Part 22

99 15 0
                                    

Sinar matahari tak terlihat sore ini. Ia menghilang sejak siang. Bersembunyi di antara awan hitam yang menjatuhkan rerintik air yang begitu deras menyegarkan bumi.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Itu artinya malam sudah semakin dekat.

Di dalam kamar, seorang gadis tengah mondar-mandir dengan gusar. Memikirkan tentang misinya yang sudah ia ciptakan dengan matang. Sampai-sampai dituliskan urutan rencananya di dalam buku. Lalu membacanya berulang-ulang. Ini memang misi biasa, tapi bisa fatal jika ada kesalahan sekecil apa pun.

Hari ini kedua orang tuanya sedang tidak berada di rumah. Mereka sejak pagi pergi ke Sumatera--ke tempat kakek yang tengah sakit keras. Tania tidak bisa ikut karena harus mengikuti ujian di sekolahnya.

Dengan menggenggam jari-jarinya Tania berpikir sejenak. Itu berarti hari ini adalah hari yang tepat untuk menjalankan misinya menjadi detektif selama satu malam. Menuntaskan kejahatan penyebab kematian Devana.

Tania berjalan menuju ranjang minimalis terukir di setiap sisinya. Dengan berseprei hello kitty kesukaannya. Ia mendudukkan diri di sana. Tangan kanannya meraih ponsel di meja yang terletak di sisi ranjangnya. Mengetik pesan untuk seseorang yang akan membantunya melancarkan aksinya.

Awalnya seseorang itu menolak dengan alasan hujan. Meskipun nanti sudah berhenti pasti rasanya sangat mager untuk keluar rumah. Namun, Tania terus saja mendesak. Membuatnya terpaksa untuk mengiyakan ajakan Tania.

Dengan perasaan lega Tania merebahkan tubuhnya di atas kasur. Memejamkan mata sebentar berharap aksinya dapat berjalan dengan lancar malam ini.

Tania kembali bangkit setelah sayup-sayup adzan magrib berkumandang. Ia bergegas untuk mengambil air wudhu dan menjalankan kewajibannya.

Sejurus kemudian ia membuka tirai jendela kamar. Ia mengamati keadaan di luar rumah. Hujan memang sudah berhenti. Hanya ada rintikan gerimis kecil-kecil di sana. tetapi suasana terlihat begitu sepi mencekam. Dengan hitamnya pekat malam.

Tania mengamati jam yang terlilit di tangannya. Sudah pukul 20.30. Waktu sangat cepat berlalu. Tania lantas mengganti pakaiannya dengan pakaian yang sudah disiapkannya. Ia yakin dengan keadaan sepi seperti malam ini. Maka rencananya akan berhasil. Kebiasaan masyarakat jika cuaca setelah hujan begini, pasti tidur lebih awal.

Mobil avanza putih telah terparkir di depan rumahnya. Seorang gadis di dalamnya tampak membunyikan klakson keras-keras. Supaya penghuni rumah keluar.

Tidak beberapa lama ia membunyikan klakson. Tampak seorang berhodie hitam keluar rumah menuju mobilnya. Hampir saja itu membuatnya nyaris berteriak jika saja Tania tak berjalan cepat dan menunjukkan jika itu adalah Tania. Tadinya ia pikir rumah Tania kemalingan. Sebab pintu rumah terbuka lebar sebelum ada orang keluar dari rumah itu.

"Gila, Tan! Gue hampir berteriak tadi! Lo sengaja bikin gue jantungan?" cercanya kepada Tania yang sudah duduk di sampingnya.

"Kenapa lo teriak? Emangnya ini di hutan?" sindir Tania sambil memasang sealt belt di tubuhnya.

"Tan, pintu rumah lo terbuka dan tiba-tiba ada seorang muncul dari sana dengan hodie hitam. Gue kira kalau itu pencuri." sergah Riska dengan mendengkus kesal.

"Sudah, yuk jalan," ucap Tania tanpa merasa bersalah. Lalu menjawil pipi Riska.

"Lo yakin ini bakal berhasil, Tan?" Riska bertanya di tengah konsentrasi menyetirnya.

"Lo lihat saja nanti." Dengan optimis Tania menjawab singkat. Ia sangat yakin jika malam ini rencananya pasti akan berhasil. Feelingnya mengatakan mereka akan mengatakan sesuatu malam ini. Tania memang mempunyai feeling yang sangat bagus.

Riska menghentikan mobilnya di depan rumah sederhana. Dengan berpagar kayu di depannya. Meski kecil rumah ini tampak nyaman untuk di tempati. Tania turun dan berjalan lurus. Menuju rumah Devana. Riska sengaja menghentikan mobilnya di jarak lima rumah sebelum sampai ke rumah Devana. Hal itu ia lakukan atas perintah Tania. Katanya supaya keberadaannya tidak diketahui oleh penghuni rumah Devana.

Tania menghentikan langkahnya setelah sampai di depan rumah Devana. Ia bersembunyi di balik semak. Mencari tempat yang aman untuk menaruh benda ini--sebuah alat perekam suara yang sudah dinyalakan. Dengan rasa deg-degan Tania memanjat pohon kecil di luar gerbang yang tidak terlalu tinggi. Urusan panjat memanjat Tanialah jagonya. Dengan sigap ia lalu melompat. Memindahkan kakinya ke arah tembok gerbang yang tidak terlalu tinggi pula. Lalu meletakkan alat itu di bawah atap pos. Beruntung jarak pagar dan pos tak terlalu jauh. Sehingga dapat dijangkau oleh Tania.

Sejenak tatapan mata Tania kagum dengan keindahan Rumah Devana jika dilihat dari atas seperti ini. Sebuah rumah yang begitu menawan di malam hari. Bangunannya menjulang tinggi terlihat hampir menyentuh langit. Dengan lampu kuning keemasan di ruang depan. Namun, tatapan matanya beralih seketika melihat seorang satpam keluar dari rumah megah itu bersama dengan seorang gadis seumuran dengannya. Dan sepertinya Tania mengenalnya. Tania turun melompat ke bawah. Setelah sadar dua orang itu berjalan ke arahnya. Meninggalkan suara 'gedebug' yang nyaris ketahuan. Jika saja ia tidak bertindak cepat untuk pergi.

Tania berhenti di ujung jalan. Mengatur napas yang hampir saja meledak. Menjalankan ini semua jujur sangat membuatnya merasakan lelah luar biasa. Dengan jantung berdebar tak kalah cepat dengan napasnya.

Setelah di rasa cukup tenang ia menghubungi Riska yang tak pergi jauh dari sana.

"Masuk, Tan!" Entah dari mana mobil Riska muncul. Tania tidak memperhatikan karena ia tengah bergelung dengan apa yang dilihatnya waktu di rumah Tania.

"Woy, cepat masuk, Tan! Jangan bengong!" bentak Riska membuat Tania berjingkat kaget.

"Nggak usah teriak!" sergah Tania yang membuka pintu masuk ke mobil.

Siapakah perempuan tadi? Sepertinya itu Ina murid baru yang dikatakan Riska mirip dirinya? Mengapa ia berada di sana? Apakah Ina ada keterlibatannya dengan ini semua?

Pikiran Tania terus saja menjurus ke arah sana. Ia pernah mendapat nasehat jika bersuudzon itu tidak baik. Tapi, rasa-rasanya sangat susah berprasangka baik untuk yang satu ini. Tania menggelengkan kepalanya. Membuat Riska bingung.

"Lo kenapa, Tan?" tanya Riska yang melirik dirinya.

"Lo ingat Ina nggak? Anak baru di sekolah kita?" Tania bertanya balik tanpa bergeming sedikit pun.

"Ina ... yang mirip kamu itu?" Riska mengingat-ingat tentang seseorang yang ditanyakan Tania.

Tania mengangguk kecil karena pikirannya masih menuju ke arah gadis yang mirip dirinya. Setelah itu tak ada lagi percakapan karena Riska berkonsentrasi menyetir di area berbatu.

"Lo kenapa tanya Ina, Tan?" tanya Riska tiba-tiba setelah memasuki jalan raya.

"Eh, enggak hanya tanya saja." elak Tania dengan tingkah yang berusaha tenang.

Tania belum bisa bicara soal Ina kepada Riska. Karena belum tentu yang dilihatnya itu Ina. Melihat dari jarak jauh bisa salah bukan? Dan jika salah itu berarti Tania sudah memfitnah Ina. Tania tak ingin memfitnah orang lain sebab fitnah itu akan lebih kejam daripada pembunuhan. Sudah cukup ia berbuat dosa selama ini. Tetapi, ia berjanji akan mencari tahu siapa gadis yang berjalan dengan satpam di rumah Devana tadi.

Dendam Gadis BiolaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang