Slamet Lan Sugih Eps 16

41 3 0
                                    

Cerbung by Lulu

Slamet Lan Sugih

EPS 16

Bismo malam itu tidak bisa tertidur dengan nyenyak. Suasana politik di Yogya sudah tidak nyaman bagi setiap orang sipil. Koran-koran berseliweran memberitakan tentang penculikan-penculikan aktivis.

Bagi Bismo, justru situasi seperti ini sangat menarik adrenalinnya. Dia terbiasa dan terlatih berfikir bahwa setiap chaos itu memiliki mastermind atau pelaku utama, provokator utama. Itu yang ia coba cerna selama beberapa minggu terakhir.

Semua hal berkelindan, bersambungan. Yang satu menyebabkan yang lain, dan kemudian ada aktor penunggang bebas. Kemana akhir dari semua kekacauan ini, pikirnya. Jika pemerintahan yang sah ini dapat bubar karena aksi-aksi mahasiswa ini, maka Indonesia telah memiliki people power atau kekuatan masyarakat yang signifikan.

People power yang sebelumnya mampu menggerakkan gelombang reformasi di beberapa belahan dunia.

Di Filipina pembunuhan Benigno Aquino menyebabkan amukan people power pada tahun 1980an yang menjatuhkan Marcos setelah 21 tahun berkuasa. Di China Mao Zedong berhasil mengakhiri kekuasaan kekaisaran China dan membawa negara itu menjadi China modern komunis.

Apakah benar Indonesia telah memiliki People Power? Seberapa kuatnya? Bismo hanya menggelengkan kepalanya dengan cerutu yang masih betah di bibirnya. Entahlah, mungkin saja, pikirnya.

Baru saja ia menerima beberapa telepon dari koleganya terdahulu yang masih tinggal di Jakarta dan membahas apa yang sedang dirasakan oleh para warganya. Semakin yakin ia bahwa sesuatu yang menegangkan sebentar lagi akan terjadi, mungkin dalam hitungan hari, sebentar lagi.

Untuk itu ia memutuskan untuk tidak lagi tidur malam itu melainkan menghidupkan tivi, berjaga-jaga apabila ada berita terkini yang akan diupdate. Hampir mustahil karena telah lewat tengah malam.

Seorang pemuda yang mengenal Bismo sebagai langganan angkringannya juga susah untuk memejamkan mata malam itu. Pikirannya tetap menunggu azan subuh agar ia bisa secepatnya mencegat bis di Janti, yang akan mengantarkannya ke Klaten.

Berjam-jam kemudian datanglah suara adzan yang ia tunggu-tunggu. Tak perlu mandi, ia putuskan. Hanya mengambil wudhu dan segera sholat subuh, lelaki itu melakukannya dengan cepat. Seperti yang telah ia rencanakan sebelumnya, ia segera berjalan dengan cepat menuju daerah Janti yang jaraknya cukup jauh dari kamar bedengnya.

Angkotan kota belum lagi beroperasi sepagian ini, tetapi bis-bis yang menuju Surabaya seperti bis Mira biasanya telah mengambil penumpang dari Yogya yang hendak menuju Solo atau Klaten. Harga karcisnya pun jauh lebih murah daripada bis Jogja-Solo yang sesungguhnya.

Perjalanan pulangnya kali ini adalah perjalanan yang terpanjang yang ia rasakan meskipun jarak tempuh dan waktunya sama seperti biasa.

Hati kecilnya merindukan ibunya. "Mugo-mugo simbok baik-baik saja dan segera sembuh," doanya pelan.

Tetapi hal lain yang mengusik pikirannya adalah kedatangan dua lelaki kemarin ke rumahnya yang sangat mengejutkannya. Hendak mengaku takut dia berkecil hati.

Usianya hampir 30 tahun, sudah terlalu tua untuk merasa takut. Tetapi dari dalam hatinya yang paling dalam, Slamet mengaku takut. Dia khawatir terkena fitnah atau dianggap melakukan kejahatan karena dua orang lelaki kemarin terlihat menyeramkan di matanya. Lelaki lugu yang tak pernah keluar kampung halamannya kecuali ke Yogya itu tak lama sedikit merasa tenang ketika bisnya berhenti di area Karangwuni.

Bau tanah kelahirannya memberikan rasa tenang dan aman, apalagi bayangan ibunya dan ayahnya yang menunggu di rumah.

SLAMET LAN SUGIHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang