Part 24

82 18 2
                                    

Maaf, Tan, gue lagi tidak enak badan.

Tania menatap ponsel yang sedari tadi ia genggam. Sudah lama ia menunggu balasan Riska akhirnya ada juga notif darinya. Pikirnya ia akan dapat segera mengungkap siapa pelaku pembunuh Devana. Rekaman itu akan segera menjadi bukti. Tetapi, sejenak kemudian senyumnya menghilang. Tania mendengkus perlahan. Ternyata Riska tidak dapat menemani malam ini untuk pergi ke rumah Devana.

Kembali Tania meletakkan ponsel itu di atas nakas. Dengan sengaja tidak membalas. Bukan karena marah tetapi karena ia membiarkan Riska untuk beristirahat.

Tania mendaratkan tubuhnya ke atas kasur minimalis dengan motif hello kitty kesayangannya. Otaknya bekerja dengan keras mencari cara terbaik untuk pergi ke sana. Mumpung kedua orang tuanya masih di rumah kakek.

"Apa gue membawa mobil saja, ya?"

Tania menggeleng jika ia membawa mobil sendiri, lalu mau ditaruh di mana? Bukankah ia harus mengendap-endap di rumah itu. Di saat seperti ini ide untuk membawa mobil sendiri bukanlah pilihan terbaik.

"Aha, gue pesan ojek online saja. Mungkin si abangnya mau nunggu sebentar nanti."

Sejenak kemudian Tania sibuk memainkan jempolnya di atas layar ponsel. Menari-nari berjelajah mencari aplikasi untuk memesan ojek online. Tak lama kemudian ia berlari menuju almari untuk mencari baju yang hampir serupa dengan kemarin. Kali ini ia memakai celana jeans hitam dengan hodie biru. Berkacamata bulat tebal dan bersepatu flat. Dengan rambut ia biarkan terurai.

"Pokoknya gue harus berhasil." Tania menggenggam ponselnya seraya berlari ke depan rumah. Di sana sudah menunggu tukang ojek dengan motor revo merah yang sudah cukup usang. Tania tampak bercakap-cakap sebentar lalu motor itu melaju menuju rumah Devana.

"Pak tunggu sebentar ya, saya nggak lama di sini."

Tania segera berlari mengendap menyusuri jalan yang lumayan sepi. Hodienya ia tudungkan di kepala. Langkahnya beradu dengan suara jangkrik dan kodok penghuni selokan. Tania mengangkat kakinya ketika berjalan agar tidak menyentuh daun-daun kering di tanah. Agar tidak menghasilkan suara gemerisik yang membuat warga keluar dari rumah. Ia mematung sebentar di depan rumah Devana. Mengatur napas yang sempat ngos-ngosan ketika berjalan tadi.

Melalui lubang tembok kecil Tania mengintip. Mengedarkan pandangan dari arah rumah menuju pelataran dan berakhir ke ruang pos satpam. Di sana terlihat seorang satpam tengah menikmati secangkir kopi dan semangkuk mie kuah yang masih mengepulkan asap di antara sorot lampu di atasnya.

"Bagaimana caranya gue manjat ya?" Tania menegakkan tubuh sebentar setengah bersandar pada tembok. Sembari pikirannya mulai mencari cara.

"Pintu belakang! Ya, aku akan lewat pintu belakang untuk masuk." Dengan gerakan cepat Tania menuju ke sana. Di sana ada lubang yang cukup untuk dilalui tubuhnya meski sedikit dipaksa. Dan lagi tempat itu cukup gelap. Ia sempat menghalau pikiran-pikiran negatif jikalau ada binatang berbahaya di sana. Tania ingat Devana pernah mengajaknya ke sana ketika gerbang rumah sudah dikunci saat dia pulang malam. Dan saat itu Devana pernah nyaris dipatok ular.

Tania mengendap memeluk tembok-tembok yang basah. Ia tak peduli akan keadaan bajunya yang kotor. Sesekali kakinya masuk ke tanah yang becek membuatnya berdesis lalu melanjutkan jalan mengendap.

Hampir saja ia berteriak ketika seekor kodok melompati kakinya. Namun, tangan kanannya menutup mulutnya dengan cepat.

Setelah hampir sampai di dekat pos satpam. Ia menengok ke arah rumah. Sepi. Tania langsung menghambur menuju pohon mangga yang besar. Dan berakhir di belakang tembok pos satpam. Tania melemparkan batu ke luar pagar yang membentur gerbang. Dari gemanya terdengar suara itu sengaja dilempar dari arah luar.

"Siapa itu!" teriak satpam sembari berlari ke luar pagar rumah. Karena ia mendengar seseorang melempar batu ke arah gerbang. Menghasilkan suara nyaring. Tania tidak membuang kesempatan. Setelah ia berhasil melempar batu kini saatnya ia memanjat ketika satpam itu keluar pagar.

"Sial! Kemana tap recordernya kok nggak ada! Kemarin kan aku taruh di sini!" Tania memicingkan tangan kesal karena alat perekam itu sudah tidak ada di sana.

"Paman! Ada maling! Paman!" Seorang gadis yang ia lihat kemarin berteriak di depan pintu. Membuat jantung Tania berhenti sebentar. Lalu berdetak kencang. Dengan cepat Tania menjatuhkan tubuhnya ke luar pagar. Ia melompat begitu saja. Dan berlari terseok dengan rasa nyeri pada pangkal kaki.

"Cepat jalan, Pak!" Tangannya menepuk punggung Abang gojek. Tania duduk diboncengan dengan tubuh gemetar. Sampai-sampai tukang ojek mematung heran melihat tingkah Tania.

"Ayo, Pak, jalan!" Tania mengulangi sekali lagi. Membuat tukang ojek tersadar dari kebingungannya dan menjalankan motornya. Melewati jalan raya yang sepi sebab rintik hujan mulai membasuh jalan beraspal itu.

Apa ia tidak salah dengar anak tadi memanggil satpam itu paman, Apakah itu artinya ia keponakannya? Tapi, kenapa aku baru lihat, ya. Setelah sekian lama satpam itu bekerja di rumah Devana.

Tania memainkan pikirannya untuk mengingat-ingat untaian kejadian yang baru saja ia alami. Sembari tangannya membuka gerbang dan berakhir pada pintu rumah. Melangkahkan kakinya terseok menuju sofa dan mendudukkan tubuhnya di sana. Tania mengamati kakinya yang bengkak. Menaikkan perlahan ke atas sofa. Dengan sesekali meringis kesakitan.

Maafin aku, Dev, aku belum berhasil mengungkap semua ini. Tetapi, aku berjanji tidak akan menyerah. Bukankah jika gagal sekali itu masih banyak seribu cara sebagai penggantinya. Dan aku yakin dari seribu cara itu akan ada satu yang berhasil.

Tania mendengkus perlahan. Bagaimana bisa tap recorder itu hilang? Apakah aksinya kemarin diketahui oleh satpam itu? Atau satpam itu akhirnya menemukan benda itu saat ia mendongak ke atas? Atau juga orang lain yang menemukan. Entahlah banyak kemungkinan yang terjadi. Namun, kemungkinan yang ketiga itu tidak ada peluang sama sekali. Di sana kan tidak ada orang lain selain mereka berdua.

Tania berkali-kali menggelengkan kepala. Ia terus memijat pelipis untuk mengurangi pening di kepalanya. Menggeser posisi tubuh dan merebahkan di atas sofa. Di sana ia mengarahkan pandangan ke atas langit-langit rumah. Beberapa cara yag muncul di otaknya tidak ada yang dirasa baik. Kali ini ia harus berhati-hati di dalam mengambil langkah. Tania tidak ingin gegabah. Ia tak mau tubuhnya cedera seperti ini terulang kembali.

Benar-benar sial! Sudah terjatuh tertimpa tangga pula.

Mungkin peribahasa itu mampu mewakili kejadian yang menimpa dirinya. Sudah kakinya sakit. Malah tap recordernya tidak berhasil ia dapatkan. Namun, kemudian ia mendapatkan ide, mungkin dengan berbicara dengan seseorang akan membantunya untuk menyelesaikan masalah ini. 

"Mungkin sebaiknya aku bicarakan ini sama--." ucapannya tidak berlanjut. Rencana ini perlu dipikirkan matang-matang kembali olehnya.

Dendam Gadis BiolaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang