Slamet Lan Sugih Eps 11

43 3 0
                                    

   Prapto tidak mengenal siapa pakde Widji. Bahkan tadi pagi itulah kali pertama ia menjejakkan kaki di kompleks bedengnya lek Slamet. Dia sengaja berlari sipat kuping dari Samirono menuju lokasi ini tadi karena dia menganggap ini adalah area yang paling aman dari kejaran mereka yang ingin menangkapnya.

     Komplek bedeng pedagang angkringan. Semoga mereka tidak menyangka buruannya lari kesini. Lagipula akan sangat riskan kalau ia lari ke rumah kost teman-temannya meskipun sama-sama satu gerakan atau organisasi.

  Dan dia sangat yakin teman-teman sesama aktivisnya juga tidak kembali ke kamar kost mereka hari ini. Diam-diam ia mensyukuri ajakan Tari tadi pagi untuk mengambil nasi bungkus pesanannya.

  Kalau tak ada mas Slamet entah dimana dia harus bersembunyi tanpa mengundang kecurigaan orang lain. Di Masjid? Jelas tidak mungkin karena dia tidak punya teman yang menjadi marbot kecuali Taufiq, tetapi itu pun cukup jauh, di Mesjid Syuhada Kotabaru.

Kedua lelaki itu tenggelam dalam pikirannya masing-masing sampai keduanya tertidur dengan pulas. Keputusan Prapto sangat tepat karena malam itu ia bisa tidur dengan tenang. Jalan tikus yang berliku mempersulit para pengejarnya.

  Sementara itu diluar sana, situasi terasa mencekam. Para pedagang di sekitar kampus UNY menutup semua pintu tokonya. Bagaimanapun mereka sangat takut akan apa yang terjadi tadi sore. Asap-asap masih mengepul bahkan sampai menjelang tengah malam. Bau aroma ban yang terbakar masih menyengat. Sekarang semua sudah steril. Tak ada pendemo. Tak ada masyarakat yang menonton demo. Tak ada siapa-siapa.
  Hanya aparat berseragam yang bersiaga. Suara-suara kendaraan yang berlalu lalang menyelingi keheningan yang ganjil itu setelah sebelumnya riuh dengan berbagai macam suara manusia dan slogan-slogan. Samirono bagian timur dan utara disterilkan. Benar-benar sepi.

Beberapa radio swasta menyiarkan peristiwa hari itu dan disimak oleh banyak warga Yogya, termasuk Bismo.

Dia menunggu koran yang akan terbit esok pagi karena penasaran dengan apa yang akan ditulis pers. Tanpa disangka, ingatannya melayang ke Prapto.

“Pasti anak itu ikut aksi,” katanya yakin.”Semoga dia selamat, tidak apa-apa,” harapnya lagi dalam diamnya.

“Tetapi kalau dia mau selamat dia harus lari. Kemana dia lari? Mudah bagi teman-temanku mencari dia. Seharusnya dia sementara tiarap dulu,” lanjutnya lagi dalam hatinya. 

“Pak, melamun ya?” tanya istrinya Sunarsih dengan lembut. Perempuan yang usianya hanya terpaut dua tahun dengannya itu dan juga memasuki usia senja setia menemaninya dalam suka dan dukanya.

“Mendengarkan radio kok melamun. Ini loh bu anak-anak mahasiswa itu pada berdemo barusan sore tadi di Samirono terus kacau,” jawabnya.

Istrinya menanggapinya dengan tersenyum tipis, “Lah iya Pak. Demo terus dari kemarin-kemarin,” tanggapnya.

“Semoga tidak ada korban dari mahasiswa Bu,” lanjut Bismo kembali. Narsih maklum kenapa suaminya mengatakan hal itu. Sudah jelas dia tidak bisa melupakan sosok anak mereka satu-satunya yang meninggal sia-sia beberapa tahun yang lampau.

Sebetulnya dia pun demikian. Betapa pahitnya cobaan yang harus mereka rasakan di penghujung usia mereka. Anak yang diharapkan kehadirannya bertahun-tahun dalam usia pernikahan mereka harus mendahului berpulang sebelum orang tuanya.

Tetapi Narsih mencoba terus untuk memulihkan kepedihan hatinya. Semua itu adalah takdir yang tidak dapat ditolaknya. Satu detikpun musibah itu tidak bisa ditundanya.

Diambilnya kembali rajutannya yang tertunda selama beberapa hari terakhir. Merajut adalah salah satu healing techniquenya. Pola yang berulang, hasil yang dapat ditampilkan keindahan dan kegunaannya memberikan perasaan puas sedikit demi sedikit pada jiwanya.

Lama kelamaan dia merasakan kebahagiaan di tengah kesepiannya. Apa yang bukan miliknya tidak akan pernah menjadi miliknya. Untuk itu ia mensyukuri apa yang ia punyai saat ini.

Malam itu sebagian besar penduduk Yogya seperti biasanya tertidur dengan tenang, begitu juga dengan Slamet dan teman-temannya, serta Bismo dengan istrinya.

Ketika tengah malam Slamet terbangun dia sekali lagi mendapat kejutan kecil karena melihat si Sar pencopet itu tengah sholat. “Ngapain dia sholat,” ujarnya. Tetapi dengan terburu-buru dia meralat prasangka hatinya, “Oh, anak ini sholat. Berarti mungkin dia dulunya anak baik-baik.” Tak ingin mempermasalahkan hal tersebut, Slamet memutuskan untuk meneruskan tidurnya.

Semuanya memang tertidur sangat lelap tanpa tahu bahwa esok pagi ada kejadian yang sangat mengejutkan.

SLAMET LAN SUGIHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang