“Oh dia keponakan pakde Widji. Sudah dijemput pakde tadi. Rumah pakde yo cuma sekitar sini saja. Ndak tahu tadi malam kok dititpkan disini,” jawab Slamet menyeruput tehnya.
Prapto tidak meneruskan tannyanya. Dia masih kalut dengan pikirannya sendiri. Kamar Slamet sudah kembali diisi oleh dua penghuni aslinya lagi dan nanti malam masih giliran mereka yang menggunakan gerobak angkringan.
Untuk malam ini, kiranya bedeng ini bisa ia jadikan lagi alternatif perlindungannya.
Nasi kuning bungkus yang dibeli dari pasar sebelah memenuhi liku-liku usus dari dua lelaki ini. Untuk yang satu itu Prapto tidak membiarkan Slamet mengeluarkan uangnya.
Setelah berfikir dengan matang, mahasiswa itu memutuskan untuk keluar pada pagi menjelang siang itu ke beberapa tempat tetapi jelas salah satu tempat tujuannya adalah ke teman-teman gerakannya di SADHAR dan rumah sakit Panti Rapih.
Dia harus bergabung dengan mereka semua untuk memberikan penghormatan terakhirnya pada Moses.
Sementara itu situasi area Samirono sangat lengang. Beberapa orang bahkan melarang anaknya berangkat sekolah pagi itu. Masih terlihat beberapa kali Polisi berlalu lalang mengecek perkembangan keadaan.
Beruntunglah Slamet tidak membuka warung angkringannya di daerah tersebut sehingga ia tidak terkena imbas langsung dari semua peristiwa ini, kecuali tentu saja, kehadiran Prapto di kamar kostnya.
Mengetahui Prapto akan meninggalkan bedengnya siang itu dia merasa khawatir.
“Apa ndak sebaiknya nunggu tenang dulu Mas?” tanyanya.
Prapto menjawab, “Rapopo kok Lek. Kalau sekarang sudah aman sepertinya.” Di dalam hatinya sebenarnya ia sedikit malu terhadap teman-teman seperjuangannya yang lain.
“Masak aku baru begini saja sudah sembunyi seperti tikus?” pikirnya. Tak berapa lama dia berpamitan dan meninggalkan bedeng itu.
Sayangnya, sepasang mata milik orang biasa keburu menangkap bayangnya. Mata milik orang biasa itu disewa oleh mereka yang mengawasi orang-orang macam Prapto.
Sedikit lega orang tersebut. Benar sekali intuisinya, pasti Prapto akan ke tempat Slamet, segmen manusia yang paling tidak terduga, tapi dalam hal ini ia bisa menduga karena kejelian matanya melihat hubungan Prapto dengan Slamet sangat akrab. Diam-diam pemilik mata ini merasa puas dengan dirinya sendiri. Segera harus ku laporkan, pikirnya lagi.
Sepeninggal Prapto, Slamet menjalankan rutinitas seperti biasanya saat tak ada yang dikerjakan. Rencananya hari ini ia pulang, tetapi ini sudah agak siang untuk itu karena menjamu teman sekaligus pelanggannya.
Ia putuskan untuk nongkrong saja di bedeng.
Dari kejauhan pakde Widji datang dengan keponakannya yang copet itu. “Matur nuwun yo Met tadi malam mau tak titipin si Sar ini. Ada tamu di rumah kemarin, ndak enak aku bawa dia yang wajahnya ora karuan itu,” katanya sambil melirik Sar. Yang dilirik tampak memberikan raut wajah agak malu.
“Njih Dhe, mboten nopo-nopo. Kamar e kosong,” Slamet pun sedikit berbasa-basi. Pakde Widji menitipkan keponakannya lagi disitu karena dia sendiri dengan istrinya ada keperluan. Tinggalah Slamet dengan Sar untuk kesekian kali.
“Mas aku isin sebener e. Tapi aku beneran sudah tidak mau nyopet lagi.” lirih Sar seperti berbisik. “Yo syukur kalau begitu. Tadi malam aku lihat njenengan sholat. Lah kok bisa jadi copet?” Slamet bertanya penasaran.
“Ceritane panjang Mas. Aku yo pengen punya uang….” “Tapi ndak mau kerja?” sergah Slamet cepat. Mata Sar menandakan dia sekali lagi malu tapi pasrah dengan tuduhan itu. “Yo susah Mas nyari kerja,” pemuda berusia sekitar dua puluh tiga tahun itu mengerjapkan matanya.
“Njenengan ke pasar. Jadi buruh. Dapat duit. Ojo gengsi. Gengsi ra mangan Mas. Cubo sekarang dilihat. Itu pakde bude Widji kurang sepuh apa? Udah lima puluh tahunan lebih loh usianya. Budhe masih membuat panganan-panganan untuk angkringan yang ada disini semua. Kerja loh itu. Dapat duiit. Yo dikit tapi kan halal,” Slamet terus menceramahi dengan gemas Sar.
“Aku dulu ya nani (bertani) Mas. Lama-lama panen kok susah. Terus aku ke Solo, ke Yogya. Awal e yo pengen kerja tapi kerjo opo. Aku sekolah ming tekan SMP….”
“Lah podho,” sekali lagi Slamet memotong. “Aku juga sampai SMP,” tandasnya. “Wis sekarang gini. Bisa pijet to? Wis pijet capek aja. Kalau mau dan bisa ikut aku nunggu angkringan. Ya bantu-bantu dikit kalau pas lagi rame. Eh siapa tahu nanti ada pelangganku yang minta jasa pijet. Pelangganku ya sudah lumayan. Piye mau tidak?” todong Slamet.
Sar terdiam sesaat dan akhirnya mengiyakan “Njih Mas, kulo belum punya gambaran mau kerja apa. Saya mau nderek njenengan kalau begitu.”
“Yo wis, besok malam mulainya. Tidur dulu kalau siang sampai sore biar bisa tahan melek sampai jam dua atau tiga. Sar terlihat mengangguk-anggukan kepalanya meskipun ada sedikit raut khawatir mendengar jam dua malam. Tetapi, mantan santri di sebuah pesantren kampung itu sudah berbulat hati ingin berhenti dari pekerjaan tidak halalnya itu.
Kedua lelaki itu bercerita tentang diri mereka masing-masing. Slamet cukup kaget mengetahui Sardjiyo merupakan mantan santri. “Wah anak pinter iki,” bisiknya dalam hati.
Diam-diam dia bersyukur Sardjiyo memutuskan untuk berhenti menjadi copet. Selain Prapto dan Tari serta pakde Bismo dan pakde Kirman, kini dia punya satu teman lain yang tidak kalah pinternya tapi pernah keblinger, ya si Sar ini.
Sebentar malam ini dia tidak berkerja untuk angkringannya, tetapi nanti malam akan ada lagi yang mengetuk pintunya. Sayangnya dia tidak tahu akan hal itu dan siapa yang mengetuk pintunya.
Yang jelas, bisa dipastikan Sar akan menjadi teman sekamarnya lagi malam nanti jika Pakde Widji mengijinkan tentu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
SLAMET LAN SUGIH
Ficção Geralpotret perjuangan kehidupan yang berlatar belakang situasi politik Indonesia tahun 1998