Part 26

102 15 1
                                    

Suara gemericik air terdengar riuh berasal dari dalam kamar mandi berukuran sedang. Seorang gadis bersenandung kecil selama menyelesaikan urusannya untuk bebersih diri. Kamar mandi yang terletak di dalam kamar itu terlihat sederhana. Tidak begitu mewah. Namun, lengkap oleh semua fasilitas mandi berupa bathup putih besar, shower hijau tosca, wastafel kuning keemasan, kloset, serta rak untuk menyimpan peralatan-peralatan mandi lainnya. Gadis itu begitu menikmati kegiatan mandinya. Setelah beberapa hari ia tidak menyentuh dinginnya air dan wanginya aroma sabun mandi ekstra melati yang dapat menenangkan otak serta pikirannya.

Selang beberapa saat kemudian ia menginjakkan kaki keluar kamar mandi. Lalu melangkahkan kakinya menuju almari untuk mengambil sepotong baju ganti. Sebelumnya ia terlebih dahulu mengecek ponselnya yang terletak di atas nakasnya. Ia bernapas lega, sebab Tania tidak menghubunginya untuk diajak ke rumah Devana. Terbukti dari notif WhatsAppnya yang kosong melompong. Jika pun ada dan itu dari Tania mengajaknya maka dengan tegas ia akan menolak begitu saja.

Riska sudah sangat jera terhadap apa yang ia alami beberapa hari yang lalu. Ternyata hal itu berdampak buruk pada dirinya. Membuatnya merasakan demam berhari-hari tanpa bisa melakukan aktivitas apa pun. Kegiatannya hanya didominasi oleh tidur di atas kasur. Suhu tubuhnya tidak menentu terkadang panas dan tiba-tiba dingin seketika. Serta ia juga sering mimpi hal-hal yang sangat menyeramkan. Kekuatan magis di dalam mimpinya melarangnya untuk tidak ikut campur atas kematian Devana. Tapi, meskipun begitu tetap saja ia akan menjadi korban selanjutnya. Hanya saja waktunya akan dipercepat jika ia ikut campur.

Sudah tiga hari Riska terbaring lemah. Keadaan tubuhnya sangat-sangat membuat semua seisi rumah panik. Ketika di bawa ke dokter, dokter bilang Riska tidak sakit apa pun. Semua tes kesehatan membuktikan Riska dalam keadaan sehat walafiat. Sehingga terpaksa kedua orang tuanya membawanya ke orang pintar semacam dukun. Mereka terpaksa melakukan itu karena sesungguhnya keluarga Riska adalah keluarga yang tidak percaya tentang klenik, roh gaib, serta dunia lain.

"Aku merasa gendhuk ini tertempel oleh makhluk halus temannya yang balas dendam karena terbunuh."

Suara dukun tua itu menggema mengisi seluruh ruangan di kamar Riska. Dengan berat dan parau dukun itu berusaha menyampaikan sembari tangannya membawa kemenyan yang mengepul menari-nari di atas tubuh Riska yang terbaring.

Tentu saja itu membuat kedua orang tua Riska terperanjat kaget. Apalagi mereka tidak percaya oleh hal semacam itu. Mereka hanya menganggap suara dukun sebagai angin lalu, yang terpenting anaknya--Riska bisa sembuh dan beraktivitas normal kembali.

Ajaib. setelah dukun itu bersila di bawah kasur. Dengan berkali-kali membakar kemenyan serta mulutnya komat-kamit membaca mantra dan sesekali menarik napas berat. Keesokan harinya Riska dapat terbangun dengan tubuh segar bugar. Tidak lemas seperti orang yang baru sembuh dari sakit.

Riska begitu bersyukur akan kesembuhannya. Ia berharap Tania tidak tahu akan hal ini, serta tidak menaruh curiga kepadanya yang menghilang tanpa kabar. Sebab ia tidak menghubunginya semenjak kejadian malam itu.

Riska mengambil ponsel. Ia merasa ingin mengetahui tentang perkembangan penyelidikan misteri Devana. Tetapi, ia tidak ingin ancaman di mimpi itu terjadi nyata.

"Apa salahnya jika sekadar bertanya, toh aku tidak terlibat kan?"

Pikiran itu membuatnya berani untuk bertanya. Hanya sekadar bertanya, ia tidak mau jika diajak Tania kembali.

Sejurus kemudian pesan itu terbalas. Riska tampak mengembangkan senyum ketika mengetahui bahwa Tante Dahlia mau untuk membantu Tania. Besok Tania akan bertemu dengan Tante Dahlia. Dan Tania bilang ia tak perlu ikut untuk urusan ini. Tania pun meminta maaf kepada Riska, yang sudah melibatkan ia sejauh ini. Dan membuatnya sakit selama tiga hari yang lalu.

Pernyataan Tania sungguh membuat Riska kaget. Dari manakah Tania tahu jika ia sakit? Namun, pertanyaan itu urung ia tanyakan kepada Tania. Riska hanya menjawab tidak apa-apa, semoga berhasil dan maaf juga tidak bisa membantu.

Tania hanya membalas emoticon tersenyum. Setelahnya Riska tak membalas lagi. Ia meletakkan ponselnya di atas kasur. Dan ia berbaring di sampingnya. Riska sempat terpejam sebentar, sebelum lampu kamarnya tiba-tiba mati. Spontan Riska mencari ponsel untuk menerangi sekelilingnya yang gelap gulita.

Riska meraba-raba samping tempat tidur. Di mana ia meletakkan ponselnya tadi. Riska terus meraba hingga tangannya menyentuh benda padat yang sangat dingin. Awalnya ia pikir itu ponsel. Akan tetapi setelah ia menggerakkan tangannya untuk mengenali benda itu. Riska merasa ada kain yang menempel. Kain itu sudah koyak, terasa potongannya menggantung diseluruh sisi. Ia pun menggerakkan tangannya ke bawah. Terasa jauh lebih dingin, seperti menyentuh es balok yang bertekstur empuk seperti lengan manusia, tetapi ada binatang yang menggeliat. Ia arahkan tangannya lebih ke bawah. Terasa begitu runcing dan tajam.

"Apa ini, ya? Seperti kuku yang memanjang. Kalau ini kuku, berarti ini--."

Riska berteriak histeris. Namun, tenggorokannya terasa tercekik. Tanpa bisa mengeluarkan suara. Tubuhnya pun kaku di tempat.

Riska melihat ada sebuah sinar yang datang entah dari mana. Menyorot sebuah potongan tangan itu menari menjelajahi setiap ruang kamarnya. Riska berusaha menghindar ketika tangan itu hampir menyabetnya. Napasnya terengah-engah serta tubuhnya yang kaku membatasi setiap gerakannya.

"Aku sudah memperingatkan jangan ikut campur! Atau kau mati dengan cepat!"

Suara itu entah berasal dari mana. Tapi yang pasti sebuah tangan busuk penuh belatung itu tiba-tiba saja sudah berada di atas kepala gadis yang tengah ketakutan. Bergerak perlahan membelai pipi Riska dan menancapkan kukunya di sana. Tanpa ampun menariknya begitu kasar. Membuat luka memanjang yang mengucurkan darah hangat berbau anyir.

"Maafkan aku, to-tolong hentikan!" Riska tersedu mengucapkan kalimat itu. Bersusah payah ia berkata demikian.

Riska hanya bisa mengerang dalam kesakitan. Terlebih ketika tangan itu menyentuh pelipisnya.

"Jangan! Hentikan, sakit! Aku mohon hentikan!"

Riska begitu tersiksa. Ketika kuku itu bergerak maju menembus bawah alisnya. Bergerak memutar membentuk lingkaran. Berusaha mengeluarkan sesuatu di sana. Rasa nyeri dan pusing luar biasa dapat ia rasakan. Riska hanya mampu melihat sesuatu terlepas melalui satu matanya. Sedangkan satu matanya lagi gelap. Ia melihat tangan itu membawa sesuatu penuh darah berwarna putih dan hitam. Bentuknya menyerupai mata ayam yang suka ia makan tapi berukuran lebih besar.

"Oh, Tuhan, apakah aku sudah kehilangan satu mataku? Tolong hentikan! Aku mohon, hentikan!"

"Pilihanmu hanya satu, terus tersiksa seperti ini! Atau kau mau mengakhiri hidupmu sendiri tanpa merasakan sakit seperti ini."

"Aku tidak mau mati! Aku tidak mau mati!"

"Kalau kau tidak membunuh dirimu sendiri! Aku pastikan, kau akan tersiksa sebelum mati."

"Pergi kamu! Pergi!"

Riska terperanjat duduk di atas kasur. Ia langsung berlari ke arah kaca. Melihat apakah wajahnya berdarah? Tetapi, ia justru tak menemukan luka apa pun di sana. Apakah ini mitos orang tua yang tidak membolehkan mandi keramas saat malam hari?

Riska teringat oleh mimpinya. Dan di saat bersamaan ia melihat sebuah pisau kecil di meja belajarnya.

Dendam Gadis BiolaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang