SLAMET LAN SUGIH
Cerbung by Lulu
EPS 21Kopi Jos yang telah disediakan Haryo segera diseruputnya.
20 tahun berlalu sejak simbok meninggal. Dan 15 tahun sejak bapaknya menyusul simboknya.Banyak yang terjadi pada dirinya. Dia kembali ke Jogja setelah beberapa saat di Klaten menemani bapaknya untuk menjalani kehidupannya sebagai rakyat jelata di kota pelajar itu. Hempasan badai tak berhenti dengan meninggalnya simbok terkasihnya. Harga-harga carut marut tak karuan yang menyebabkan dia tak mampu membeli modal untuk berjualan setiap malam.
Beberapa harga dengan berat hati ia naikkan. Pernah ia, bujangan tua, menangis di sudut kota itu. Tak pernah ia percaya ia bisa menangisi nasibnya sedemikian rupa. Dalam hatinya berkecamuk rasa rindu yang sedemikian berat pada simbok dan kebingungan akan masa depan angkringannya. Kedua orang teman sekamarnya kakak beradik yang menjadi partner penggunaan gerobak sudah menyerah dengan kondisi harga barang di pasar.
Repot Nasi! Begitu orang-orang menyebut reformasi yang terjadi pada tahun itu. Setahun, dua tahun mereka menunggu yang katanya negara akan lebih baik tetapi keadaan tidak jadi lebih baik. Susah begini susah begitu. Dia sudah terlanjur mencoba peruntungannya di usaha angkringan. Bagaimanapun susahnya ia sudah punya pengalaman di bidang ini sehingga ia putuskan untuk bertahan.
Dua cincin warisan ibunya ditukar dengan beberapa lembar uang untuk menebus sewa kamar dan angkringannya.
Meskipun sedikit, ia tetap mensyukuri keuntungannya.Tetapi pertolongan Allah itu begitu dekat. Tak dinyana salah satu pelanggannya yang selama ini ia tahu sebagai pemandu wisata, Bismo, memberinya modal untuk memperkuat tekadnya berjualan. Dengan modal itu ia menjadi lebih bersungguh-sungguh melengkapi dagangannya dan meningkatkan pelayanannya sampai suatu ketika ia kewalahan dan disitulah ia berfikir untuk segera menolong Haryo.
Haryo adalah teman lamannya, sesama orang kecil yang susah. Pekerjaannya jauh dari kata baik-baik karena ia menjadi muncikari sekaligus tukang ojek yang mengantarkan perempuan malam menemui langganannya.
Nuraninya berkata bahwa Haryo adalah orang yang lebih memerlukan pertolongan dari dia karena pekerjaannya termasuk dalam pekerjaan haram. Dengan pelan-pelan Slamet mendekati Haryo yang sudah ia kenal seperti adik sendiri.
Sebenarnya dia sendiri terkejut dengan tanggapan Haryo. Tak dinyana tukang ojek itu tertunduk dan berkaca-kaca. Ternyata nurani dan imannya masih ada, pikir Slamet.
Ternyata tak berhenti disitu keajaiban kehidupan yang telah didesain Tuhan untuknya.Bismo membujuknya untuk menjadi supir pribadinya. “Lah saya mboten saget nyupir Pak. Mboten wantun (saya tidak bisa nyupir Pak. Tidak berani),” katanya dengan bahasa Jawa yang bercampur bahasa Indonesia karena terbiasa menggunakan bahasa Jawa sehari-hari. Tetapi Bismo meyakinkannya dengan berbagai macam bujukan dan iming-iming.
Katanya dengan menjadi supir dia akan memiliki kesempatan mendapatkan penghasilan yang tetap disamping dari angkringan. Angkringan bisa dititipkan ke Haryo dan kalau perlu merekrut orang lain lagi agar tetap jalan bisnisnya. Salah satu dari penghasilannya itu bisa ia tabung dan bisa ia putar untuk bisnis lain, dan seterusnya.
Setelah dilatih selama dua bulan akhirnya Slamet resmi menjadi supir pribadi Bismo dan benar yang dikatakannya. Ia yang terbiasa hidup penuh kekurangan dan sangat sederhana tidak kaget dengan gaji yang ia terima dari Bismo karena lelaki itu juga mengajarkan banyak hal tentang kehidupan. Tidurnya tidak lagi di kamar sewa bedengnya, tetapi ikut tidur di dalam rumah Bismo sehingga ia tak perlu membayar sewa kamar. Tidak itu saja, ia tidak perlu mengeluarkan uang untuk makan tiga kali seharinya.Meskipun demikian ia tetap mengunjungi angkringannya setiap malam untuk sekedar ikut membantu dan mengawasi Haryo. Angkringannya buka setiap pagi dan tutup jam 10 malam, mengikuti nasihat Bismo dahulu. Bertambahnya jumlah pelanggan, membuat Slamet berfikir untuk menambah tenaga dan menambah jumlah gerobak. Demikianlah semua itu telah menjadi suratan takdirnya dan Haryo.
Baru sekitar 5 tahun yang lalu ia melepas semua aset angkringannya untuk diteruskan Haryo, tidak lagi bagi hasil. Slamet merasa usaha kecil-kecilan kostnya yang diarahkan Bismo sudah sangat cukup. Haryo juga banyak jasanya dalam membantu dia melanjutkan usaha angkringannya yang dulu tak seberapa ini.
Kini beberapa kali dalam sebulan ia sering main ke angkringan Haryo dengan membawa beberapa anak kostnya yang mau ikut dengannya. Istrinya, Lelie, sering mengingatkannya untuk tidak sering-sering begadang sampai larut dan Slamet selalu mendengarkan istrinya.
Dia pernah jatuh cinta pada Mirah, tetapi dengan berbagai suara dalam hatinya yang berbicara dengannya, akhirnya dia mendorong Haryo untuk meminang Mirah. Dan Lelie, istrinya, tak lain adalah salah satu keponakan dari Bismo yang sering berwisata ke Yogya.
Bagaikan pungguk merindukan bulan. Demikian rutuk Slamet ketika ia memiliki perasaan khusus pada perempuan yang saat itu masih menjadi guru bantu di sebuah TK. Tetapi Tuhan Maha Baik. Perempuan itu adalah salah satu hadiah terbesar dari Tuhannya.
Slamet menghela nafas beratnya,
Jika melihat anak lelakinya dan anak perempuannya yang masih bersekolah menengah pertama, lelaki itu langsung teringat Joyosentono, bapaknya dan Mursini simboknya. Matanya tak pernah kering jika melihat ke belakang apa yang telah mereka korbankan untuk dia, anaknya.“Mbok, Pak, panjenengan mboten mirsani pripun kahanan kula sak niki, matur nuwun Mbook, Paaak ( Ibu, Bapak, kalian berdua tidak melihat dan menikmati keadaan saya sekarang. Terimakasih Bu, Pak),” bisik Slamet tercekat. Seandainya saja bapak ibunya melihat keadaan anak dan cucu-cucunya sekarang pasti mereka sangat berbahagia.
Dia sangat berterimakasih akan semangat dari ibunya agar dia terus berangkat ke Yogya meneruskan usaha angkringannya.
Tak berapa lama
Lelaki berusia senja itu dengan agak susah berjalan ke mobilnya diiringi oleh Haryo dan beberapa anak kost yang ditraktirnya malam itu. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Wajahnya terlihat kaget. “Ada apa Pakde?” tanya Haryo heran. “Wah Mas Prapto Yo,” jawabnya singkat. Segera mobil itu melaju meninggalkan Haryo yang termangu sendirian.“Memang ada apa dengan Prapto? Sudah lama tidak bertemu. Sudah jadi orang besar. Sering terlihat di tipi-tipi. Hmmm……. kenapa ya,” pikirnya lagi. Tetapi tak berapa lama Haryo segera kembali bergegas menemui para pelanggannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SLAMET LAN SUGIH
Ficción Generalpotret perjuangan kehidupan yang berlatar belakang situasi politik Indonesia tahun 1998