Slamet Lan Sugih Eps 7

47 2 0
                                    

SLAMET  LAN  SUGIH
EPS 7

“Mas kita mau minta tolong sebenarnya. Kami kan ingin membantu teman-teman yang akan aksi tiga hari lagi. Bisa tidak kami pesan nasi kucing sebanyak lima puluh bungkus?”

“Oh ya mbak, bisa-bisa. Berarti hari senin ya? Bukan giliran saya yang jualan mbak. Bisa diambil di rumah saya saja,” jawab Slamet bersemangat.

“Ok mas, kami ambil jam 9 pagi ya. Alamatnya dimana?” kali ini Dita, teman Tari yang menyela.
“Demangan mbak, dekat pasar demangan. Sisi timurnya, dekat bruderan. Seberangnya.”
Slamet menerangkan lokasi dimana ia tinggal selama ini.

Setelah disepakati kapan mereka akan ke kostnya Slamet akhirnya kedua perempuan itu berpamitan pulang.

Tinggal Slamet dengan pelanggan-pelanggannya yang setia. Dingin mulai menggigit sumsum tulangnya dengan penuh percaya diri.

Hatinya tidak ikut dingin, melainkan hangat tertular tawa-tawa yang entah bagaimana tidak pernah berhenti. Seingatnya dia belum pernah melihat orang meneteskan airmata kesedihan di warungnya.

Rata-rata mereka semua tertawa atau minimal tersenyum. Seperti saat ini, Slamet sesekali tertawa geli melihat bagaimana Pakde Bismo yang makin lama makin sewot karena merasa lelah mengajar Jono bagaimana melafalkan everything dengan fasih.

Jono berulangkali melafalkan everyteeeeeng dengan logat Jawanya yang kental.

“Sak Karepmu Jooon. Kok angel men toh ya (Terserah kamu lah Jon, susah amat sih).” Akhirnya pakde Bismo yang seorang pemandu wisata itu menyerah.

“ Besok tak latihan lagi pakde,” jawab Jono santai.

Pakde Bismo hanya menyerap rokoknya dengan dalam. Terserah kamulah, pikirnya. Matanya yang merah karena sering minum minuman keras mencari-cari Prapto dan teman-temannya yang sudah lama meninggalkan lokasi jajan mereka malam itu.

Ia belum lama kenal dan Prapto tetapi sudah tertarik pada anak muda itu. Dia mengingatkannya pada Jingglang, anaknya yang telah lama meninggalkan dunia fana ini.

Jika masih hidup tentu akan sepantaran dengan Prapto. Jingglang anaknya pasti mewarisi sikap ayahnya, seperti berani dan bertanggung jawab.

Sayang Jingglang mati muda sia-sia karena miras oplosan yang ditenggaknya diam-diam. Dia merasa gagal menjadi orang tua. Oleh karena itu ia memutuskan tidak lagi menjadi tentara negara tercintanya.

Kehilangan anak satu-satunya di usia yang masih muda, anak yang ia tunggu bertahun-tahun lamanya, membuat dia limbung.

Pada usianya yang tidak lagi bisa dibilang muda dia beralih profesi sekehendak hati dia, menjadi pemandu wisata. Ia mencoba melipur laranya dengan berpergian ke berbagai daerah di Indonesia.

Tidak hanya itu, perasaan bersalahnya membuat dia lari ke minuman keras. Dari semua itu, ia bersyukur saat ini, istrinya tidak meninggalkannya meskipun ia sudah berubah.

Belakangan ia menikmati nongkrong di warung angkringan ini. Ia bertemu langsung dengan wajah sesungguhnya para Indonesia yang pernah ia lindungi dengan sumpahnya.

Kini ia bukan pelindung mereka lagi. Dia hanya orang sipil biasa persis mereka. Dihisapnya rokoknya lagi lebih dalam. Disinilah ia bertemu beberapa kali dengan Prapto dan teman-teman mahasiswanya.

Tak ada yang mengenalinya. Tak mungkin juga si Mudji, Slamet, Karmin, Jono atau bahkan Prapto mengenalinya. Dia adalah bagian dari masa lalu.

Prapto ini, dia adalah salah satu pentolan pergerakan mahasiswa di Yogya yang tampaknya sekarang makin sibuk dengan kondisi ekonomi yang sedang terkena badai ini. Tampaknya dia tidak sadar bahwa gerak-geriknya selama ini sering diintip oleh seseorang yang hampir sempurna penyamarannya. Apakah Prapto tahu bahwa dia sedang dalam bahaya yang serius? Ah itu bukan urusanku.

Pernah suatu ketika egonya berkata demikian. Tetapi di saat yang lain ia merasa jiwa Prapto memanggilnya untuk melindunginya. Itu juga bagian dari ego dia yang dibangun bertahun-tahun lamanya plus kenangan terhadap anak lelakinya.

Diantara dua ego yang sama kuatnya dan dia miliki sendiri, Bismo mengambil jalan tengah. Dia putuskan untuk mengamati terlebih dahulu bagaimana gerak mahasiswa itu, dan juga mengamati gerak yang mengawasi Prapto.

Harso lewat dengan sepeda motor kesayangannya. Tanpa diduga dia berhenti di Angkringan Slamet. Bismo sering bertemu Harso dan perempuan yang selalu diboncengnya: perempuan malam bernama Mirah. Seperti biasa Mirah menggerai rambutnya yang selalu wangi.

Mengerlingkan matanya yang menggoda tapi tidak berusaha untuk genit.

“Mas bungkus 2 jahe susu nggih,” pintanya pada Slamet yang mendadak gemetar.

Entah gemetar karena apa. Slamet sendiri ingin membentak gemetarnya itu. Berhenti !, ayo Berhenti gemeter. Ngopo toh aku ki (Kenapa toh aku ini), gerutunya.

Dia tidak menjawab Mirah tetapi langsung membuatkan pesanannya setelah terlebih dahulu mengangguk sekilas. Tak berani dia mencuri pandang pada Mirah.

Diberikannya pesanan perempuan penuh daya tarik itu dan segera diambilnya nafas sedikit lega ketika perempuan itu kembali menghilang di kegelapan malam.

Gugupnya Slamet tak lepas dari pengamatan Bismo yang diam-diam tersenyum dan menyeruput kopi kentalnya.

SLAMET LAN SUGIHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang