PROLOG

27.7K 1.9K 30
                                    

12 jan 2019

happy reading

PROLOG

Celine Blythe mengambil sayur dengan sumpit, kemudian menyuapkan ke mulut. Ia mengunyah dengan nikmat. Saat ini Jumat malam, ia dan sahabatnya, Jane, sedang berada di restoran Chinese food. Hampir semua meja di restoran itu terisi pengunjung.

"Jadi kau masih setia mengharapkannya?" tanya Jane sambil mengambil potongan ikan dengan sumpit.

Meski Jane tidak menyebutkan nama, Celine sangat tahu siapa yang dimaksud sahabatnya itu. Sesaat ia terdiam, kemudian kembali melanjutkan makannya. "Ada alasan aku harus berhenti mengharapkan dia, Jane? Kau pun tahu sudah tujuh tahun ini aku mencintai dia. Aku yakin, suatu hari nanti dia pasti membalas cintaku," kata Celine setelah makanan di mulutnya habis. Ia meraih serbet dan menyeka bibir, kemudian meraih teh hijau dalam cangkir kecil dan menyesapnya.

"Kau tahu, Celine, kadang-kadang aku pikir kau ini sangat naif." Jane turut meletakkan sumpit, meraih serbet dan mengelap mulut.

Celine mengangkat alis, bertanya tanpa kata mengapa sahabatnya sejak di bangku kuliah itu berpendapat demikian.

"Kau sudah dua tahun bekerja padanya. Dia selalu bergonta-ganti wanita, alih-alih menyadari pesonamu. Padahal kau cantik dan seksi."

Celine menyeringai samar mendengar kalimat terakhir sahabatnya itu. Namun kemudian kesenangan akan pujian itu menguap saat teringat pada kalimat sebelumnya. Seringai Celine memudar.

Jane menyesap teh hijau. "Celine, sebaiknya kau berhenti mengharapkan dia daripada menyia-nyiakan masa mudamu. Kau akan menyesal. Di luar sana, ada banyak pria tampan yang pantas untukmu."

Bibir Celine mengerucut mendengar nasihat sahabatnya. Ini bukan kali pertama Jane menasihatinya demikian.

"Lihat aku. Sejak kita kuliah sampai sekarang, aku sudah menjalin hubungan beberapa kali. Sementara kau ...?"

Bibir Celine semakin runcing ke depan. Ia menghela napas panjang dan mengalihkan tatapannya dari Jane. Tatapannya berhenti di pintu masuk restoran. Rona wajahnya seketika berubah.

Itu dia pria yang mereka bicarakan. Dia bersama kekasihnya, si foto model berdada tumpah ruah. Rasa nyeri merambat di seluruh pembuluh darah Celine. Ia memalingkan muka, mengatur rambutnya agar sedikit menutupi wajah. Ia tidak mau pujaan hatinya itu melihat keberdaannya di sini. Akan sangat menyakitkan jika pria itu menyapanya bersama si simbol seks.

Seperti menyadari perubahan emosi Celine, Jane memalingkan wajah ke pintu masuk.

Dua detik kemudian Jane kembali mengalihkan pandangannya pada Celine. Matanya menyiratkan, aku-bilang-juga-apa.

Pria tersebut bersama kekasihnya diantar oleh pelayan menuju sebuah meja. Celine bersyukur mereka tidak melewati mejanya, bahkan jarak mereka cukup jauh, terpisah oleh beberapa meja. Lebih melegakan lagi, pria itu duduk membelakanginya.

"Percaya padaku, Celine, kau bodoh kalau terus mengharapkannya sementara dia sibuk memuaskan wanitanya. Apa kau tak lelah bertepuk sebelah tangan?"

Kalimat itu berhasil menusuk hingga menembus jantung Celine. Seluruh saraf dalam tubuhnya terasa ngilu. Memuaskan wanitanya. Selama ini Celine tidak mau memikirkan atau membayangkan bagaimana hubungan ranjang pria itu dengan wanita demi wanita yang datang dan pergi dalam hidupnya. Namun saat Jane mengucapkannya, Celine merasa mual. Ia tidak ingin membayangkan keintiman pujaan hatinya bersama wanita lain. Ia cemburu. Ia sakit hati. Dan ya, ia lelah bertepuk sebelah tangan dan disakiti terus-menerus seperti ini.

Mata Celine memanas, ia mendongakkan kepala, berharap air matanya tidak jatuh.

Jane menghela napas panjang. Ia mengulurkan tangan ke seberang meja, meremas lembut pungung tangan sahabatnya untuk menenangkan. Setelah beberapa detik, ia melambaikan tangan kepada pelayan.

Lima menit kemudian keduanya keluar lewat pintu belakang.

bersambung...

please vote dan komen ya, kawan2

makasi.

Romantic Secret [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang