Part 16

109 20 2
                                    

Tania merebahkan tubuhnya di atas kasur setelah membersihkan badannya di bawah guyuran air hangat yang keluar dari pancuran shower. Ia merasa lelah luar biasa dengan seluruh tubuh terasa sakit semua. Seperti tulang terlepas dari sendi-sendinya. Semalaman ia tidak tidur--menunggu pagi untuk memakamkan jenazah Rara. Sebab jenazah Rara baru di bawa pulang pukul 5 sore kemarin.

Pihak rumah sakit sudah mengusulkan untuk membawa jenazah Rara besok pagi saja. Dikarenakan jarak rumah sakit dengan rumah Rara cukup jauh. Pastinya akan memakan waktu kurang lebih satu jam. Akan tetapi, hal itu ditolak oleh pihak keluarga Rara. Mereka memilih membawa pulang dan menunggu besok pagi di rumah.

Pada pukul 7 malam mobil ambulan yang membawa Rara baru tiba di rumah duka. Sirine ambulan pun berbunyi pertanda sudah sampai yang dituju. Perjalanan memakan waktu dua jam dari rumah sakit menuju ke sini. Itu dikarenakan jalan yang seharusnya biasa dilewati ditutup--katanya ada pohin tumbang yang menghalangi jalan. Terpaksa mobil itu harus memutar arah--meski pun jarak yang ditempuh cukup jauh.

Di sana para tetangga serta kerabat sudah hadir duduk di atas tikar. Sebagian ada yang berdiri dan membantu kami untuk menurunkan peti Rara.

Air mata Tania kembali menetes ketika melihat Mama Rara memeluk seorang yang lebih muda. Mungkin tantenya Rara. Mereka saling peluk sangat erat dengan raungan tangis yang cukup keras. Benar-benar mengiris hati Tania kembali.

"Nak Tania, jika mau pulang tidak apa-apa, pulang aja." Seorang laki-laki mengagetkan Tania dari belakang.

"Nak Tania juga butuh istirahat, nanti jika di sini tidak bisa istirahat," imbuhnya lagi sambil memandang wajah sayu Tania.

"Tidak apa-apa, Om, Tania di sini aja." Dengan senyum dipaksakan Tania menjawab. Sesungguhnya ia sangat teramat lelah. Namun, mau bagaimana lagi. Ia merasa bersalah atas kepergian Rara.

Baru saja Tania ingin memejamkan mata setelah bayangan kemarin datang di pikiran Tania. Sekarang ponsel Tania berdering. Tania meraba-raba atas kepalanya. Sepertinya ia melemparkan ponselnya ke sana.

Duh, siapa sih! Ganggu aja!

Tania membuka mata dengan keadaan separuh sadar separuh berada di alam mimpi. Rasa capainya ternyata membuat Tania seperti ini.

"Tan, lo harus ke sini! Jaket lo ketinggalan di rumah gue, pas lo menginap semalam."

Tania membuka mata sedikit lebar. Ia menegakkan tubuhnya bersandar di dinding dekat kasur. Ia hampir saja berteriak. Ia pikir Rara chat Tania dan mengatakan jaketnya tertinggal sebab ia ingat betul Tania semalam menginap di rumah Rara.

Dengan kesadaran yang hampir kembali utuh. Tania melihat pesan itu datang dari Devana. Sejenak ia menarik napas lega. Tapi mengernyitkan dahi setelahnya. Menginap di rumah Devana? Bukankah ia menginap di rumah Rara? Ah, mungkin Devana mengigau di siang bolong.

"Tania! Jangan di read aja, balas woy!"

"Gue lelah, Dev, hari ini aja gue nggak masuk kan?" Tania mengetik sambil mulutnya terus menguap beberapa kali sebab matanya benar-benar ngantuk.

"Tania, lo ngigau atau bagaimana? Ini hari Minggu woy, apa lo kurang tidur? Bukannya semalem lo tidur duluan ya." Tania merasa bingung dengan apa yang diucapkan Devana. Ia pikir yang mengigau itu Devana bukan dirinya. Jelas-jelas kemarin Tania di rumahnya Rara. Lalu bagaimana mungkin Devana menganggap ia berada di sana.

"Tania lo ke sini lagi kan malam ini? Nemenin gue. Ortu gue belum jadi pulang malam ini."

Devana apa-apaan sih bilang nemenin lagi? Lah kapan gue nemenin Dev? Tapi aku penasaran! Apa gue ke sana aja ya!

"Iya gue ke sana sekarang."

Setelah mengetik balasan itu Tania langsung bergegas mandi dan meluncur ke rumah Devana. Kini rasa lelahnya berganti dengan rasa penasaran atas chat Devana barusan.

Tania melangkahkan kaki masuk setelah dipersilakan oleh pemilik rumah. Mereka langsung menuju kamar Devana.

"Lo nginap di sini lagi kan, Tan? Nemenin gue, by the way gue takut nih," ucap Devana yang menggidikkan tubuhnya.

"Tunggu, lo dari tadi bilang gue menginap di sini, kapan?"

"Tania! Lo itu amesia atau pikun?" Devana melirik ke arah Tania.

"Kemarin kan lo menginap di sini," imbuh Devana dengan nada sedikit kesal.

"Dev, dengar ya, gue semalam di rumah Rara! Sampai pagi gue di sana ikut mengurus pemakamannya."

"Lo itu bagaimana sih, Tan! Lo itu di sini baru tadi pagi lo pulang, sampai-sanpai jaket lo ketinggalan di atas meja belajarku." 

Tania mengikuti telunjuk Devana. Dan di sana di atas meja tidak ada apa-apa. Kosong. Hanya tumpukan buku berjajar rapi di ujung tembok. Pandangan Tania beralih ke Devana menuntut barang yang dikatakan Devana yang nyatanya tetap kosong di sana. Sedangkan Devana merasa bingung. Ia tidak berbohong tadi jaket Tania memang berada di sana. Bahkan dirinya sendiri yang meletakkannnya di sana dari atas kasur.

"Tan, gue nggak bohong! Jaket lo tadi ada di sana!" Devana melakukan pembelaan atas keberadaan jaket itu.

"Mana? Nggak ada kan, Dev? Ya sudah berarti lo salah lihat."

"Ta-tapi, Tan--." Devana tampak ingin protes tetapi Tania segera memotong pembicaraannya.

"Sudah ya Dev, lo istirahat aja, mungkin lo kurang tidur? Atau mungkin lo kelelahan setelah mengerjakan tugas-tugas sekolah? Lo itu kan rajin banget." Tania mendorong tubuh Devana untuk berbaring di kasur dan menaikkan kakinya ke atas kasur. Di dalam hati ia kasihan kepada Devana yang harus mengerjakan tugasnya juga. Belum lagi tugasnya sendiri. Pasti benar-benar kelelahan. Tetapi mau bagaimana lagi? Otak Tania tidak bisa mengerjakan tugas-tugas itu sendiri.

"Tan!" Panggil Devana ketika Tania hampir sampai di depan pintu yang membuatnya berhenti melangkah.

"Iya, apa?" Tanpa menoleh Tania menjawab panggilan Devana.

"Lo jangan pulang! Gue takut di rumah sendiri." Rengek Devana persis seperti anak kecil.

Tania hanya mengangguk lalu meneruskan langkahnya untuk keluar kamar. Ia menyingkir dari Devana. Membiarkan Devana untuk beristirahat sebentar.

Tania merebahkan tubuhnya di sofa depan TV. Rasa lelahnya benar-benar membuat tubuhnya ingin tergeletak di mana pun tempatnya. Ia masih bingung mengapa para sahabatnya satu-persatu pergi menjemput kematiannya yang tak biasa? Benarkah ini sudah takdir? Dan benarkah jika ini kebetulan bahwa mereka menjemput ajal dengan cara yang mengerikan? Allysa dengan tusukan di perutnya dan Rara meninggal karena kecelakaan. Apakah Devana juga akan--.

Astaga, gue berpikir apa sih? Itu semua pasti sudah takdir mereka.

Tetapi jika ditelisik lagi Allysa dan Rara mengalami halusinasi sebelum meninggal. Dan sekarang Devana juga berhalusinasi.

Ah, sudah dong, Tan! Devana itu hanya kelelahan. Dan kematian mereka itu sudah jalan Tuhan bahwa mereka harus mati.

Entah berapa lama Tania memikirkan hal-hal yang menurutnya konyol itu. Semakin lama pemikiran itu menghilang. Tania pun tertidur di atas sofa dengan meringkuk memeluk bantal sofa. Dengkurannya cukup terdengar keras sebab ia merasa teramat lelah dengan aktifitas yang menguras jiwa dan raganya.

Dendam Gadis BiolaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang