#Slamet lan Sugih
Eps 4“ Adindaaaa….. coba rasa cintaku di dada
Sesungguhnya cukup lama rinduku ku tunda
Oh adinda oh cintaku
Coba renungkan aku , aku rindu padamuuu”Kali ini Jono benar-benar ngamen bersama dua orang sohibnya. Tentu tak jauh dari angkringan SLamet karena dia bisa mendengar dengan jelas lagu dari Protonema yang sedang hits saat ini.
“Tumben nyanyi Endonesia, biasane enggreess” pikirnya sendiri. Jono dan kawan-kawannya memang sering mengamen dengan lagu berbahasa asing yang Slamet tidak faham.
Dia telah sampai di lokasi dagangnya sore ini selepas tidur siang yang cukup lama. Rutinitasnya meliputi persiapan lapaknya: membersihkannya dengan lap basah serta tak lupa menyapu dengan sapu lidi dalam radius tertentu.
Jam lima sore para penyetor makanan telah berdatangan dan arang yang telah dibakarnya pun telah siap memanaskan air dalam satu ceret besarnya.
Dia juga melengkapi perjuangannya setiap hari dengan obat nyamuk oles karena nyamuknya luar biasa ganas jika malam semakin tua. Dan demikianlah satu persatu pelanggan tersayangnya datang.
Dalam sekejap tiga bangku yang berada di sisi gerobaknya langsung terisi. Biasanya kelompok pembeli jam segini tidak terlalu lama nongkrong. Biasanya mereka adalah para mahasiswa yang memang sengaja makan malam di angkringannya dan tidak banyak ngobrol.
Jika mereka hendak mengobrol seru biasanya mereka akan duduk menjauh di lesehan.
“Gembus e kok ora ono Lek,” seorang pembeli yang dia belum hafal namanya menanyakan keberadaan panganan yang sakti itu.
Sakti karena berapapun kenaikan harga semua bahan makan, gembus kebal. Tetap harganya.“Rung teko mas, mungkin ora teko (Belum datang mas, atau mungkin tidak datang),” Slamet menanggapi pembelinya itu sambil mengelap beberapa gelas.
Tetapi diam-diam Slamet juga baru sadar bahwa si gembus belum datang sore ini. Jangan-jangan sudah tidak sakti lagi tempe itu, sudah kena imbas harga naik. Waduh! Repot kalau begini caranya.
“Mas, nuwun sewu. Ini harga minuman dan beberapa makanan ada yang naik sedikit. Nuwun sewu njih mas. Semuanya juga ikut naik soalnya,” Slamet dengan hati-hati menerangkan kenaikan harga jualnya.
“Wah ! piye iki. Ojo larang-larang mas,” protes beberapa pembelinya yang semua bertampang mahasiswa masa krisis karena kebetulan sekarang mendekati tanggal tua.
Slamet menanggapinya, “Mboten. Ndak tinggi kok naiknya mas. Cuma sekarang gorengan jadi 150 rupiah. Cuma naik 50.”
“Yo lumayan sih mas, tapi mau gimana lagi,” si kacamata yang tak lain adalah pemula dalam hal menilep makanan warungan, yaitu Budi angkat bicara sambil mencomot tempe goreng tepung.
Teman sekamarnya Arman tak pernah ketinggalan dan sekarang sedang berusaha menelan nasi kucing yang sedari tadi dikunyahnya. Sedikit agak melotot dia menelan kunyahan nasinya plus tahu isi. Seret.
Budi hampir saja tertawa tapi ditahannya sekuat tenaga melihat penderitaan temannya itu
RUSH DI BANK BRI YOGYA
Yogya 9 Juli 1997. Hari ini terlihat hampir seratus orang
Bank BRI Yogya cabang Demangan. Mereka
tabungan mereka di bank dikaren
dampak krisis moneter terhadap likuiditas ba
mereka ini beralasan karena telah lebih
krisis menghantam Indonesia. Pengamat meya
tahun 1997 ini adalah tahun yang sangat krit perekonomian Indonesia. Pemerintah harusPotongan kertas pembungkus salah satu nasi kucing itu ia baca meskipun sudah sobek dan banyak kalimat yang tidak lengkap.
Arman yang saat ini sudah berhasil menelan nasinya dan menyeruput wedang jahenya segera menanggapi,
“Oh iyaaa. Aku kemarin pulang dari Gejayan. Pas belok di pertigaan Demangan itu memang lihat buanyak orang di depan Bank.”Budi pun berujar, “ Apa itu yang menyebabkan harga naik ya?” “Ya mungkin aja,” kata Arman, “Apa-apa kok naiiik. Kemarin aku ke Mirota cuma beli sabun saja. Itu pun daripada ndak beli. Malu juga jalan sama cewek ke Mirota ndak beli apa-apa,” tandasnya diikuti suara ketawa geli Budi dan senyuman Slamet.
“Sama siapa emang? Sama Dewi ya ?” tanya Budi masih saja geli. “Nggak. Sama anak Peternakan,” jawab Arman malu-malu. Temannya masih mentertawakannya.
Para mahasiswa itu seperti yang diperkirakan Slamet, tidak lama nongkrong di warungnya. Ini bukan malam sabtu atau malam minggu.
Mungkin mereka sibuk dengan sekolahnya. Slamet tidak tahu menahu tentang kuliah, tapi dia menyangka pasti perkuliahan itu berat dan sangat lama.
Dengar-dengar mereka belajar sampai lima tahun. Ya Allah gusti, belajar apa itu kok sampai lima tahun, pikirnya.
Angkringannya sempat sepi sebentar dari orang yang ngangkring karena kebanyakan pembeli hanya mampir sebentar mengambil makanan.
Hanya dua orang mahasiswa yang kini baru saja datang dan langsung nongkrong di kursi kayu. Slamet segera membuatkan minuman buat mereka berdua dan telingannya secara otomatis mendengar apa yagn mereka perbincangkan dengan seru.
“Kakiku ini masih sakit. Dasar keparat !” si pemuda berkaus coklat terdengar sangat marah.

KAMU SEDANG MEMBACA
SLAMET LAN SUGIH
General Fictionpotret perjuangan kehidupan yang berlatar belakang situasi politik Indonesia tahun 1998