Part 10

123 31 5
                                    

Siswa SMP Bakti Pertiwi sengaja dipulangkan lebih awal sebab pihak sekolah baru saja mendapatkan kabar bahwa Allysa telah meninggal dunia. Tentu saja ini adalah kabar yang membuat syok seluruh warga sekolah.

"Semua guru serta siswa yang ingin ikut ke rumah Allysa diharapkan untuk segera bersiap di parkiran. Sekian atas perhatiannya dan terima kasih."

Sebuah interuksi terdengar dari ruang tata usaha menyebar ke semua speaker yang dipasang di sudut setiap ruangan.

"Kasihan Allysa," ucap Riska lirih sambil mengusap air matanya.

"Iya, harus menjemput ajalnya dengan cara seperti itu," sambung Rara yang berjalan di sebelahnya dengan masing-masing saling menguatkan.

"Sudah ayo buruan! Ntar ketinggalan!" Tania yang berjalan lebih dulu berteriak untuk mengajak lebih cepat lagi. Untuk urusan bawa perasaan alias baper Tania memang orang yang tingkat kebaperannya nol persen alias cuek.

Sedangkan Devana malah diam saja berjalan mengikuti mereka di barisan paling belakang.

Setelah sampai di rumah Allysa. Kami turun dan memasuki halaman rumah. Di sana bendera kuning sudah ada di depan rumah menyambut kedatangan para tamu yang ingin berbela sungkawa atas kepergian Allysa.

Sedangkan di samping rumah banyak orang berlalu lalang untuk menyiapkan keperluan untuk pemakaman Allysa.

Kami lantas memasuki rumah untuk bergabung dengan penziarah lainnya.

Di dalam rumah seorang Ibu menangis histeris dengan dirangkul suaminya. Di hadapannya tampak jenazah putrinya yang ditutup oleh kain jarik batik dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Sesekali seorang Ibu itu terlihat memegangi perutnya saat bergerak. Sepertinya ia masih belum sehat betul setelah kejadian semalam yang membuatnya kehilangan bayinya.

"Allysa bangun! Jangan tinggalin Mama!" Seorang yang masih cukup muda terlihat tidak mau diam dengan memberontak sekuat tenaga ia ingin meraih tubuh putrinya dan mengguncangnya sekuat tenaga seperti yang ia lakukan ketika Allysa susah bangun ketika pagi hari.

"Sabar, Ma, jangan banyak gerak dulu Mama kan masih sakit," ucap suaminya yang terus merangkulnya dan meletakkan kepalanya di atas dada bidangnya.

"Tapi Pa, Allysa kenapa tidak mau bangun!" Kini gerakannya pun melemah dengan pasrah ia bersandar sambil kedua bahunya naik turun terisak pilu.

"Ikhlasin ya, Ma. Supaya putri kita tenang di sana!" Papa Allysa terlihat membuka kaca mata serta mengusap air mata sebentar lalu kembali memakainya.

"Mengapa aku harus menanggung cobaan begitu berat, Pa. Mama nggak sanggup menjalani hidup tanpa mereka."

Setiap orang memandangnya dengan perasaan kasihan. Bagaimana tidak? Kehilangan satu orang yang kita cintai saja terasa sangat sakit. Apalagi jika kehilangan dua orang sekaligus. Mungkin patah sudah harapan dan semangat kita untuk bertahan hidup. Jadi wajar saja jika seorang Ibu sebegitu histeris melepas kedua buah hatinya yang pergi dalam waktu yang cukup dekat.

Seorang gadis kembali ke dunia nyatanya. Setelah ada seorang yang telah mengusap lembut kepalanya.

"Sudah siap, Nak."

"Sebentar lagi ya, Ma," jawabnya sambil menstabilkan emosinya untuk tidak bersedih di acaranya malam ini. Entah mengapa kejadian tadi siang membuatnya cukup merasa kehilangan salah satu sahabatnya. Dengan mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. Ia lalu mengembuskan napas perlahan.

Malam ini seharusnya adalah malam yang penuh dengan kebahagiaan bagi Tiara Ramadhani. Seorang gadis yang memiliki nama akrab Rara. Sebab tepat di hari ini ia merayakan ulang tahunnya di sebuah gedung bersama dengan keluarga dan para sahabatnya.

Semarak lampu warna-warni berbentuk bintang telah menghiasi sudut ruangan, ditambah dengan ornamen-ornamen lampu lainnya berbentuk burung di tengah ruangan. Memberi kesan seakan burung itu siap menerbangkan mimpinya sampai jauh ke negeri Cina.

Dengan tubuh yang masih mematung ia memandangi setiap jengkal ruangan dari sudut kanan menuju ke sudut kiri.

Semua undangan serta keluarga besarnya sudah hadir di sana. Rara meneliti satu-persatu sebelum acara dimulai.

Dengan mengembuskan napas perlahan Rara merasa masih ada yang kurang. Masih ada seseorang sahabatnya yang belum hadir atau tidak akan pernah hadir di acara ulang tahunnya malam ini. Ia adalah Allysa Putri.

Aku berharap saat ini kamu berdiri di sana, Sya. Menghadiri acaraku yang paling aku tunggu.

Dengan tangan bergetar ia menghapus air mata yang keluar begitu saja. Rara menyadari sepenuhnya jika yang bernyawa itu pasti akan mati.

Namun keadaan Allysa begitu memprihatinkan dengan ketakutan yang luar biasa hingga berakhir dengan kematian yang sangat mengenaskan dengan luka tusukan di perutnya.

Rara berusaha menyingkirkan itu semua dari kepalanya. Ia tak ingin acara yang sudah ditunggunya sejak lama menjadi berantakan sebab moodnya yang tidak baik.

Menarik napas embuskan--tarik napas embuskan itulah yang ia lakukan beberapa menit sebelum acara dimulai.

Rara berusaha fokus untuk kembali lagi ke acaranya. Dengan pandangan melihat ke bawah ia kembali mengusir bayangan-bayangan tentang Allysa. Tentang kenangan Allysa saat pertama kali baru masuk sekolah dan Allysa lah teman pertamanya. Dan juga tentang janji Allysa yang ingin selalu memberi kejutan saat ia ulang tahun.

Memang jika dibandingkan dengan yang lain Allysa adalah teman terdekat Rara.

Air mata Rara tak bisa lagi dibendungnya. Ia menangis tanpa suara dengan sedikit sesenggukan. Rara berusaha untuk tidak menampakkan kesedihannya di depan keluarga maupun sahabatnya.

Dengan memutar badan ia mengusap air mata yang lolos keluar meski sudah di tahan.

"Rara, kamu sudah siap, Nak," ujar Mama yang berdiri di sampingku.

Rara mengangguk dengan sesekali memejamkan mata untuk menenangkan pikiran.

"Kamu menangis?" tanya Mama yang melihat mata Rara memerah karena berusaha menahan tangis.

"Enggak Ma, hanya sedikit mengantuk." Rara berusaha berbohong sebab tak ingin membuat semuanya khawatir tentang dirinya.

"Mama tahu kamu masih kehilangan Allysa, tapi kamu harus ikhlasin ia untuk pergi. Allysa sedih loh jika melihat kamu begini." Santi berbisik sembari memeluk tubuh Rara. Entah dari mana Santi tahu jika Rara sedih karena kepergian Allysa. Ternyata ikatan batin di antara Mama dan anak begitu kuat meski Mama yang kini berada di sampingnya bukanlah Mama kandung. Sebab perceraian kedua orang tua sejak Rara masih kecil. Namun Santi telah menganggap Rara sebagai anak kandungnya sendiri.

Rara mengangguk dengan sesekali menguatkan diri melihat ke atas. Mendapatkan pelukan dari seseorang Mama memang mempunyai kekuatan tersendiri bagi Rara. Dengan memposisikan diri menghadap meja yang penuhi kado serta kue bertuliskan angka 15 di atasnya. Rara bertekad malam ini ia akan membagi kebahagiaan untuk semua orang.

Tuhan aku ingin kebahagiaan Allysa di samping-Mu. Dengan memejamkan mata Rara mengucapkan itu sebelum ia meniup lilin.

Ulang tahun ini ia persembahkan untuk sahabatnya Allysa yang kini sudah tenang di sisi-Nya.

-------

Terima kasih bagi yang sudah mengikuti cerita ini 😚

Btw, yang lagi nungguin teror Elga selanjutnya sabar yups, sudah tahu kan siapa korban Elga selanjutnya? 🤔

Tetap ikutin kisah Dendam Gadis Biola, vote dan krisan selalu ditunggu 😉

Dendam Gadis BiolaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang