Part 15

123 19 3
                                    

Di sana. Di ujung lorong rumah sakit yang jauh dari kamar jenazah tampak seorang gadis berdiri dengan keadaan yang sangat kacau. Ia sengaja memisahkan diri dari orang-orang yang tengah berduka. Gadis itu adalah Tania. Kepergian Rara membuatnya menyalahkan dirinya sendiri? Dan jika Rara masih hidup pasti juga sama akan menyalahkan dirinya. Tania sengaja memisahkan diri dari mereka, untuk menghindari rasa bersalahnya yang kini tengah kacau! Menurutnya yang berdiri di depan kamar jenazah itu memang tengah berduka. Tetapi tidak dengan penyesalan seperti yang ia alami saat ini.

Bisa dibayangkan jika rasa berduka itu dibarengi dengan rasa bersalah, apa rasanya? Pastinya sangat pilu dengan rasa sakit yang luar biasa.

Ah, gue memang bodoh! Kenapa gue tidak menemani Rara kala itu? Kenapa gue tinggalin Rara!

Tania mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan secara gusar. Andaikan saja Doraemon itu nyata. Pasti ia akan meminta waktu untuk dapat diputar kembali, agar ia bisa menemani Rara yang tengah ketakutan kala itu. Atau ia akan meminjam pintu ajaib untuk menembus waktu dan ruang dengan tujuan awal yang sama.

Akan tetapi bagaimanapun usahanya pasti ajal itu akan tiba? Bukankah kita tidak bisa menolak atas apa yang telah menjadi kehendak-Nya. Karena setiap kehendak-Nya itu adalah sebuah kepastian yang harus selalu siap kita terima. Akan tetapi pula ... Ah, seandainya--."

Pikiran Tania kini dipenuhi dengan ribuan khayalan dan seandainya. Seakan-akan dua pikiran itu melayang-layang di otaknya. Mengganggu akal sehatnya. Intinya Tania menginginkan Rara untuk kembali hidup meski ia tahu itu mustahil.

Gue memang salah! Ini semua salah gue!

Tania kembali mengamati ruangan itu dari tempatnya berdiri. Di sana terlihat kedua orang tua Rara menangis histeris. Bahkan teriakan sampai terdengar oleh Tania. Dan tentu saja itu semakin membuat Tania tambah--merasa bersalah.

Entah bagaimana teman-teman sekelas Rara sudah sampai di sini sebelum Tania datang ke rumah sakit ini. Bahkan, Tania juga mendapatkan kabar ini dari Riska yang juga teman sekelas Rara.

Tania memutuskan untuk segera pergi dari tempatnya berdiam diri. Ia ingin menemui keluarga Rara. Tania ingin menenangkan Mama Rara yang masih histeris berteriak memanggil Rara. Meskipun berkali-kali Riska berusaha menenangkan. Namun itu tidak membuahkan hasil apapun. Santi--mamanya Rara masih tetap saja menangis histeris.

Tania memaksakan kakinya melangkah ke sana. Meskipun berat, hati dan pikirannya melarang, tetapi Tania akan merasa lebih menyesal jika tidak segera ke sana. Mungkin kesalahannya bisa ditebus dengan ia menemani mamanya Rara di sana.

"Selamat siang, Tante." Tania mencoba menyapa Santi yang masih berdiri di depan kamar dengan kedua mata bengkak.

"Rara, Tan! Rara! Kenapa Rara bisa begitu? Bilang sama Tante jika yang ada di dalam itu bukan Rara." Santi menyambar tubuh Tania untuk dipeluknya. Di sana tangis Santi pecah kembali. Dan Tania membiarkan hal itu. Ia tak peduli jika bajunya basah oleh air mata Santi. Ya, mungkin menurut Santi, Tania adalah sahabat terbaiknya Rara. Namun, andaikan saja ia tahu jika Rara sebelumnya dimaki dan ditinggalkan oleh Tania begitu saja di sekolah. Pasti Santi akan sangat marah dengan Tania.

Mengingat hal itu membuat air mata Tania mengalir begitu saja, dadanya sesak seperti ada  sesuatu yang meminta dibebaskan dari sana. Rasa bersalahnya muncul kembali. Namun, dengan berusaha tetap tenang, Tania mengusap lembut punggung wanita yang masih muda itu.

"Tante tenang ya, ikhlasin Rara supaya ia juga tenang di sana."

Tania menuntun Santi untuk kembali duduk di kursi. ia mencoba untuk menenangkan Santi dan mencoba untuk mengesampingkan semua rasa bersalah yang selalu mengganggu dirinya. Sepertinya Tania harus membuangnya jauh-jauh saat ini.

"Tante sudah melihat Rara ke dalam?" Tania bertanya dengan nada pelan supaya Santi tidak bertambah merasa sedih.

"Belum, jenazah Rara masih diotopsi oleh polisi. Tania, nanti kamu mau kan temani Tante masuk ke dalam?" Mendengar ajakan Santi membuat Tania tergagap sebentar. Ia ingin menolak Santi dengan satu ucapan. Akan tetapi, ia mengurungkan niatnya. Melihat mata dan genggaman Santi yang sangat kuat membuat Tania tidak bisa menolaknya. Akhirnya dengan memejamkan mata Tania mengangguk perlahan.

Karena proses otopsi yang memakan waktu cukup lama. Akhirnya teman-teman pun berpamitan pulang termasuk juga Riska. Sebab Riska hari ini ada keperluan bersama keluarganya. Jadi mau tidak mau ia harus pulang sekarang juga.

Tania menarik embuskan napas perlahan setelah ruangan itu terasa sepi. Di sana kini hanya ada Mama--Papa Rara dan juga dirinya.

Rara mendengkus perlahan jujur saja ia belum siap untuk melihat Rara setelah kecelakaan itu  merenggut nyawanya. Namun, ia mesti mempersiapkan dirinya, sebab cepat atau lambat dokter dan polisi pasti akan keluar dan di saat itulah ia harus siap melihat keadaan tubuh Rara.

Setelah beberapa saat Tania berdamai dengan rasa bersalahnya. Akhirnya dokter dan polisi pun keluar dan berbincang dengan ayahnya Rara. Entah apa yang mereka bicarakan. Yang pasti Ayah Rara memandang Santi untuk mengisyaratkan masuk ke dalam ruangan.

Tania berjalan di samping Santi dengan tangan kanan digenggam kuat oleh wanita itu. Perlahan tapi pasti Tania berjalan, tangan kanannya ia lepaskan untuk meraih pundak Santi. Menuntunnya mendekati peti jenazah dengan posisi Papa Rara memimpin berjalan di depan.

Langkah kaki terhenti, Papa Rara membuka peti secara perlahan dengan tangan gemetar. Perlahan ia menurunkan kain penutup Rara sampai ke bahu.

"Raraaaa! Kenapa kamu bisa begini!"

Jerit tangis Santi memenuhi ruangan. Berakhir dengan tubuh terkulai lemas ke lantai. Ia pingsan setelah melihat tubuh Rara hancur terutama di bagian kepala.

Seorang lelaki yang berdiri di sampingnya  lantas berteriak meminta pertolongan. Mereka membopong Santi ke luar ruangan.

Tania masih di ruangan itu, kali ini ia sendirian. Tania terduduk lemas di lantai, ia sangat berharap bahwa itu bukan Rara. Yang berada di hadapannya itu pasti jenazah korban kecelakaan lain? Bisa saja bukan? Toh, wajahnya juga tidak bisa dikenali. Namun, di tangan itu ada jam tangan kesayangan Rara yang selalu di pakainya ke mana pun ia pergi.

Ra, bangun! Bangun Ra!

Isak tangis Tania semakin keras. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana tersiksanya Rara sebelum ajal menjemputnya. Kepala yang hancur pada bagian atas benar-benar membuatnya bergidik ngeri. Lalu rasa bersalahnya muncul kembali. Sudah tahu Rara butuh ia saat itu tapi malah--."

Tania menoleh saat Papa Rara kembali dan menepuk pundak Tania. Kini saatnya jenazah Rara untuk dibawa ke ruang pengurusan jenazah, supaya sampai rumah bisa langsung dimakamkan.

"Sudah, ikhlaskan, Nak."

Tania mengangguk dan mundur tiga langkah dengan posisi masih duduk dengan lemas. Ia memberi jalan para perawat untuk membawa peti itu ke luar ruangan.

Raraaaa! Benarkah kamu sudah pergi untuk selamanya!

----------

Dudududu kira-kira siapa ya, korban Elga selanjutnya? Apakah Tania? 🤔

Tunggu aja kelanjutan ceritanya 😉

Vote dan krisannya selalu ditunggu loh, supaya aku semangat nerusin ceritanya 😘😘

Dendam Gadis BiolaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang