Part 5

148 35 4
                                    


Kabut hitam masih merundung pilu di rumah keluarga Sucipto meski kepergian Elga sudah terjadi seminggu yang lalu. Almira masih saja sering berhalusinasi jika melihat kenangan yang Elga tinggalkan di rumah ini.

Di sini--di rumah besar ini setiap ruangan meninggalkan kenangan manis tentang Elga, membuatnya seakan terus hidup di dalamnya.

Seorang ibu berusia tiga puluh lima tahun tampak mondar mandir dengan keadaan yang begitu miris. Sekilas terlihat berjalan menuju ke ruang tamu. Mata sayunya mengamati ruangan minimalis dengan sofa anggun mempunyai corak warna merah maron berhiaskan bunga di setiap sudutnya.

Di sana bayangan Elga kembali hadir. Almira melihat Elga duduk di pojok kursi sedang mencatat lagu-lagu kesukaannya untuk selanjutnya di nyanyikan dengan iringan nada biola.

Tiba-tiba wanita itu memutar bola mata mengikuti langkah Elga menuju sebuah taman yang berada tepat di samping ruang tamu, di sana Elga dapat menikmati senja sembari mengalunkan nada-nada biola dengan duduk di kursi panjang yang sudah di siapkan di dekat tumbuhan yang tidak terlalu rimbun.

Almira memutar tubuh menghadap taman, jari lentiknya mengusap kaca sebagai penyekat antara ruang tamu dan taman. Di rumah ini sepertinya pemilik lama sengaja mendesain ruang tamu yang bersebelahan dengan taman hanya bersekat kaca. Hal ini pula yang membuat Almira jatuh hati ingin membeli rumah ini saat mereka pindah ke  kota ini.

Almira tersadar bahwa di taman itu tak lagi ada sosok putri kesayangannya. Dengan sedikit terisak ia berjalan  menuju ke tempat tidur Elga. Di sana aroma Elga masih saja terasa. Almira sengaja tidak mengganti apa pun yang ada di kamar Elga. Masih tetap sama,  kamar tidur yang selalu rapi dengan hiasan biola menempel di dinding bersebelahan dengan foto keluarga, jika berada di sini hati Almira selalu ingin berteriak bahwa ini semua pasti hanyalah mimpi hitamnya. Dan Elga-- putrinya pasti masih hidup dengan  memeluk biola kesayangannya yang sekarang ia pegang.

Insting seorang Ibu sangatlah tajam bahkan lebih tajam jika dibandingkan dengan pisau belati yang paling tajam sekali pun. Almira merasakan putrinya tidak akan pernah pergi dari hidupnya dan rumah ini. Almira sering merasakan rasa hangat yang menjalar pada tubuhnya ketika Elga tengah mendekap tubuh ringkihnya. Ya. Semenjak Elga pergi tubuh Almira seakan lemah tanpa tenaga.

Mama sayang kamu, Nak! Tetaplah menjadi pemain biola handal kebanggaan Mama!

"Ma, sudah dong ikhlasin Elga supaya tenang di sana." Lelaki yang baru masuk ke kamar Elga tampak mengelus punggung istrinya.

"Pa, Elga berada di sini, Mama bisa merasakannya." Senyum merekah menghias di pipi Almira menepuk-nepuk kasur di sampingnya.

Sucipto memandang istrinya dengan begitu miris melihat keadaan istrinya yang selalu saja menganggap Elga masih hidup dan akan tetap hidup sampai kapan pun.

Sekilas Sucipto menelisik keadaan istrinya lebih dalam lagi, ia melihat tubuh istrinya yang kurus kering dengan mata cekung dan rambut awut-awutan tak pernah disisir. Terkadang tertawa namun terkadang juga menangis.

Tidak! Almira tidak gila. Ia hanya butuh waktu untuk melepas kepergian Elga!

Selama ini tidak ada yang boleh menyebut Almira gila. Jika pun ada Sucipto akan membentak siapa pun yang mengatakan istrinya gila dan juga ia tidak akan membiarkan saru orang pun yang akan membawa Almira ke rumah sakit jiwa. Tidak akan pernah.

"Ma makan dulu yuk," bujuk Sucipto dengan suara pelan.

"Pa, Pa, lihat itu Elga sangat pandai bermain biola, anak kita memang berbakat ya, Pa" Almira bertepuk tangan dengan tertawa, mengagumi apa yang di lihat di sana, seorang gadis meliuk-liuk dengan memainkan biola dengan gaun yang begitu indah.

Sucipto hanya mengangguk tanpa menjawab kegirangan sang istri.

"Ma, biolanya Papa pinjam dulu ya, kita makan dulu."

"Jangan! Jangan pisahkan aku dengan anakku! Nggak ada yang bisa pisahkan kami!" Dengan ketakutan Almira memeluk biola seakan tengah memeluk anaknya.

Sucipto meraih kepala Almira dan membenamkan ke arah dadanya yang bidang, berharap dengan begini Almira  dapat merasa tenang. Tak heran memang jika ia terpukul akan kepergian putri satu-satunya yang sangat mereka dambakan selama bertahun-tahun setelah beberapa kali mengalami keguguran.

Pada suatu malam terlihat seorang suami istri berlari menyusuri koridor rumah sakit dengan kondisi sang istri meremas perutnya dengan meringis kesakitan, sedangkan suaminya berjalan di sampingnya dengan wajah cemas dan berteriak meminta tolong kepada suster jaga di sana.

Lelakinya bertambah cemas ketika melihat darah merembes dari baju istrinya. Ia tentu tak menginginkan hal buruk menimpa anak yang ada di dalam kandungan.

Namun hasilnya tidak sesuai harapan Sucipto harus merelakan jika anaknya untuk kesekian kalinya harus pergi dari rahim sang istri.

Tubuhnya lemas seperti tanpa tulang ketika ia harus mendengar penjelasan dokter bahwa kandungan Almira sangat lemah sehingga tidak akan bisa membuat calon bayi bertahan di dalamnya. Ah, tapi dokter bukan Tuhan yang dapat menentukan hidup dan mati seseorang. Jika ini semua terjadi mungkin itu sudah takdir dari Sang Maha. Dan ia tak akan menyerah untuk menghadirkan buah hati di tengah kebahagiaan mereka berdua.

"Bayi kita, Pa." Suara Almira sangat lirih karena keadaannya yang juga masih lemah.

"Sabar ya, Ma." Tangan Sucipto mengelus kepala Almira yang kini masih terisak.

Sejak kejadian itu Almira merasa sedih. Bukan! Sebenernya bukan kehilangan penyebab utama Almira sedih. Almira sedih karena sempat mendengar percakapan dokter dengan suaminya jika ia tak akan bisa melahirkan seorang anak, itulah yang membuat ia merasa tak sempurna sebagai seorang istri.

"Pa, maafkan aku yang ---," kata-kata Almira tidak dilanjutkan sebab telunjuk suami sudah menempel di mulutnya.

Sucipto merasa sedih melihat keadaan istrinya. Sebagai seorang suami, ia ingin membuat Almira merasa bahagia. Ia kini mulai bertekad untuk mencari berbagai cara, mulai browsing di internet dan bertanya kepada teman.

Setelah lama mencari akhirnya membuahkan hasil, seorang teman memberikan saran untuk pergi ke tempat Mbah Joyo seorang paranormal kondang yang bermukim di pelosok desa.

Sebenarnya untuk urusan paranormal Sucipto paling anti, namun tidak ada salahnya jika mencoba. Siapa tahu dengan begitu ia dapat memiliki keturunan.

Setelah mencari hari yang tepat Sucipto mengajak Almira untuk pergi ke tempat Mbah Joyo. Awalnya Almira pun menolak sama dengan dirinya, namun dengan nada meyakinkan akhirnya Almira menuruti permintaan suaminya.

"Ada keperluan apa kedatangan kalian kemari?" tanya Mbah Joyo kepada sepasang suami istri di depannya. Tangannya dengan lincah membakar kemenyan di depannya. Menimbulkan kepulan asap yang membumbung tinggi, membuat sepasang suami istri itu terbatuk-batuk beberapa kali.

"Eh anu Mbah, kami sudah lama mendambakan anak, namun belum kesampaian juga." Dengan nada sedikit gemetar Sucipto menjawab.

"Bisa saja kalian mempunyai anak tapi dengan satu syarat, apakah kalian sanggup?" Dengan bersila Mbah Joyo tetap berkutat dengan kemenyan.

"A-apa syaratnya Mbah?" Nada suaranya hampir tak terdengar.

"Anak kalian akan mati di saat usia tiga belas tahun."

Tentu saja hal ini membuat pasangan suami istri tercengang mendengar kata-kata yang diucapkan orang yang berada di depannya. Namun karena sangat kuat keinginan untuk menggendong bayi, akhirnya mereka menyetujui. Menurut mereka soal syarat dapat dipikir belakangan.

Sebelum pulang Mbah Joyo memberi kembang untuk di buat mandi di tengah malam. Tak lupa mereka juga harus menyembelih ayam cemani untuk melengkapi ritual tersebut.

Kini pandangan Sucipto benar-benar gamang. Sucipto merasa lemas setelah semua ini terjadi, waktu tiga belas tahun seperti hanya berlangsung satu menit. Terlalu cepat semua ini terjadi. Dan kini usia Elga sudah tiga belas tahun. ia benar-benar pergi untuk selamanya.

Maafkan kami Elga! Perjanjian itu sekarang benar-benar terjadi!

Dendam Gadis BiolaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang