Pagi yang tak biasa.
Di Sleman, kabut seakan lebih tebal dari biasanya. Turun dengan sengit seakan marah akan panas yang kemarin diberikan bumi dari aksi bakar-bakaran ban.Sepertinya semua orang juga malas beranjak dari tempat tidurnya kalau tidak ingat akan apa-apa yang harus mereka penuhi pagi itu. Beberapa keluarga yang menggantungkan hidupnya di daerah Samirono sudah absolut memutuskan tidak akan membuka toko mereka untuk beberapa hari ke depan.
Aksi penuh bentrok kemarin sungguh-sungguh membekas menjadi trauma penuh bagi mereka yang tinggal disekitar. Para tukang becak sejak kemarin tidak lagi ditemukan mangkal di sekitar kampus SADHAR Sanata Dharma yang berseberangan dengan UNY. Steril. Semua steril.
Bau mesiu, suvenir dari keributan kemarin sore sudah lama menguap dari tadi malam, tetapi gas air mata masih menyisakan efek pedih di wajah jika kau lewati jalan sisi utara SADHAR.
Embun masih sangat dingin, sedingin bongkahan es yang mencair perlahan. Embun itu selalu hadir setiap pagi seakan-akan menyambut kehidupan baru yang baru saja mulai.
Tetapi untuk hari ini, embun itu bagaikan air mata sang dewi kehidupan yang merana kehilangan salah satu kesayangannya. Embun dan kabut itu seperti pertanda akan berkabungnya alam akan apa yang mereka saksikan tadi malam.
Ya, hanya segelintir orang di Yogya yang tahu akan apa yang terjadi malam tadi. Malam dimana hampir semua orang tertidur pulas kecuali mereka yang usai aksi. Banyak dari mereka yang tidak bisa pulang ke kostnya karena berbagai macam alasan keamanan sehingga mereka berlindung di mercusuar teraman yang menjaga mereka, kampus.
Begitu juga dengan mereka para demonstran yang malam itu memutuskan untuk bermalam di beberapa ruang Unit Kegiatan Mahasiswa di UNY dan SADHAR.
Tetapi bahkan sampai detik ini mereka akan terus bersyukur karena masih memiliki hal yang paling berharga dalam hidup, yaitu nyawa.
Embun yang ramah dan kabut yang melindungi itu seakan hendak menghapus jejak darah pemuda itu.
Dibersihkannya dari tanah yang menjadi saksi dan menjadi ibu yang memeluk anaknya kembali ke pangkuannya. Embun itu seperti menyeka tangis sang ibu bumi yang menyaksikan sendiri bagaimana pemuda itu dipaksa mengeluarkan nyawanya.
Setiap detik dia memeluk anak-anaknya yang kembali ke perutnya. Dia telah menyaksikan bagaimana mereka melepaskan nyawanya dengan cara yang halus maupun dengan cara yang sangat kasar.
Malam tadi. Malam yang dilalui oleh banyak orang Yogya dengan tidur pulas adalah malam terakhir bagi Moses GatotKaca di bumi ini.
Pemuda itu telah rebah dengan terpaksa. Mencoba mengambil nafasnya satu persatu. Bukan karena kehendaknya mungkin, tetapi karena tubuhnya dan otaknya memerlukan itu agar oksigen memeluk ruhnya.
Tapi sang ruh telah ikhlas meninggalkannya dalam damai di dalam ambulans ketika jasadnya dikelilingi beberapa mahasiswa teman-temannya.
Mereka melarikannya ke Rumah Sakit Panti Rapih. Tetapi, ruh Moses memutuskan untuk memenuhi panggilanNya. Kepala dan rahang yang retak telah ia tinggalkan selamanya untuk satu ketika kembali menjadi unsur awalnya, tanah dan debu.
Yogya sepagi itu telah gempar. Mulut-mulut berbicara. Dering telepon tak usai. “Ada mahasiswa meninggal di Sanata Dharma!” “Tadi malam ditemukan!” “Namanya Moses!” “Katanya kena gas air mata!” “Katanya dihajar sampai mati!” “Katanya salah sasaran!” “Dia bukan pendemo, cuma mahasiswa biasa!” dan lain-lain omongan yang sumir tak jelas.
Dia adalah Moses GatotKaca yang tadi malam mencari warung untuk membeli makan malamnya. Malang tak dapat ditolak. Keroyokan dan hajaran dari mereka yang berseragam menuntaskan cita-citanya, entah apa cita-citanya, malam itu.
Dia sudah selesai di bumi ini.
Pagi yang mengguncangkan jiwa para pendengarnya. Tak terkecuali bagi Prapto yang mendengar dari keributan pagi tadi orang-orang disekeliling bedeng.
Dia merasa menjadi orang yang paling pengecut di dunia. Kenapa dia harus lari? Kenapa dia tidak membiarkan dirinya ditangkap? Kenapa orang lain, mahasiswa lain yang bukan pendemo yang harus menjadi korban? Mungkinkah para pengeroyoknya menyangka Moses adalah dia? Prapto mengutuk dirinya sendiri dan juga mereka yang menyebabkan kematian Moses.
“Semoga kematiannya tidak sia-sia bagi perjuangan ini,” bisiknya geram. Air matanya menetes deras di dalam lubuk hatinya. Dia ingin berteriak dan lari dari tempat itu. Bingung dia.
Teman-teman gerakannya belum lagi bisa menemukannya. “Semoga Tari tahu dimana aku sekarang,” harapnya cemas.
“Mas ngeteh dulu,” Slamet menawarkan segelas teh panas. Prapto yang sedang bingung itu kembali merasa terharu. Dengan spontan dia merogoh sakunya. Masih ada dompetnya.
Tetapi dia tidak akan membayar untuk teh pagi itu karena dia tahu Slamet berusaha menghormati tamunya. “Matur nuwun Lek,” jawab aktivis itu, “ Itu yang tadi malam siapa? Kemana dia?” tanyanya mengenai si Sur.
KAMU SEDANG MEMBACA
SLAMET LAN SUGIH
Ficción Generalpotret perjuangan kehidupan yang berlatar belakang situasi politik Indonesia tahun 1998