Slamet Lan Sugih #Eps3

71 2 0
                                    

SLAMET LAN SUGIH
EPs 3

       “Allahu Akbar!!!! astaghfirullahhh !!!Ya Allahh…….pripun Yu enten nopo? (ada apa?) !” teriak Slamet sedikit tersentak.

Kaget bukan main dia ketika tiba-tiba kepala Yu Mudji, istri tetangga bedengnya nongol dengan tiba-tiba dari satu-satunya pintu yang menghubungkan kamarnya dengan dunia luar.

Muka Slamet masih pias dan jantungnya sedikit berdebar karena wajah dengan hiasan keriput disana-sini, rambut putihnya yang disanggul ke atas dan senyum dari gigi yang ompong di beberapa bagian menjadi salam pembukanya ketika dia baru saja membuka mata karena tidur kembali usai subuh.

“Mas iki sate ne munggah regone (naik harganya),” ujarnya, “Apa-apa naik mas regone, yo terpaksa ikut naik.”
“Oh njih-njih Yu. Naik berapa?” Slamet perlahan mulai menguasai dirinya.
“Cuma naik lima ratus perak satune.”
“Oh njih-njih Yu mboten nopo-nopo.” Slamet mengiyakan
“Njih pun Mas. Mangke sonten (nanti sore).”

Dan Yu Mudji pun berlalu, meninggalkan Slamet sendirian dengan rambut awut-awutan. Kedua teman sekamarnya sudah sedari pagi ke pasar menjadi buruh. Mereka berjualan angkringan setiap hari senin dan selasa.

Hari selebihnya, gerobak yang sama dipakai Slamet untuk berjualan. Jadi Slamet punya dua hari untuk tidak berjualan angkringan dan biasanya ia gunakan untuk pulang kampung memberi uang kepada kedua orang tuanya atau kerja serabutan dimana saja.

Masih sedikit bingung pagi itu dia. Beberapa bayangan terlintas dengan cepat. Rambut Mirah, Pakde Kirman, ojek motor, Keris, dan Yu Mudji. Bayangan yang terakhir itu membuatnya istighfar dan mengelus dadanya. Masih sedikit kaget dia.

Diserapnya dalam-dalam oksigen yang tidak begitu segar di sekitarnya dan dengan langkah gontai membersihkan diri di kamar mandi. Sarapan paginya hari itu adalah nasi dan telur dadar serta oseng kacang panjang.

Terlihat pemuda itu melamun bersandar di pintu kamarnya yang terbuka setelah menghabiskan sepiring nasi sisa tadi malam.

“Yogya. Sudah enam bulan aku berada disini. Kota penuh orang pintar. Yang beli makananku ya wong-wong pinter. Kecuali Mudji yang sedikit aneh. setiap orang ditanya punya keris tidak.  Simbok Bapak alhamdulillah. Duit alhamdulillah seberapa pun aku syukuri. Matur nuwun Gusti, sampun nyukani dalan (sudah memberi jalan). Aku belum pengen nikah. Sek sebentar lagi. Aku mau cari uang dulu”.

Dia menghela nafasnya. Teringat dengan jelas sapaan Mirah di warungnya minggu lalu. Sapaan yang biasa saja, tidak mencoba menggoda, tetapi kenapa sampai sekarang dia teringat terus. Apa karena dia memang jarang disapa perempuan.

Memikirkan yang terakhir itu Slamet meringis. Memang dia Slamet Lan Sugih jarang dilirik apalagi disapa perempuan. “He yo wis ben. Sisuk podo gethun (besok semua mereka pada menyesal),” bisiknya dalam hati sambil tersenyum konyol. Dia sendiri tidak tahu apa kira-kira yang membuat perempuan di desanya menyesal menolaknya.

Meskipun semua makanan dipasok oleh tetangga bedengnya, dia harus menyediakan minuman jualannya sendiri. Dipakainya kaos warna hitam  pemberian mas Prapto. Meskipun pelanggannya itu lebih muda, dia merasa segan tidak menyematkan kata “mas” di depan namanya.

Di matanya, Prapto itu adalah orang pintar berilmu tinggi. Sekolahnya saja di kampus yang terkenal. Terlebih, Prapto suka memberi beberapa benda pada dirinya dan pelanggannya, belum lagi dia pintar berbicara. Kehadirannya selalu ditunggu-tunggu para pelanggan termasuk dirinya.  Pemuda itu berjalan menuju pasar Demangan yang sangat dekat dengan tempat tinggalnya.

Gadis-gadis di kota ini cantik-cantik dan wangi-wangi. Sudah tak terhitung berapa kali dia berpapasan dengan mereka yang rata-rata mahasiswi itu. Ada yang naik sepeda motor dan tidak sedikit yang jalan kaki. Tadi barusan ada yang melirik ke arahnya. Slamet jadi deg-degan sendiri.

Seperti kalian tahu, dia jarang dilirik perempuan. Tak lama kemudian, ada lagi yang meliriknya. Kali ini sambil sedikit menahan senyum. Beda dari yang pertama tadi yang terlihat sedikit berpikir memandang Slamet.

Lelaki ini mulai curiga pada dirinya sendiri. Ditiliknya rit celananya. Jangan-jangan dia lupa mengancingkan. Oh Alhamdulillah, aman. Dilihatnya kaosnya. Tidak ada yang bolong. Kenapa ya ada beberapa cewek yang memandangku, padahal tadi malam seingatnya dia hanya iseng bertanya tentang keris pengasihan pada Kirman, belum sampai lagi memesan.

Tapi karena dia sudah sampai di tempat tujuannya, pikirannya pun segera terfokus pada mencari jahe merah, gula jawa, gula batu, dan lain-lain kebutuhan usahanya.

Belanja ke pasar bukan hal yang asing baginya. Dulu semasa masih di kampung, simbok sering memintanya untuk menemani belanja atau bahkan berjualan palawija hasil panenan mereka. Nah sudah sampai dia ke bagian warungnya mas Mul langganannya dan langsung memilah-milah jahe besar merah.

“Munggah loh kuwi regone (naik loh itu harganya),” Mas Mul menyempatkan diri memberi informasi itu pada pelanggannya disela-sela melayani yang lainnya.

“Woh iyo to. Piro saiki (berapa sekarang)?” Slamet balik bertanya. “Munggah rongewu mangatus (naik dua ribu lima ratus), jadi sekarang lima ribu” jawab Mas Mul.

“Walah ! lah kok semono (kok segitu). Kakehan kuwi (terlalu banyak naiknya).” Slamet memprotes kenaikan yang menurutnya gila-gilaan itu.

“Lah kene yo ming melu kok (saya cuma ikut suppliernya),” Mas Mul membela diri. Slamet tampak sedikit bingung dan menciut hatinya. Piye iki . Pagi-pagi sudah dilapori sate telur puyuh naik, sekarang bahan baku jualan utamanya juga naik. Waddduhhhh. Akhirnya dia membeli lebih sedikit dari biasanya dan penjualnya maklum.

Tak lama dia berjalan pulang. Pandangan matanya tertumbuk pada seorang gadis berkerudung biru. Mbak Tari. Lagi-lagi dia selalu menyematkan kata mbak. Sudah menjadi adat istiadat, kebiasaannya sejak di kampungnya. Menghormati orang lain dengan titel mbak atau mas.

Mbak Tari ini juga mahasiswi yang seringkali mampir membeli wedang jahe dan panganan gorengan.\dan kenal juga dengan Prapto.
“Loh Mas. Belanja juga Mas?” sapa perempuan ramah itu.

“Njih mbak. Njenengan juga belanja disini?” jawab Slamet.

“Yo kadang-kadang.” jawabnya singkat. Tampak mahasiswi itu memperhatikan kaos Slamet.

“Enten nopo mbak?” Slamet bertanya hati-hati.
“Oh ndak kok mas. Cuma baca kaosnya. Kaos e apik mas hhehehehe,” Tari tertawa ramah lagi.

“Lah iki ming dikasih Mas Prapto kok.” jawab Slamet.

Tapi sedetik kemudian dia baru faham, “Lah memange artine nopo to mbak iki?” tanyanya. Tari yang sudah selesai belanja hanya mengangkat belanjaanya dan sambil berlalu menjawab dan tertawa kecil, “kuwi artine  aku wong Wedhok ayu Mas ( aku adalah perempuan cantik).”

Hopoooohhh?????  Blaiiiikkkk…..Asem tenan iki. Wooooohhhh . Paittt Paiiittt. Slamet kaget dan merutuk-rutuk sendiri. Prapto jelas sudah ngerjain dia.

Secepat kilat rasanya dia berlari sampai kamar sewanya dan segera membuka kaos itu.

Tobil anak kadaaaaaal. Tobaat tobaaat. Diejanya tulisan di kaosnya itu
iiii--aaa--emm aa preetteye  woomaaan ( I am a pretty woman). Woooohhhh jadi ini artinya perempuan cantik toh. Gudelll ……pisuhnya lagi. .
========================

SLAMET LAN SUGIHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang