SLAMET LAN SUGIH (1997)
Eps5Angkringannya sempat sepi sebentar dari orang yang ngangkring karena kebanyakan pembeli hanya mampir sebentar mengambil makanan.
Hanya dua orang mahasiswa yang kini baru saja datang dan langsung nongkrong di kursi kayu. Slamet segera membuatkan minuman buat mereka berdua dan telingannya secara otomatis mendengar apa yagn mereka perbincangkan dengan seru.
“Kakiku ini masih sakit. Dasar keparat !” si pemuda berkaus coklat terdengar sangat marah.
“Masih untung kamu gak ketangkep. Habis kamu kalau terkejar kemarin.” Temannya yang bercelana jeans yang biasa dijual di Malioboro menanggapi.
“Iyo sih. Aku dengar bang Andi hidungnya sampai patah,” si kaos coklat menanggapi.
“Aku ya gak takut sama mereka. Tapi mental anak-anak itu perlu dijaga. Jangan sampai sudah susah payah kita godok mereka, eh jatuh karena takut sama aparat keparat itu!” lanjutnya.
Slamet kini sudah selesai meracik wedang jahe spesialnya. Jahenya bukan dalam bentuk sachet tetapi jahe asli yang telah dipotong dan dicuci.
Sebelum diseduh air panas, jahe itu akan dibakar dan digeprek terlebih dahulu. Jadi pada setiap gelas, pengunjung dapat menemukan satu potongan jahe merah.
Itu yang membuat mereka betah berlama-lama minum wedang jahe di angkringan Slamet. Diletakkannya dua buah gelas penuh di hadapan dua orang itu.
Dia sudah terbiasa mendengarkan berbagai obrolan dengan tema yang berbeda dalam satu waktu. Untuk kali ini untungnya pelanggannya hanya empat orang. Dia tertarik pada perbincangan kedua mahasiswa itu.
“Sisuk, Kamis ngarep (Kamis depan), aksi di Samirono.” si kaos coklat bercerita lagi setelah menyeruput wedang jahe panas itu.
Oh demo, begitu pikir Slamet. Tebakannya memang tidak salah. Kedua orang itu adalah mahasiswa yang dua hari lalu baru saja menggelar aksi demo. Tampak keduanya tidak begitu memperdulikan dua pelanggan lainnya yang diam-diam juga ikut mendengarkan mereka.
“Aku nanti malam ikut menyiapkan materi sama anak-anak RODE”, si celana jeans mengatakan rencananya. “Oh iyo, rame itu kalau RODE turun. Kapan?” si kaos coklat terlihat sangat tertarik.
Sambil menghabiskan nasi kucingnya, si Jeans menjawab, “Jumat jam setengah dua.”
Tak terasa semakin lama semakin banyak orang yang berkumpul di angkringan sederhana itu dan nada suara keduanya tidak lagi nyaring serta isi pembicaraannya mulai berkurang.“Naik mbak, lima ratus,” jawab Slamet ketika ada seorang mahasiswi membeli wedang jahe yang dibungkus. “Oalah ya gapapa Mas,” kata perempuan itu terdengar pasrah.
“ Loh angkringan yo ikut naik hargane Mas?” si kaos coklat langsung menyambar. “Iya mas, baru hari ini. Lah harga-harga pada naik semua sudah,” Slamet menjawabnya.
“Oh gak bener iki. Semua kok ikut naik,” si mahasiswa menggerutu. “Iya kok mas, di pasar itu harga naik seenaknya. Beras, telur, sayur, lombok, wah wis semua mas naik,” seorang tua yang sedari tadi duduk di sekitar sekarang angkat bicara.
“Itu pada demo-demo itu apa protes harga mas?” tanya seorang lagi yang tidak setua orang yang bicara sebelumnya. Si mahasiswa pendemo itu mencoba menerangkan.
“Iya Pak. Kalau harga-harga semua naik tidak karuan naiknya berarti ada yang salah. Kita minta pemerintah menurunkan harga. Tapi memang kalau orang itu memerintah lama sekali juga sudah susah mendengar Pak. Mungkin ada baiknya yang merintah itu segera ganti.” Demkian si kaos coklat menerangkan.
Tampak temannya menyikutnya halus dan menginjak kakinya ketika orang tua itu tak berhenti bertanya, “maksude pripun mas, ganti yang merintah.” Si kaos coklat hendak menjawab tetapi si jeans menyikutnya lagi dan temannya itu yang menyerobot jawabannya. “Njih Pak. Maksude harganya diganti ke yang lebih murah.”
“Ooohhh….ya ya mas. Lah iya mas kalau bukan mahasiswa terus siapa lagi yang bisa demo,” jawab pak Tua. Sementara itu tiga orang pengunjung lainnya ikut manggut-manggut.
Tak lama kedua mahasiswa itu menyudahi makan malamnya dan basa-basi berpamitan pada pengunjung lainnya. Sambil berjalan si Kaos coklat menyenggol temannya,
“Kenapa kau larang aku menjawab pertanyaan mereka tadi?”
Temannya menjawab dengana enteng, “Belum saatnya dan lagipula kamu kurang hati-hati. Jangan ceroboh. Tahu sendiri kan sekarang mata2 dimana-mana. Apa kita yakin diantara mereka tidak ada yg bahaya. Mau kamu diculik seperti Bang Burhan?”
Spontan hati si Kaos coklat mencelos. “Oh ya..ya.. terimakasih,” demikian tanggapannya singkat.
Mereka menghilang dengan diiringi tatapan kagum orang-orang di angkringan, seakan-akan menitipkan nasib harga tempe dan telor pada tangan mereka agar segera turun.
Kemudian harga jengkol, bawang brambang, dan rokok menjadi perbincangan hangat di angkringan sederhana itu.
Mereka juga bercerita tentang beberapa demo yang sempat mereka tonton pada hari sebelumnya.
Sementara itu Slamet masih menunggu Prapto mahasiswa arkeologi. Kaos hitamnya sudah dia bawa.

KAMU SEDANG MEMBACA
SLAMET LAN SUGIH
General Fictionpotret perjuangan kehidupan yang berlatar belakang situasi politik Indonesia tahun 1998