Part 9

141 32 2
                                    

Gosip tentang keadaan Allysa menyebar luas ke seluruh siswa. Seperti mendapatkan obrolan baru, mereka hanya  berbincang mengenai kondisi Allysa yang semakin parah.

Di mana-mana dan siapa pun pasti akan bergosip ria jika mendapatkan kejadian-kejadian yang menurut mereka perlu untuk diperbincangkan. Dari setiap kejadian yang aneh mesti selalu dihubungkan oleh ulah seseorang yang telah mati dan mulai meneror siapa saja yang menurutnya layak untuk di teror.

Tak terkecuali kelompok Tania. Di sana di sudut ruangan kantin tampak Tania dan para sahabatnya sedang menikmati minuman masing-masing. Seakan tak mau ketinggalan untuk membahas Allysa, mereka pun ikut turut andil membicarakan Allysa.

"Tan, Lo udah tahu tentang Allysa?" tanya Rara sambil jemarinya memutar gelas di atas meja.

"Aku belum sempat menjenguk ke sana! Tetapi katanya ia semakin parah?" Tania menyahut dengan memasang muka yang serius.

"Jangan-jangan ia kesambet hantunya Elga--hiii serem," timpal Riska yang sedari tadi diam kini berbicara dengan ekspresi yang seakan merasa takut.

"Nah, bisa jadi begitu." Rara tak kalah takutnya dengan Riska.

"Hus! Kalian ini apa-apaan! Percaya saja gosip kayak gitu. Biarin deh kayak gitu supaya nyekik kalian satu-satu." Tania berdiri dan pergi meninggalkan kantin. Ia paling tidak suka setiap misteri yang terjadi di sekolah ini selalu dihubungkan dengan orang yang sudah mati. Tania tak pernah percaya akan hal semacam itu.

Dengan perasaan yang bergidik ngeri Rara dan Riska mengikuti Tania meninggalkan kantin. Tangan Riska menarik tangan Devana untuk ikut pergi.

***

Kejadian semalam membuat Allysa semakin ketakutan. Perasaannya kini bercampur aduk antara bersalah maupun benci terhadap dirinya sendiri.

Aku pembunuh! Aku sudah membunuh adikku! Tidak, aku tidak pernah melakukannya! Ah tapi semalam kakiku yang menendang.

Allysa meringkuk di pojok dengan tangan memegang kepalanya dan mengacak rambutnya yang bergulung menjadi satu.

Hahaha! Darah! Darah itu merembes keluar setelah aku tendang! Aku hebat, tendanganku seperti pemain bola terkenal!

Pandangan Allysa beralih pada pintu. Allysa melompat ke arah sudut kasur sembunyi di sana setelah seorang perempuan tua masuk membawa makanan ke kamarnya.

"Non, Bibi bawakan sarapan buat, Non."

"Mama! Mama ke mana? Mama ke mana!" Allysa masih bersembunyi di balik sudut kasur. Ia bertanya dengan suara setengah berbisik. Allysa merasa heran biasanya Mama yang membawakan makanan itu untuknya, tapi kini kenapa Bibi? Gangguan halusinasinya membuat ia tidak stabil dengan segalanya. Baik ingatan maupun ucapannya.

"Mama Non masih di rumah sakit. Ya sudah ya Non Bibi permisi dulu ke dapur" Bibi melangkah dengan cepat untuk segera keluar dari kamar Allysa. Bibi merasa takut untuk berlama-lama berada di dekat Allysa.

Apalagi kini ia hanya berdua dengan Allysa di rumah.  Mengingat pembantu lain sudah pada resign mengundurkan diri karena takut melihat keadaan Allysa. Ingin rasanya ia ikut resign. Namun karena ia sudah bekerja sejak lama di sini maka ia memilih bertahan.

Allysa berdiri dengan tangan menangkup muka dengan perlahan ia membuka tangan dan Baa! Ia tertawa sendiri dengan jingkrak-jingkrak layaknya mendapatkan hadiah mobil ataupun rumah.

Allysa membentangkan kedua tangannya berlari dan berputar layaknya seperti pesawat terbang yang siap landas terbang menuju angkasa.  

Dan kini wajahnya berubah menjadi ketakutan dengan kedua tangan menutup kedua telinga. Suara-suara itu kembali hadir. Allysa melangkah mundur dan mundur menindihkan tubuhnya ke tembok.

"Keluar kalo berani! Jangan sembunyi!" Allysa menantang dengan kaki bergetar takut.

Nada-nada itu semakin dekat dan mendekat ke arahnya. Allysa menoleh ke arah samping, munculah sosok dengan wajah lebih hancur, darah terus mengucur mengalir menetes dari rambutnya tanpa henti menyebabkan bau anyir terus menguar.

"Apa mau kamu?" Tangan Allysa menunjuk dengan telunjuk yang bergetar.

"Kematian! Kematian!" Suara itu menggelegar memenuhi ruangan membuat Allysa memeluk tubuhnya sendiri.

Allysa semakin ketakutan, ia beringsut dan berhenti di pojokan dengan mendudukkan dirinya sembari kepalanya dibenamkan di antara kedua lututnya.

Allysa menutup telinga dan mendongak, ia semakin meringkuk setelah mendengar suara bayi menangis. Tangisannya seakan mengintimidasi dirinya yang bersalah karena sudah menghilangkan nyawanya.

"Aku nggak bersalah! Bukan aku yang membunuhmu!"

Allysa semakin ketakutan. Dengan mengembuskan napas berat ia mencoba berdiri. Allysa berjingkat kaget setelah makhluk berdarah itu muncul di sampingnya, lebih dekat dari tubuhnya, menyeringai seram dengan mulut penuh darah serta bola mata yang sudah jatuh ke pipi memandang ke arahnya.

Dengan merambat Allysa berusaha menjauh. Tidak! Tidak akan pernah ia biarkan makhluk itu berbuat konyol padanya. Menyentuh kepalanya dan membenturkannya ke tembok. Tak akan pernah ia biarkan itu terulang kembali.

Allysa merasa dirinya harus menghadapi makhluk ini sendirian. Sekarang tidak akan ada yang membantunya. Mama! Ia teringat Mama berada di rumah sakit. Sedangkan Bibi berada di dapur. Tak mungkin jika Bibi mendengar teriakannya. Sebab dapur terletak cukup jauh dari ruangan kamarnya dan rumahnya sangat besar seperti istana.

Pandangan Allysa berbinar setelah melihat sesuatu di atas meja. Pisau! Itu ada pisau! Dengan mempercepat langkah Allysa menyambar pisau yang terletak di samping piring sarapannya. Dengan gerakannya yang kasar membuat roti untuk sarapan pagi ini tumpah berantakan. Namun Allysa tak mempedulikan hal itu.

"Pergi kamu! Pergi!" Allysa mengayunkan pisaunya ke sembarang arah untuk melindungi diri.

Bukannya menghilang makhluk itu semakin mendekat ke arahnya.

Dengan mengumpulkan keberanian Allysa mengusir makhluk itu dengan mengayunkan pisau ke arahnya. Meskipun pisau itu seakan selalu lolos hanya melayang mengenai angin.

Tak mau menyerah dengan tangan masih menggenggam pisau Allysa juga menyerang dengan melemparkan bantal, guling apa pun yang ada di dekatnya ia lemparkan. Berharap makhluk itu berhenti mengganggunya.

Namun semua gagal, Allysa masih menghindar tanpa sengaja tubuhnya menubruk meja rias. Tangannya meraih alat-alat rias dan melemparkannya ke arah makhluk itu.

Terkadang Allysa terjatuh terjengkang karena ulah makhluk itu yang tiba-tiba muncul dan menjambak Allysa dengan kasar.

Allysa pun bangkit lalu menghindar dan terus menghindar. Dengan sesekali menyerang meski gagal.

Bibir Allysa menyunggingkan senyum sesaat. Allysa teringat perkataan Mama saat ia kecil dulu bahwa hantu takut dengan cahaya. Perkataan itu diucapkan Mama saat ia merasa takut jika sendirian. Ataupun di saat ia baru saja mendapatkan mimpi buruk.

Dengan mengatur napas Allysa berjalan perlahan menuju jendela dan mempercepat langkah untuk sampai dan meraih kelambu. Namun Allysa tidak melihat ke bawah. Ketika tangannya hendak menyingkap jendela tiba-tiba kakinya menginjak kaleng hair spray sehingga membuatnya terjerembab jatuh ke lantai.

Allysa merasakan nyeri yang luar biasa di bawah sana. Tepatnya di daerah perut. Dengan sekuat tenaga ia menggulingkan tubuhnya ke samping dengan posisi telentang. Tangan kanan Allysa masih memegang ujung pisau yang tertancap di perutnya. Allysa merasakan tubuhnya seringan kapas dan tiba-tiba semuanya berubah menjadi gelap.

----

Hiks, sedih akhirnya Allysa meregang nyawa 😭

Selamat tinggal Allysa 😢

Terima kasih yang sudah mau membaca dan ikuti terus cerita Dendam Gadis Biola, ditunggu krisannya, jika berkenan jangan lupa vote 😉

Dendam Gadis BiolaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang