Slamet Lan Sugih Eps 8

44 3 0
                                    

#SLAMET LAN SUGIH
EPS 8

    Pagi itu kedatangan Yu Widji di depan pintu kamarnya tidak mengagetkan dirinya karena ia telah bangun terlebih dahulu dan hanya bermalasan di tempat tidurnya. Setiap saat dia bisa tidur sangat nyenyak karena rasa letih dan kantuk yang menderanya setelah semalaman begadang.

Tidak seperti biasanya, pagi ini ia tidak dapat tidur  dengan pulas, mungkin karena teringat akan janjian dengan Tari, pelanggannya yang akan mengambil pesanannya. Sudah jam 11 siang akhirnya Yu Widji  mengabarkan kalau ada mahasiswa yang mencarinya. mereka terlambat 2 jam dari yang disepakati.

Segera dia bangun dari tempat tidurnya. Dilihatnya Prapto dan Tari sudah menunggu di atas motor mereka. “Weh, apa mereka berdua ini pacaran?” itu yang pertama kali muncul di benaknya melihat kedua orang tersebut datang dengan berboncengan.

“Loh Mas sampai sini juga?” Monggo-monggo masuk mas mbak,” dia mempersilakan dengan sopan. Kedua orang tersebut segera beranjak ke teras kecil yang menjadi sesak setelah ketiganya berada disana. Setelah mengobrol tentang beberapa hal mereka pamit pulang dengan membawa nasi pesanan mereka.

”Doakan aksi kami lancar yo Mas,”Prapto menyudahi obrolan ringan mereka sore ini dengan pengharapannya. Dan sepertinya, meskipun dia tidak memiliki indra keenam. Pengharapannya sangat penting diucapkan karena demo sore nanti akan menjadi salah satu demo besar di Yogya.
Slamet kembali ke singgasananya.

Memang tidak banyak yang ia lakukan di waktu senggangnya kecuali tidur dan mengumpulkan tenaga untuk berjuang lagi di waktu malam. Lama kelamaan ia merasa agak jenuh sehingga ia putuskan hari itu untuk ke Pasar Ngasem, sebuah pasar di Yogya yang menjual segala macam unggas jenis burung. Senang juga hatinya mendengarkan suara kicauan burung-burung di sekitar tempat kostnya yang dipelihara tetangga-tetangga bedengnya.

Dia paling suka suara perkutut yang ketika bernyanyi memiliki suara yang khas. Kutut manggung. Banyak sekali orang di Yogya yang menggemari peliharaan burung ini. Hampir tiap rumah ia jumpai kandang-kandang burung untuk klangenan ( kesukaan atau hobi) dan bahkan status sosial.

Memiliki burung memang salah satu dari lima krtieria utama penanda kesuksesan bagi orang Jawa. Pertama adalah wisma (rumah), istri, turangga ( kendaraan. Pada zaman dahulu adalah kuda), curiga (keris) dan kukila (burung). Terus terang, Slamet belum punya semuanya itu. Kemarin pernah ia menanyakan perihal keris pada pakde Kirman tapi malah diketawakan.

Sebuah kopata jalur 17 ia hentikan. Sudah ia persiapkan uang dua ratus rupiah guna membayar angkutan ini membawanya ke tempat yang ia tuju. Kali ini kaos putih dan celana jins lusuh yang menemani petualangannya ke Ngasem.

Tampaknya Kopata hari itu sedang penuh sesak, padahal ini hari senin. Slamet duduk sangat mepet di barisan paling belakang. Badannya yang kerempeng menjadi alasan penumpang lain untuk membuatnya terpepet.

Oksigen di hidungnya agak terganggu dengan aroma sampo wanita sebelahnya. Bahkan beberapa helai rambut wanita itu diterbangkan angin sempat mampir ke hidung Slamet. Hampir saja dia bersin karena geli. Perempuan itu cepat-cepat merapihkan rambutnya dan ditatanya disamping. Wangi. Tapi aroma rambut Mirah tidak sama seperti ini. MIrah lagi. Slamet cepat-cepat membuang pikirannya pada wanita itu.

“Kiri Pak, Kiri !” seorang ibu berbadan besar dengan rambut yang diikat karet rapih mengetuk-ngetukkan uang koinnya di kaca kopata. Tidak ada kenek yang bertugas sehingga penumpang harus berteriak sendiri. Dengan susah payah dia harus melalui seorang penumpang yang duduk di sebelahnya.

Mata Slamet membelalak kaget ketika penumpang sebelah ibu itu dengan gerakan tangan yang lihai mencopet dompet ibu itu yang ada di salah satu plastik belanjaannya. Posisi Slamet yang berada paling ujung memungkinkan dia melihat itu dengan mudah. Copet itu tidak ikut turun. Tetapi, pedagang angkringan ini pun urun berteriak. Dia hanya diam membisu menyaksikan
kejadian itu.

Waspada. Dia memegang erat dompetnya yang berisi uang yang tidak seberapa itu ketika harus turun dari kopata. Copet itu pun turun dengan tujuan yang sama tetapi segera menghilang entah kemana.

Ngasem penuh sesak pedagang dan pembeli dan tentu saja tak ketinggalan unggas-unggas yang diperjual belikan. Bau menyengat dari para unggas itu tidak menyurutkan langkah para pembeli untuk berkeliling sekedar mengagumi atau bahkan menawar yang mereka inginkan.

Ayam-ayam jago yang biasa digunakan untuk aduan juga menjadi primadona lainnya.

Konon pasar ini dahulu kala adalah sebuah danau yang sering dikunjungi oleh Sultan Hamengkubuwono II untuk melihat-lihat indahnya keraton dari luar benteng. Namun lama kelamaan danau tersebut berganti menjadi perkampungan yang dari awalnya  menjual burung. Namun demikian, hewan peliharaan lain misalnya ikan, juga dijual belikan disana, lengkap dengan makanannya.

Slamet sudah merasa lelah karena berkeliling kesana kemari. Dia masih menyayangi lembaran uang di dompetnya sehingga ia putuskan untuk tidak membeli hewan peliharaan apapun juga. Berhenti dia di salah satu penjual kacang godok, sekedar melepas lelah dengan membeli sebungkus kacangnya.

Hari sudah semakin sore dan ia putuskan untuk segera pulang ke kostnya. Sempat dia melihat banyak sekali polisi di sekitar gang tempat ia keluar dari Kopata. Ada demo, kata beberapa tukang parkir. Slamet tidak mempedulikan hal itu dan segera berjalan menuju kamar kostnya. Dua temannya sekarang yang bergantian menggunakan gerobak angkringnya.

Maghrib baru saja lewat ketika pintu kamarnya diketok keras dari luar.......

SLAMET LAN SUGIHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang