Part 23

76 18 0
                                    

Riska meraih ponsel, melihat pesan masuk di whatsAppnya. Lama ia tepekur hingga berakhir menggeleng-gelengkan kepala. Melihat pesan itu datang dari Tania. Mengajaknya untuk kembali ke rumah Devana. Selama ini ia tidak pernah membantah perintah Tania. Mengingat Tania adalah ketua genk. Mana mungkin ia berani membantah. Tetapi tidak untuk yang satu ini. Ia takut kejadian semalam terjadi lagi. Beberapa kali ia mencoba menghapus kejadian semalam agar tidak terbayang-bayang. Namun, rekaman di otaknya terus saja mengulang memori kejadian pasca pulang dari rumah Tania.

Saat itu ia melajukan mobilnya dengan sangat pelan. Ingin rasanya menikmati keindahan dewi malam meski tengah temaram. Lampion kota memberikan keindahan tersendiri ketika beradu dengan lampu para pengendara jalan. Berkelap-kelip memeriahkan jalan raya kota Semarang.

Pandangannya beralih ke bawah jalan raya. Tempias air yang tersisa di sana berkedip-kedip terkena sorot lampu mobilnya. Riska berdecak kagum. Ia memang suka dengan keadaan di malam hari. Baginya malam hari adalah malam yang indah untuk dinikmati bersama khayalan mimpi yang terukir di dalam diri.

Riska melajukan mobilnya sedikit kencang setelah sampai di sebuah kawasan SMA Negeri 1 Semarang. Konon katanya di sana sering terjadi penampakan-penampakan di dalamnya. Seperti penampakan hantu cewek bermuka seram yang menempati kolam renanng tak terpakai di dalam wilayah sekolah, atau hantu yang sering terdengar menyuarakan alat-alat musik meskipun ruangannya tengah terkunci, pun kisah tentang pohon sipeas yang setiap cabang pohonnya ada penunggunya, dan mungkin masih banyak kisah hantu lainnya. Membuat bulu kuduk Riska merinding. Ia enyahkan jauh-jauh cerita itu dan menginjak gas dengan keras.

"Numpang lewat, ya. Aku nggak ganggu, hanya numpang lewat."

Kalimat itu Riska ucapkan dengan mengatur napas yang beradu dengan kecepatan mobilnya. Keringat sudah memandikan tubuh mungilnya. Hawa sekitar terasa dingin. Padahal AC mobil tidak dinyalakan pun jendela mobil tertutup rapat. Harusnya hawa di dalam mobil begitu pengap.

Riska memelankan kembali mobilnya. Ia mencoba membuka sedikit kaca jendela. Mengeluarkan sedikit tangan kanannya. Rasanya biasa saja. Tidak ada angin yang menyentuh tangannya. Ia kembali menutup kaca jendela mobil. Rasa dingin ini berasal dari dalam mobil.

"Ah, mungkin ACnya bocor. Besok supaya dibenahi Pak Ali." Pikirannya mencoba positif. Pak Ali adalah tukang kebun rumahnya yang ahli servis barang elektronik termasuk mobil.

Riska sesekali tampak menggidikkan bahu. Suasana di sini benar-benar mencekam. Ditambah rasa dingin yang tak kunjung usai. Secara perlahan ia mendongak ke arah kaca di atasnya. Netranya meneliti keadaan tempat duduk di belakang mobil.

Di sana tampak sebuah benda putih runcing mencengkeram kursi mobil. Tidak begitu terlihat sebab sangat gelap. Dengan mengerutkan dahi Riska mengingat-ingat apa tadi ia menyimpan sesuatu di sana?

Dengan jantung berdebar tangan kirinya menyalakan lampu mobil. Kenyataannya tak terlihat apa pun di sana. Dengan berusaha tetap tenang Riska fokus kembali menyetir mobil sembari mengatur napasnya kembali.

"Astaga! Itu tadi apa? Aku--." Entah kenapa tiba-tiba lidahnya kelu untuk berbicara. Tubuhnya bergetar ketakutan dengan keringat dingin membasahi tubuhnya.

Dengan kaki gemetar Riska menginjak gas. Untuk melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Riska tak peduli lagi dengan apa pun yang penting ia segera sampai di rumah itulah yang ada dibenaknya.

Tubuh Riska menghentak ke atas setelah terdengar suara benda jatuh dari kursi belakang. Dengan spontan ia menengok ke arah kaca spion di atasnya. Di sana tampak samar seragam sekolahnya bertengger di badan kursi.

"Apa itu? Bukankah seragamku tadi aku tinggal di rumah?"

Mata Riska tidak berkedip mengamati. Sejurus kemudian ia sadar bahwa itu bukan seragam. Ada sosok duduk di kursi belakang. Sosok itu menyeringai dengan muka koyak dengan lubang dijidatnya yang terus Mengucurkan darah membasahi baju seragamnya.

"Astaga, apa itu?" Riska menghentikan mobilnya. Tubuhnya kaku, dadanya berirama begitu cepat. Riska berusaha menelan salivanya tetapi rasanya lehernya tercekat.

Cukup lama Riska mematung. Menunggu hingga tangannya bisa bergerak. Dan ia pun perlahan-lahan menyalakan lampu mobilnya kembali, lagi-lagi di sana tampak kosong. Tidak ada apa pun di tempat duduk belakang.

"Kenapa bayangan-bayangan kemarin tidak mau hilang dari otakku?"

Dengan gugup Riska menggigit bibir bawahnya. Mencoba menenangkan diri. Ia tidak ingin begini terus. Terbayang-bayang dalam ketakutan yang mendalam.

Maaf, Tan, gue lagi tidak enak badan.

Riska mengetik balasan itu kepada Tania bukan tanpa alasan. Ia memang tengah kurang enak badan hari ini. Dikarenakan kurang tidur semalaman. Memberikan dampak menurunnya kesehatan tubuh. Sampai-sampai ia tidak bersekolah hari ini.

Setelah dirasa tidak ada balasan dari Tania. Riska pun memutuskan untuk merebahkan tubuhnya di atas kasur. Di tatapnya langit-langit itu dengan saksama. Ternyata telah lama ia tidak mengganti bintang-bintang yang ada di sana. Membuat bintang-bintang buatannya menggantung dengan warna pudar.

Riska beranjak dengan mata setengah mengantuk. Ia terdiam sejenak mendengar pintu jendela yang dilempar batu. Dengan perlahan ia membuka gorden jendela. Tidak ada apa pun di sana. Ia lalu memutuskan untuk melangkah keluar menuju ke arah balkon. Tidak ada siapa pun. Hanya ada angin dingin yang menyentuh kulit. Meninggalkan rasa beku dan kaku. Padahal pepohonan tidak ada yang bergerak berembus ditiup angin. Dan rasa ini sama persis dengan rasa di waktu ia melihat sosok itu.

"Kau harus bertanggung jawab! Kau akan menyusul mereka!"

Riska membalikkan badan. Ia melihat sosok itu kembali hadir. Dengan kaki bergetar Riska berjalan mundur. Melawan desingan angin yang menelisik ke telinganya. Menghasilkan suara nyaring yang dingin. Ia dapat merasakan belaian angin itu menyentuh daun telinga serta menjalar ke tubuhnya. Menimbulkan gigil yang luar biasa.

"Pergi kamu! Pergi!" teriak Riska berusaha mengusir makhluk itu. Dengan bersusah payah ia mengeluarkan suaranya.

"Kau harus mati! Kau harus menyusul mereka!" Suara makhluk itu mengerikan dengan selingan tertawa yang sangat keras.

"Tidak! Pergi kamu, pergi!" Riska terus berteriak histeris.

Namun, makhluk itu semakin lama semakin mendekat. Menjulurkan tangannya meraih pundak Riska. Membuat Riska tak mampu bergerak. Tubuhnya seperti terkunci oleh kekuatan magis.

"Kau harus mati!" Mengayunkan tangannya ke arah muka Riska.

Riska tersentak kaget dengan napas memburu. Perlahan ia mendudukkan tubuhnya di atas kasur. Tangan kanannya meraih air putih di nakas samping kasur. Meneguk sedikit untuk menenangkan degup jantungnya yang tengah bertabuh kencang. Mimpi itu benar-benar seperti nyata. Ia menengok jam di dinding sudah tepat pukul 10 malam.

Kau harus bertanggung jawab! Kau harus mati! Kau harus menyusul mereka!

Sejenak Riska memikirkan kata-kata itu. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang dimaksud makhluk mengerikan tadi yang hadir dimimpinya.

Dendam Gadis BiolaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang