Slamet Lan Sugih Eps 18

53 2 0
                                    

Slamet Lan Sugih

Cerbung by Lulu

Eps 18
Jogja.
  Kota yang seperti magnit bagi Slamet. Kemungkinan karena usahanya dapat berkembang lebih baik daripada di kampung halamannya, dia memilih kota yang penuh daya tarik ini untuk tempat memperbaiki nasibnya. Sudah hampir  dua minggu dia di kampung halaman. Bapaknya pun telah menyuruhnya segera membuka kembali usahanya yang telah ditinggalkan sejak kepergian simbok.

  Dengan berat hati ia meninggalkan rumah reyot itu setelah beberapa tetangga yang juga saudaranya meyakinkan dia bahwa bapaknya akan baik-baik saja sepeninggalnya.

“Kang, sepertinya kami tidak akan meneruskan usaha ini,” kata Tisna dengan wajah yang lebih ruwet dari rambutnya sore itu. Baru 5 jam Slamet di Yogya. Tentu saja dia terkejut mendengar salah satu dari kakak beradik yang sekamar dengannya itu, mereka yang biasanya menggunakan gerobak angkringan bergantian dengan dia.

“Loh…loh..loh kenapa?” tanya Slamet. “Nggak sanggup atuhlah Kang. Modal makin besar. Mana harus kirim ke kampung. Disini juga harus makan. Daripada ngurus dua dapur lebih baik ngurus satu ajalah Kang. Teu apal rek usaha naon isuk. Tani ajalah,” terang Tisna dengan logat Kawali-nya yang kental.

Slamet hanya bisa melongo. Apakah benar separah ini harga-harga berubah? Kenapa? Karena Presiden ganti? Atau karena demo-demonya Prapto dan teman-temannya? Lantas apakah dia mampu meneruskan angkringannya?

Tisna dan adiknya masih mengemas pakaian-pakaian mereka karena besok sudah kembali ke kampung halamannya. Slamet masih termenung di kursi bambu kecil depan kamar kost bedengnya.

Menjelang maghrib ada tetangga datang dan memberikan selembar kertas yang dilipat rapih tiga bagian. “Undangan mas, dari Pak Narto,” terang si pengirim. “Matur nuwun,” Slamet menyahut.

Dengan penasaran dibukanya kertas itu. Sedikit mengernyit dahinya. Kertas poto kopian dan tertera undangan pernikahan puteri Pak Narto. Bukan isinya yang membuat dia mengernyit tetapi bentuk undangannya yang tak lazim. Hanya ketikan dan difoto kopi.

Malamnya Slamet baru tahu dari Yu Widji kalau memang sekarang banyak yang tidak mampu memesan undangan. Mereka lebih memilih membeli makanan untuk keperluan pernikahan daripada membeli undangan cetakan yang paling murah sekalipun.

“Iyalah,” kata Slamet dalam benaknya, “Mana ada yang lebih murah dari foto kopian.”

======== Esok paginya,

Berjalan gontai dengan membawa beberapa kantung plastik hasil belanjanya di pasar, Slamet disapa Yu Widji yang penuh perhatian.

“Kowe ngapa kok lemes ngono? Wis nge-teh durung?” tanyanya. Minum teh itu adalah kebiasaan hampir setiap orang Jawa. Dari pagi sampai dengan malam, aktivitas mereka diwarnai dengan minum teh. Jika belum minum teh, biasanya badan masih terasa lemas dan kurang bersemangat.

“Sampun mbokdhe (sudah bude),” jawabnya sambil terduduk di kursi reot kecil yang biasa digunakan tiap hari. Biasanya dia memanggil Yu pada perempuan tua itu. Sejak kematian ibunya Slamet merasa kehilangan sosok perempuan yang disayanginya. Sejak itu ia memanggil Budhe pada Yu Widji, untuk menentramkan hatinya sepeninggal ibunya.

“Lah terus?” kejar Yu Widji.
Slamet mengambil nafas panjang dan dalam serta menghembuskannya dengan berat juga. “Kabeh kok genti rega yo Dhe (semua kok ganti harga ya),” katanya nyaris berbisik.

“Lah iyo wingi kan undangan e poto kopian kok. Mbuh iki ono huru hara opo. Pak Harto wis ora dadhi Preseden meneh. Apa merga kuwi ya? (Lah iya, kemarin kan undangan juga potokopian. Entah ini ada kekacauan apa. Pak Harto sudah tidak lagi menjadi Presiden),” terang Yu Widji panjang lebar.

Diliriknya wajah Slamet yang masih cemberut. Sebenarnya bukan hanya harga bahan jualan dan kebutuhan pokoknya yang melejit tak tentu arah, tetapi karena Slamet juga harus memikirkan bayar sewa kamar yang semakin berat tanpa kehadiran Tisna dan adiknya lagi.

Biasanya mereka membagi tiga beban sewa kamar itu. Sekarang hanya dia sendiri yang harus memikulnya. Belum lagi sewa gerobaknya yang juga harus ditanggung sendirian.

Rasa-rasanya kalau bukan wasiat ibunya untuk tetap berusaha di Yogya, dia ingin segera kembali seperti dulu lagi di kampung halamannya. Menghapus kegalauannya, Slamet beranjak ke daerah sumur dan mulai mencuci bersih semua jahe-jahe yang dibelinya untuk dijajakan nanti malam.

Mencuci jahe yang masih penuh dengan balutan tanah itu tidak susah baginya. Digosoknya pelan dengan sikat gigi yang memang khusus digunakan untuk itu. Sepanjang waktu mencuci benaknya tak berhenti berkomunikasi dengan batinnya,mencoba menyesuaikan pergulatan batin yang tidak mudah.

Sebenarnya pikirannya lebih kepada semua pos-pos pembayaran yang sedari tadi sudah bertengger dan ribut meminta perhatian.

Dua cincin . itu saja yang simbok punya dan diberikan kepadanya oleh bapaknya kemarin. Apa iya harus menjualnya untuk kebutuhan-kebutuhan itu?

SLAMET LAN SUGIHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang