“Iii ya…Pak. Bapak siapa njih?” tanya Slamet gugup.
“Tidak penting Pak Slamet tahu kami. Tenang saja Pak. Kami tidak bermaksud jahat terhadap Bapak,” salah satu lelaki bersuara berat itu menenangkan Slamet ketika melihat pedagang angkringan itu gugup dan ketakutan. Slamet hanya diam. Perasaannya tidak enak. Bagaimana mereka tahu namanya.“Pak Slamet. Kami tahu bapak kenal dengan orang yang bernama Prapto,” lanjut mereka lagi. Seketika Slamet percaya dengan keyakinannya sebelumnya. Ini adalah orang-orang yang mencari temannya itu.
“Kami ingin ketemu Prapto. Ada satu hal penting yang bisa dilakukan olehnya. Tetapi terus terang kami kesulitan melacaknya sampai kemarin kami tahu dia ada disini di kamar panjenengan. Kemana dia sekarang?” tanyanya lagi.
Slamet sedikit merinding dan dengan ragu menjawab, “Sa…saya kurang tahu Pak. Ndak bilang mau kemana,” jawabnya.
Salah satu dari keduanya tertawa sementara yang lain berwajah tegang.
“Hehehehe….masak ndak tahu Pak. Coba diingat-ingat lagi. Prapto itu orang penting. Kalau bapak bisa memberitahu kami nanti bapak mendapatkan hadiah terimakasih. Bapak butuh modal untuk mengembangkan usaha angkringannya mungkin?” desaknya.
Slamet semakin ketakutan. Perasaannya membisikkan orang ini pasti telah mengamatinya. Kok dia tahu kalau aku punya usaha angkringan. Setitik keringat muncul di pelipisnya.
“Saestu Pak….sungguh saya tidak tahu,” dengan gemetar dia menjawab.
“Dipikir-pikir lagi Pak. Jangan menyembunyikan Prapto,” si wajah tegang ikut bersuara kini. “Ini masalah serius. Bapak lebih baik berkerja sama dengan kami. Kami tahu Prapto sering sekali di angkringan anda. “
Slamet tidak bersuara. Dia hanya diam dan menunduk gelisah.
“Baiklah, kami tunggu informasi dari bapak secepatnya,” seorang lagi akhirnya menyudahi “obrolan” mereka malam itu.
Si wajah tegang membuka kamar Slamet. Penjual angkringan itu hanya pasrah dan tidak berani melarangnya. Tetapi tak lama pintu itu ditutup kembali dan kedua orang itu pun segera meninggalkan Slamet yang masih gemetar.
Dia masuk ke kamar dimana si Sar tidurnya sangat pulas bahkan mendengkur. Mereka tahu wajah Prapto. Buktinya Sar tidak diganggu sama sekali, pikirnya. “Aku harus pulang. Simbok juga sedang sakit,” bisiknya.
Tak berapa lama Slamet menyusul Sar tidur meskipun tidak lelap seperti biasanya. Pulang . Pulang. Hanya itu yang ada dalam pikirannya.
Sementara itu diluar sana kedua lelaki berambut cepak itu berdiskusi di dalam mobil mereka yang diparkir agak jauh dari tempat itu.
“Menurutmu dia menyembunyikan target kita?” tanya salah satu dari mereka.
“Hmm….ku pikir tidak,” jawab temannya, “Aku memperhatikan gerak tubuh dan matanya, tetapi kita harus tetap mengamatinya. Pasti target kita akan menghubungi dia lagi. Aku yakin.”
Keduanya menghilang bersama kepulan asap dan suara menderu mobil yang menembus malam yang menyembunyikan mereka.
Sekitar dua puluh kilo dari situ di sebuah gerbong kereta kelas ekonomi. Diantara desak-desakan para penumpang yang duduk di lantai, di kursi dan di tangan kursi, diantara asap rokok yang pekat dan karbondioksida yang berkelahi dengan oksigen, Prapto dan Edy, temannya, duduk dengan kaki tertekuk.
Mereka berdua menuju Jakarta, bergabung dengan jaringan mereka yang jauh lebih besar. Hanya tekat dan kenekatan yang menjadi bekal mereka.
Beberapa teman gerakannya di Yogya sudah terlebih dahulu menunggu mereka disana, tersebar di sudut-sudut kota yang pengap. Berorasi dan menyiapkan semua peluh dan tenaganya untuk aksi yang lebih besar beberapa hari kemudian.
KAMU SEDANG MEMBACA
SLAMET LAN SUGIH
General Fictionpotret perjuangan kehidupan yang berlatar belakang situasi politik Indonesia tahun 1998