-satunya lampu minyak hanya menerangi jajanannya dan juga wadah gula tempat Slamet biasa meracik wedang jahenya.

Tak ada lagi penerangan kecuali itu. Wajah-wajah para pelahap jajanan tersamarkan dengan sempurna, plus jumlah jajanan yang masuk ke dalam perut-perut mereka.

Sebagian pelanggan duduk lesehan di sekitar gerobak itu sambil terus menerus mengepulkan asap rokoknya. Nikmat sekali bebas dari hutang, eh maksudnya bebas dari ingatan atas hutang mereka yang menumpuk.

Akibat yang cukup mengkhawatirkan bagi akumulasi omzet Slamet dengan kehadiran kelompok lesehan ini tidak lain adalah tentu potensi berkurangnya pendapatannya karena jumlah makanan yang dihabiskan grup lesehan itu justru semakin menjadi misterius. Tetapi apa daya Slamet.

Kedatangan mereka meskipun hanya membeli satu bungkus kacang goreng bawang saja sudah sangat disyukurinya.

Dia tidak berani menagih makanan dan minuman terlebih dahulu sebelum dinikmati pelanggannya.

Bisa-bisa mereka lari meninggalkannya karena ketahuan tidak bawa uang, eh ya maksudnya hmmm dia tahu tidak semua pelanggannya memang bawa uang. Tapi sebagai orang Jawa dia terbiasa dengan semboyan Ngono yo Ngono ning Aja Ngono / Gitu yang gitu tapi jangan gitu-gitu amat/.

Seperti Rabu kemarin, dia tahu ada yang tidak bayar, tapi dia tidak tahu siapa. Apa Dirno si copet itu atau Misri si pengepul sampah? Dia tidak tahu dan juga mungkin tidak menyangka dua pemuda tengil tampak berkaos rapih yang satu berkaca mata dan statusnya mahasiswa itu yang menilep beberapa barang dagangannya.

Tetapi, siapapun dia, Slamet tidak pantang menyerah berjualan. Dia saja jarang tidur, apalagi Tuhan. Gusti Allah mboten sare.

“Wingi aku ketemu Barsono koncoku,” Kirman mencomot tahu isi goreng yang masih hangat itu sambil seperti biasa menceritakan salah satu pengalamannya pada beberapa pembeli lainnya yang masih betah nongkrong pada hampir tengah malam itu.

“Dia itu,” lanjut Kirman, “Punya koleksi benda kuno banyak. Ada keris, ada cupu, ada akik, wis macem-macem.”

Setelah menelan potongan kedua dari tahunya itu Kirman meneruskan ceritanya “Lah kemarin itu, aku dijak nonton jamasan keris e. lah kok bisa itu keris berdiri sendiri, disediakan kembang tujuh rupa sama air. Wis itu aja. Tapi temenku mbaca mantra apa mbuh aku ndak tahu.”

Miryo yang duduk seberang dia langsung menyambar menimpali, “Yo memang gitu. Beberapa keris sekti memang gitu. Jangankan cuma berdiri, lah wong gelut aja mereka bisa kok. Coba dimasukkan dalam lemari, Setan Kober karo Tilam Putih woooh mesti rame, gelut.”
Tampaknya Miryo tahu beberapa hal tentang keris.

SLAMET LAN SUGIHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang