Slamet Lan Sugih Eps 20

46 3 0
                                    

SLAMET LAH SUGIH

EPS 20

   Bulan berseri. Wajahnya tampak bulat sempurna bagaikan bulatan mata uang receh Rupiah yang nilainya tak lagi perkasa seperti dua puluh tahun yang lalu. Sekarang 1 dolar dihargai dua belas ribu oleh rupiah. Di sudut kota Yogya, di daerah sekitar stasiun Tugu berderet-deret mobil dan motor parkir. Tidak mengenal strata sama sekali, berdampingan dalam damai pada bloknya sendiri-sendiri.
 
Tak terkecuali juga para pemilik kendaraan itu. Entah siapa yang punya mobil, entah siapa yang datang dengan sepeda motornya, semuanya berbaur di lesehan yang cukup panjang.

  Tiga orang pengamen dengan gendang kulit spontan segera melantunkan lagu-lagu Koes Plus begitu melihat seorang lelaki setengah baya dengan beberapa anak muda bertampang mahasiswa keluar dari mobil Xenia-nya.
   Lelaki itu melebarkan senyumnya dan mengangguk dengan hormat kepada para pengamen dan segera tertawa akrab begitu penjual angkringan laris itu menyapanya.

“Karo anak-anak Dhe (apakah datang dengan anak-anak Pakde), sapanya ramah. “Iyo, wis balung tuo. Ra kuat ngepit bengi meneh (iya, sudah jadi orang tua, tidak sanggup lagi keluar malam pakai motor),” jawab lelaki berbaju warna coklat Khaki itu.

“Rame mas,” tanyanya lagi. “Biasa ya,” sambungnya sebelum si penjual menjawab pertanyaannya, mengisyaratkan minuman yang akan dipesannya, kopi joss, kopi bercampur arang.

“Ya Alhamdulillah Dhe, disyukuri. Sudah jalane seperti ini,” si penjual itu membalas dengan logat Yogya yang kental. Beberapa anak muda yang datang dengannya sudah sibuk dengan makanan kecil yang mereka comot.  “Jon, kesini dulu. Nunggu bentar!” teriak si penjual angkringan memanggil salah satu pegawainya.

Ramainya angkringan miliknya menyebabkan dia kewalahan dan kini telah memiliki enam karyawan dengan tiga set kompor untuk membuat wedangan atau minuman. Kecepatan pelayanan menjadi fokus utama pelayanan pada pelanggannya. Siapa sangka sekarang dia bisa menggaji enam orang itu . Dia awalnya tukang ojek pangkalan melalui usaha angkringannya ini sudah memberi pekerjaan bagi orang lain.

. Sudah 15 tahun lebih dia menekuni usaha ini dan sangat berterimakasih pada lelaki yang ada di depannya. Lelaki itulah yang memberinya pencerahan akan kehidupan yang lebih baik daripada mengantarkan seorang pelacur menemui pelanggannya.

Jika dia tetap memlih profesi ojek plus, plus mucikari itu, bagaimana dia akan mempertanggung jawabkannya pada Tuhan pencipta alam yang menciptakannya dan memberinya perintah dan larangan.

Menghindar dan berkelit? Tak ada lagi jalan kembali meskipun setiap yang meninggal dunia akan menyesal. Mereka yang telah kembali ke pelukan Sang Pencipta selalu ingin beribadah lagi dan lagi. Tetapi tentu saja tidak akan pernah bisa.  Sesungguhnya kehidupan di dunia ini lah yg diinginkan oleh siapa saja yg telah meninggal.

Sejak saat itu Haryo menjadi tenaga pembantu angkringan Slamet dan tak berapa lama Mirah menangis di depannya mendengar dirinya membujuk perempuan malam itu untuk meninggalkan dunianya. Mungkin hatinya tersentuh mendengar nasihat Haryo dan terlebih lagi lelaki mantan ojeknya itu mengajaknya menikah.

Haryo masih mengingat jelas kalimat Mirah yang mengiris nuraninya pelan, “Aku ndak pantas mas untuk menjadi istri laki-laki manapun,” katanya dalam isaknya yang tertahan. “Aku sudah sangat kotor. Aku ndak bisa hidup di manapun jadi warga baik-baik tanpa was-was. Mantan pelangganku dimana-mana,” sambungnya yang membuat nafas Haryo menjadi sesak. Sungguh keputusan paling berat dalam hidupnya malam itu untuk menjadikan Mirah istrinya.

“Kamu tahu sendiri to Rah. Aku itu siapa. Apa yang sudah ku lakukan dalam hidupku ini. Yang belum cuma membunuh. Itupun mungkin aku tercatat dosaku membunuh,” Haryo ikut tenggelam dalam linangan air mata mengingat dosa-dosanya yang sedemikian kelam. “Aku pernah mengantarkan Risa toh menggugurkan kandungan e. Ya Allah,” katanya lagi tercekat.

“Wis ngene wae Rah. Aku ndak bakalan menyesali keputusanku sekarang ini. Ndak bakalan. Aku sudah tekat Rah. Awak e dewe kie semakin lama semakin tua. Bukan sebaliknya. Apa kita mau selamanya seperti ini? Sampai tuwek? Mumpung masih ada waktu bertobat ayo ikut aku Rah. Ayo melu aku. Perkara makan kita tidak bakalan kelaparan seumur hidup. Percoyo sama yang memberi hidup,” pungkasnya meyakinkan perempuan itu.

Haryo tidak bisa mengatakan dia mencintai perempuan itu tetapi dia telah dekat dengannya beberapa tahun belakangan. Jika meninggalkannya terus dalam dunia itu, dia merasa kasihan.

Dan ketika akhirnya mereka menikah, itupun dengan  modal pas-pasan. Mirah memasok aneka rupa makanan untuk angkringan Slamet yang makin lama makin berkembang. Alhamdulillah rejeki selalu ada setiap hari setiap saat. Tak pernah mereka kekurangan bahkan sampai saat ini.
Kehidupannya berubah pelan-pelan. Selalu naik dan naik meskipun pelan. Benar-benar seperti yang dijanjikan Allah, bisik benaknya. Dia sangat sabar melakoni pekerjaan halalnya dengan Slamet sampai akhirnya dia berada di posisi ini, juragan angkringan.

Tak akan pernah ia lupakan jasa orang yang dipanggilnya Pakde saat ini karena dia membiasakan anaknya memanggil orang itu dengan nama Pakde Slamet. Lelaki sukses pemilik beberapa kost dan sebuah rumah makan yang sedang mengunjunginya itu adalah Slamet Lan Sugih.

SLAMET LAN SUGIHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang