Lorong Kosong

72 12 10
                                    

Aku titip rindu kepada Allah, agar Dia tahu rindu ini pantas tersampaikan atau tidak

Hati yang Sunyi

Sudut pandang Anna

Lantunan adzan berkumandang, Abi menghentikan bacaan Al Qur'annya. Segera bangkit dan mengambil wudhu, seperti biasa Abi selalu jamaah di masjid.

"kau sudah dapat kabar dari Farhan?" tanya Abi saat meletakkan Qur'annya diatas lemari.

Aku hanya menggeleng, kemudian tersenyum tipis. Sudah hampir 2 minggu sejak keberangkatannya tapi Farhan belum juga menghubungi bahkan sekedar memberi kabar.

"sudah jangan kau risaukan Farhan, doakan saja. Abi dan Umi juga begitu." lalu bayangan Abi menghilang.

Aku termenung, bayangan Farhan lama-lama pudar dari ingatan. Ketakutan itu muncul, kehilangan Farhan aku tidak ingin itu terjadi.

Abi berpamitan untuk ke masjid, aku mengangguk kemudian mengambil wudhu. Aku melihat cincin yang melingkar sempurna di jari manisku. Pikiranku tentang Farhan semakin menjadi-jadi.

Ya Allah semoga kau melindunginya.

***

Sekitar pukul 16.00 WIB Nur datang ke rumah, izin untuk menginap.

"tumben sekali kamu menginap?" tanyaku saat dia membuka tasnya.

Dia mendengus kesal, "malam ini aku akan ta'aruf dengan lelaki yang Umi pilihkan."

Aku masih memandanginya dengan tatapan bingung.

"kamu lari dari rumah?" dia menghentikan aktivitasnya, lalu melihat kearahku sepenuhnya.

"aku bukan lari, hanya menghindar. Lelaki yang akan ta'aruf denganku adalah seorang duda yang memiliki anak. Aku belum siap untuk merawat anak, suami saja belum bisa apalagi mengurus anak?"

"aku teringat kau saat kau bilang Farhan pergi. Jadi sembari lari dari rumah aku menemani kamu yang kesepian." sambungnya dengan nada menggoda.

Wanita kelahiran Medan itu sepertinya benar-benar membuat moodku meningkat. Tapi keputusan yang ia ambil salah. Bagaimanapun juga sudah kewajibanku sebagai saudari sesama muslin itu mengingatkannya.

"Nur, bukannya aku melarang kamu tidur disini menemaniku. Tapi apa yang kamu lakukan itu salah. Ta'aruf itu hanya saling mengenal Nur, jika kamu merasa tidak cocok kamu boleh menolaknya itu hakmu. Lgipula kamu juga tidak izin dengan ayah maupun ibu kamu, itu tidak baik."

Raut wajah Nur cemberut, tangannya memegang kedua tanganku erat.

"kalau begitu, kau temani aku ya kau kan sahabatku. Ya meski pernah berpisah saat kau di Korea."

"aku izin Abi dulu."

"makasih Ann."

Nur memelukku erat, masih teringat betul saat Farhan datang melamar. Tak ada proses ta'aruf antara kami. Kami memilih tanggal yang sekiranya tepat setelah itu pernikahan akan dilaksanakan.

Tinggal menghitung hari, tetapi Farhan belum juga memberi kabar. Ini yang membuat aku resah.

"kau kenapa?" Nur memperhatikan raut wajahku. Aku hanya menggeleng sambil tersenyum tipis.

"aku hanya bingung." balasku kemudian.

Aku ingat pesan Farhan sebelum berangkat.

'Doakan aku dalam shalatmu. Mohon Allah untuk melindungiku.'

Bahkan sekarang jarang sekali aku melihat bayangan Jongsuk. Dia tiba-tiba menghilang, tanpa memberi sebuah pesan ataupun sekiranya mengucap salam.

"belum ada kabar dari Farhan?" tiba-tiba Nur mendekatkan wajahnya padaku.
Aku tersenyum, sembari menggeleng pelan.

"tidak, aku bingung harus bagaimana lagi membujuk kamu untuk ta'aruf."

Dia tertawa kecil, akupun mengikuti. Pintu kamarku terbuka lebar, ada sosok Abi dibaliknya beserta Umi yang tengah merapikan jilbab panjangnya.

Aku memandangi keduanya dengan tatapan linglung, tak ada jawaban apapun dari kedua sorot mata lelaki yang telah berusia setengah abad lebih itu.

"Sebaiknya kamu harus berkemas." hanya itu sepatah kata yang keluar dari mulutnya.

"berkemas kemana?"

"kita akan menjemput Farhan."

Bojonegoro, 23 Oktober 2020

Sekali lagi maaf jika penulis lama sekali updatenya. Mohon pengertiannya....

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 23, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Syahadat di Langit KoreaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang