Slamet Lan Sugih Eps 6

56 3 0
                                    

Slamet Lan Sugih
Eps 6

  Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Malam itu Prapto datang bersama dua temannya yang lain. Sayang pakde Karmin tidak ngangkring, hanya ada pengamen Jono dan beberapa pelanggannya yang lain seperti pakde Bismo yang seorang pemandu wisata dan Mudji seorang tenaga serabutan.

“Loh mas, ditunggu-tunggu dari kemarin loh sama pakde Kirman dan yang lainnya,” Slamet menyapa langganannya yang murah hati itu.

“Wah iya mas, lama sekali nggak ngangkring. Kemarin cerita keris pakde. Wah kalau mas e ada kemarin bisa makin gayeng (makin rame). Cerito keris sama pamor e,” Muji segera nimbrung.

Prapto tertawa ringan dan berkata, “Biasa mas, banyak kerjaan. Lek biasa yo, tiga.” Dia memesan minuman yang biasanya dia beli.

“Banyak demo-demo yo mas,” tanya Muji lagi dengan aksen Jawanya yang kental. Ketiga mahasiswa itu sekali lagi tertawa ringan.
“Lah nggih mas. Kok ngerti?” tanya Mario, salah satu teman Prapto. “Yo ngerti mas wong tiap hari denger itu terus. Dimana-mana kok demonya. Lah yang di IAIN itu, hampir tiap siang,” Muji tampak bersemangat menjawab pertanyaan Mario.

“Jan-jane pada demo apa to mas?”lanjutnya. “Yo banyak mas. Ada yang protes harga harga yang naik. Ada protes pemerintahan. Macem-macem,” Mario yang tidak sesering Prapto ngangkring di gerobaknya Slamet menjawab pertanyaan penuh rasa penasaran itu.

“Ooo……” terlihat sekali Mudji tidak paham sebenarnya jawaban Mario, tetapi dia mengangguk-anggukkan kepalanya.

Slamet masih sibuk dengan kegiatan utamanya berjualan melayani para pelanggan hampir tanpa jeda, tapi sudut matanya masih melihat kedatangan Tari, mahasiswi yang tempo hari bertemu dengannya di Pasar Demangan, beserta satu temannya yang tidak ia kenal. Terlihat rombongan Prapto berpindah ke area lesehan bersama dengan Tari dan rekannya itu. Mungkin mereka akan rapat seperti biasanya, duga Prapto. Tak lama Tari memesan wedang jahenya dari kejauhan dengan menggunakan kode pada Slamet.

Beberapa antrian pesanan telah berhasil ia buat dan telinganya mendengar sesekali kelompok mahasiswa itu tertawa, termasuk ketika ia mengantarkan minuman pesanan dua perempuan itu.

“Mas, mana kaos yang dikasih Prapto kemarin itu?” tanya Tari disambut gelak tawa yang lainnya.

Slamet langsung teringat insiden kaos hitam itu. “Lah iyo Mas Prapto ki jan. Ngisin-ngisini tenan kok (ngisin-ngisini= membuat malu),” keluhnya polos. Bukannya berhenti tertawa, kelima orang itu semakin keras tertawanya. Ngakak.

Slamet segera mengambil kaos tersebut dan mengembalikannya pada Prapto.

“Nyoh Mas. Dingge piyambak mawon (dipakai sendiri saja),” katanya sambil tersenyum kecut. PRapto yang berjuang menghentikan tawanya tetapi selalu gagal itu akhirnya meminta maaf dengan susah payah agar terlihat serius.

“sek ....sek...Nyuwun ngapunten njih Lek. Minta maap. Aku nggak maksud ngisin-ngisini tapi….bahahaaaaaaa, hakakakkkaaa!!!!” benar-benar Prapto tidak bisa menguasai dirinya.

Slamet yang tadinya biasa saja tidak marah kini menjadi sedikit lebay. “Has embuh mas. Akeh sing tuku (sedang banyak pembeli),” katanya sambil ngeloyor ke gerobaknya.

“Eh..eh lek…lek… tenan aku minta maap yo lik,” mahasiswa itu setengah berlari mengejar Slamet sambil sedikit menyengir. Slamet hanya mendengus kecil. Dia paham Prapto memang usil tetapi dia tampak anak yang baik. “Iyo..iyo…,” jawabnya singkat.

Malam semakin larut. Kelompok Tari dan Prapto tampak bersiap-siap beranjak membubarkan diri. Tari dan teman perempuannya mendekat dan setelah mereka membayar apa yang telah mereka semua lahap, dia mengatakan sesuatu pada Slamet.......

SLAMET LAN SUGIHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang