SLAMET LAN SUGIH
CERBUNG BY LULU
EPS 9Maghrib baru saja lewat ketika kamar pintunya diketuk dengan keras.
Ketukan itu perlahan menjadi semakin cepat. Seakan-akan orang yang mengetuknya dalam keadaan terdesak atau khawatir. Dengan rasa penasaran Slamet bergegas melangkah ke pintu yang jaraknya hanya 1.5 meter dari kasur tipis yang tergeletak di lantai.
Begitu dibuka, kaget sekali dia. Di depannya Pakde Widji, suami dari Yu Widji yang berdiri dengan seorang lelaki muda dengan wajah babak belur. Slamet tidak bisa berkata apa-apa.
Dia hanya terkesiap melihat pemandangan itu dan sebelum sempat bertanya, pakde berucap, “Met. Tulung iki ponakanku. Titip disini dulu. Kasihan. Wis nanti tak ceritakan kejadiannya. Pokok e Si Sar disini dulu semalam. Sar. Iki Mas Slamet. Ojo macem-macem kowe istirahat wae neng kene (Jangan macam-macam, kamu istirahat saja disini), Matur nuwun yo Met. Sisuk aku rene (besok aku kesini).”
Slamet belum sepenuhnya mencerna apa yang ia dengar ketika kepalanya mengangguk dan bibirnya berucap “Nggih Pakde.”
Si Sar masuk setelah dipersilakan Slamet. Wajahnya masih meringis-ringis menahan perih di wajahnya yang bengkak di beberapa bagian. Terbit sedikit takut dan juga kasihan di hati Slamet.
Kenapa ini orang? Apa yang terjadi pada dirinya? Slamet bertanya-tanya. Diamatinya lagi lelaki itu. Sepertinya ia pernah melihat dia, tapi dimana? Berulang kali dia memandangi lelaki yang duduk di lantai bersamanya itu. Kakinya selonjor.
Slamet memberinya minum dari ceret yang selalu ada di kamar sempitnya. Ingatannya belum lagi memberinya petunjuk tentang tamu misteriusnya.
Dan, kenapa pakde Widji mengatakan “jangan macam-macam” pada tamunya.
Setelah beberapa detik lamanya, baru Slamet bisa mengingat dengan jelas siapa Si Sar. Dia adalah copet yang ia temui di Kopata siang hari tadi. “Astaghfirullah al adzim,” bisiknya pelan.
Dia segera mengingat-ingat dimana dia meletakkan dompetnya. Harus tetap waspada walau bagaimanapun. “Matur nuwun Mas (terimakasih mas),” ujar si Sar setelah menghabiskan satu gelas air putihnya.
Slamet yang masih melongo itu hanya mengangguk kaku. “Keno opo Mas. Kok bisa babak belur seperti ini wajahnya,” Slamet memberanikan diri bertanya meskipun ia sudah bisa menyimpulkan apa yang sebenarnya terjadi pada si Sar. Apalagi kalau bukan digebuk oleh mereka yang mendapatinya mencopet, mengingat apa yang dia lakukan di Kopata siang tadi.
“Aku…….nyopet mas,” pemuda itu merundukkan matanya seperti malu. Slamet kini yang merasa tidak enak dan juga kasihan sekaligus terkejut karena ternyata anak itu punya keberanian mengaku,.
“Aku ngerti,” akhirnya Slamet juga mengaku. Si Sar sedikit mengerjapkan matanya dan memandan Slamet dengan tatapan lesu, antara ingin tahu dan tak mau tahu. “Aku lihat kamu tadi siang ngambil dompet ibu-ibu di Kopata. Wong kita satu Kopata. Kamu berhenti di Ngasem toh tadi?” lanjut Slamet.
“ Iii…iya mas, terus aku bablas kemana-mana. Tadi sore aku dengar ada rame-rame demo di dekat UNY. Aku ya kesana. Malah apes aku,” pemuda itu terus bercerita dengan mimik wajah yang sukar ditebak artinya.
“Masih untung kamu itu masih hidup. Lah nek bablas piye?” Slamet mencoba berempati. Dia sering sekali bertemu copet yang menjadi langganannya di warung angkringannya.
Terhadap mereka ini dia memang sering waspada. Dia bisa mempercayai semua orang, tetapi copet adalah jenis manusia yang tidak bisa ditebak. Mereka sangat menunggu lengahnya orang.
“Aku kapok Mas. Wis udah ndak mau nyopet lagi,” si Sar terdengar menghiba, tetapi Slamet masih percaya kalau jeranya dia hanya kapok lombok, seperti orang yang makan lombok cabe. Pedas tetapi terus menerus berulang kali menambahkan lomboknya. “Yo syukur kalau kapok. Asal jangan kapok lombok,”
Slamet menandaskan. “Ini kamar isine tiga orang tetapi dua temanku yang lain sedang dagang angkringan. Njenengan monggo silakan istirahat disini, ya seadanya begini saja. Wis dikepenakke (anggaplah rumah sendiri),” Slamet mencoba menghormati tamunya.
“Njih mas, matur nuwun sanget pitulunge (terimakasih banyak atas pertolongannya),” si Sar berterimakasih. Tak menunggu lama dia merebahkan diri di kasur tipis milik penghuni lainnya. Tidak ada ranjang. Tidak empuk. Hanya tipis. Tetapi malam itu si Sar merasa itu adalah tempat tidur yang paling nyaman dan kamar paling aman bagi dirinya yang bukan kucing. Ya, kucing punya sembilan nyawa, sementara dia hanya punya satu.
Slamet mendadak terkejut kembali ketika mendengar dengkuran halus tak lama kemudian. Dia menoleh ke sebelahnya. Cepat sekali anak ini tidur. Mungkin dia benar-benar kelelahan.
Pikirannya tidak bisa langsung tenang. Dompetnya sudah dia amankan dengan cermat. Tetapi, tetap saja ada beberapa hal yang mengganggu pikirannya. Selama ini ia hanya mendengar cerita di warungnya, tentang beberapa copet yang hampir tertangkap, tetapi belum pernah sekalipun dia menghadapinya sendiri. Dia juga bertanya-tanya, kenapa pemuda ini mau jadi copet.
KAMU SEDANG MEMBACA
SLAMET LAN SUGIH
General Fictionpotret perjuangan kehidupan yang berlatar belakang situasi politik Indonesia tahun 1998