Bertahan Demi Siapa

485 42 33
                                    

"ternyata mencintai itu tidak semudah membalik tangan. Karena jika aku ingin cintamu aku harus meminta izin pada Tuhanmu."

Masih Menetap

Sudut pandang Lee Jongsuk

"menghadaplah kepada Allah dengan hati yang ikhlas, lalu aku akan percaya bahwa semua ini bukanlah sebuah ilusi."

Kata-kata Anna selalu terputar ulang oleh memoriku. Entah kenapa tidak ada kalimat lain yang terdengar lebih menyakitkan daripada itu.

Aku bisa saja pindah agama sekarang juga didepan Anna, namun keluargaku? Aku terlalu memikirkan bagaimana sakitnya hati mereka jika aku memilih keluar demi mengejar cinta.

Farhan bilang, jika aku ingin masuk islam harus lillah, semata-mata karena Allah. Aku mencintai Tuhan Anna, aku juga mencintainya, tapi aku juga mencintai keluargaku.

Drrtt... Drrtt... Drrtt...

Ku abaikan panggilan itu, kepalaku masih belum bisa pulih dengan persoalan ini. Anna, satu-satunya wanita yang membuat aku segila ini. Bahkan aku belum pernah melihat wajahnya, tingkah lakunya bisa dibilang cukup normal untuk ukuran wanita, namun ada sesuatu yang membuat Anna terasa istimewa dan aku sendiri tidak tahu apa itu.

Bunyi ponselku terus berulang hingga panas telingaku mendengarnya. Ku lihat sekilas nama seseorang yang memanggil. Nama manajerku terpampang jelas disana.

"yeobboseyyo?"

"ya! Kau gila? Kabur kemana kau?"

Aku sedikit mendengus kesal, aku tahu dia peduli tapi terkadang aku merasa risih terkekang.

"aku tahu kau ada di indonesia, kau ini suka sekali pergi menghilang." suaranya frustasi disana. Ya, aku memang keterlaluan.

"aku sedang ada urusan pribadi disini." balasku akhirnya.

"urusan pribadi pantatmu! Lalu syuting dramamu bagaimana? Berhentilah untuk mencoba menjadi gila, cepat kembali. Pihak produser tengah marah besar padamu!"

Aku memijat keningku perlahan, pusing. Urusan mana yang harus kudahulukan. Anna atau karirku? Memang benar, wanita itu racun dunia.

"arra, aku akan kembali jika urusanku telah selesai. Bilang kepada pihak produser untuk memberiku dispensasi. Aku sedang frustasi sekarang ini." teriakku akhirnya, tidak peduli bahwa yang kusinggahi bukan rumahku sendiri.

"kau dalam masalah besar?" tanyanya kembali, kini nadanya makin memelan. "kenapa tak pernah menceritakannya padaku?"

"hyung, aku bahkan tidak tahu bagaimana cara bercerita. Aku benar-benar bingung sekarang ini."

Aku mendengar lantunan Al Qur'an yang menggema disetiap sudut ruang rumah Farhan. Aku menangis sejadi-jadinya, manajerku semakin bingung mendengar suaraku.

"entah kenapa aku ingin meninggalkan aktingku." keluhku akhirnya.

"lalu kau mau kerja apa? Pikirkan penggemarmu, aku juga belum siap kehilanganmu Jongsuk-a."

Oh God, bahkan kami terlihat begitu memilukan sekarang. Pikirku sedih kemana-mana. Anna bahkan menyudutkanku ditengah keterpurukkanku ini.

"besok aku akan ke Indonesia, jemput aku di bandara. Kita bicarakan semua ini disana." kalimat terakhir manajerku terdengar parau.

Kudengar ketukan langkah kaki yang kian mendekat, segera aku menyeka air mataku.
Lalu kudapati Farhan disana, dikepalanya telah bersemayam peci kebanggaan kutebak dia baru selesai sembahyang.

"waktunya makan malam." ucapnya lembut kemudian pergi meninggalkan pintu kamarku yang terbuka begitu saja.

Aku segera turun dan ikut melengkapi kursi yang masih kosong, yang masih berharap untuk diduduki. Mereka semua sama denganku, berdoa sebelum makan tapi bedanya nama tuhan yang kami sebut.

"Jongsuk besok aku akan oergi kerumah teman, kau disini sendiri tak apa?" tanya Farhan di sela makan kami. Sungguh kikuk untuk membalas satu kalimat dari Farhan.

"iya, tak apa." aku kembali menyantap makanan yang ibu Farhan buat. Ada sebuah sup dengan rasa asam dan berisikan daging sapi dan beberapa irisan cabai dan apa itu aku tidak tahu.

"masakan ibu enak tidak?" Farhan mulai menerjemahkan kalimat yang baru saja ibunya katakan.

Aku tersenyum kepada ibunya,  "Terimakasih banyak bu, masakannya sangat enak." balasku dengan gimik wajah seramah mungkin.

Ibunya tersenyum kemudian tertawa kecil, setelah mendengar penjelasan dari anak kesayangannya itu. Setelahnya ia menunjuk sup yang ia hidangkan untukku tadi. "sayur asem, namanya sayur asem." jelasnya dengan bahasa korea dan dengan logat yang agak tidak meyakinkan. Gramarnya tak karuan juga agak aneh melihat ibunya Farhan berbahasa korea.

Aku tertawa, sungguh agak aneh mendengar logatnya. "akhirnya kamu tertawa juga."

Oh. Aku terkejut. Ayahnya sangat fasih, kukira ayah Farhan tidak dapat berbicara dengan bahasaku.

Dengan terbukanya ayah Farhan mau mengobrol dengan bahasa korea, keheningan di meja makan semakin senyap. Kami asyik dengan lelucon dan obrolan ringan yang ayah Farhan lantunkan. Sedangkan ibunya terkadang merasa di acuhkan karena satu-satunya yang tidak mengerti bahasa korea disini.

Baiklah. Untuk sejenak lupakan dulu Anna, lupakan dulu masalah-masalah yang pernah memenuhi pikirku. Aku butuh suasana keluarga.

Bojonegoro 22 Januari 2019

Salam sayang dari authorr 💞

Maaf ya baru sempat publish.

Huhu ceritanya makin rumit ya, maafin author.
Terus dukung SDLK ya~

Budayakan mengaji readers achuu

Syahadat di Langit KoreaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang