EPISODE 3

7.4K 398 4
                                    

꧁​꧋꧋꧋꧋꧋꧋꧋꧋꧋꧋꧇꧓‍꧇꧋꧋꧋꧋꧋꧋꧋꧋꧋꧋꧂

Mocca P.O.V

Tiga minggu setelah para coach baru itu masuk, atau bisa dibilang sudah 4 bulan latihan kami semakin membuahkan hasil.  Ya ada banyak kemajuan pesat yang kami semua rasakan. Terbukti dari betapa cepatnya kami menguasai satu lagu penuh beserta letak display dan koreografinya hanya dalam hitungan minggu. Aku bisa berkata seperti itu karena sebelumnya tidak pernah secepat ini. Lain lagi ceritanya antara hubunganku bersama kak Bagus (sekarang manggilnya kak, bukan coach lagi suka bikin aturan sendiri) yang sampai sekarang belum menunjukkan kemajuan apa-apa, masih begitu-begitu saja setelah perkenalan saat itu. Kupikir karena kita tak lama bertemu, kita bisa sedekat dulu. Tapi ternyata... ah sudahlah mungkin belum saatnya. Herannya sampai sekarang kami masih belum punya kontak whatsapp masing-masing.

Oh ya, tiga minggu setelah para coach itu masuk, keduanya pun menampakkan wajah aslinya. Maksudku sifat aslinya. Aku masih ingat pada perkenalan pertama kali mereka waktu itu semua tampak baik dan manis, tampak santai sekarang rasanya seperti mulai keras, beringas terlebih lagi kak Bagus yang selalu berada di kawasan anak Brass. Salah sedikit teriak, salah sedikit tendang kaki, salah sedikit lagi pukul topi pakai stick, yang manja-manja dan yang sering melakukan hal yang salah, kena tegur terus pokoknya.  Ngeri.

Sebenarnya bagus juga sih seperti itu, mendidik agar tidak mengulangi kesalahan. Jika boleh kuperkirakan, mungkin sebagian besar cewek yang suka sama coach Bagus ku pastikan bisa sedikit patah hati karena beberapa hal tersebut, atau malah tambah suka sama beliau. Nggak tau deh!

Siang itu, pukul 2 tepat. Latihan masih satu jam lagi. Jadi aku masih punya waktu satu jam lagi sebelum berangkat. Aku masih berada di kamar bersama Arya. Ia memilih untuk menunggu jam latihan di kostanku, ketimbang harus pulang terlebih dahulu dari kampus, malas katanya bolak-balik. Sambil menunggu, aku bersiap diri seperti mandi dan lain sebagainya. Selepas itu, aku langsung mengenakan celana trainingku dan baju latihan. Ponselku lantas berdering, bersamaan dengan bunyi ponsel dari Arya. Kami berdua sudah hafal betul dering yang masuk ke ponsel kami pada jam-jam tersebut, sms pemberitahuan dari Korlap.

"Anjir! DCnya" Arya berseru kemudian.

"Apaan DC-nya?" tanyaku.

"Kuning"

"Kan dari kemarin di info DC-nya kuning, emang kamu bawa baju apa sekarang?" ucapku sambil meraih paksa isi tasnya yang menjembul, ku yakin bahwa di dalamnya ada baju yang akan ia kenakan nanti. Dan vuala...BIRU!

"Kok Biru, sih, Ar?"

"Aku tadi bacanya itu, kok sekarang jadi kuning. Kampret!" sangkalnya sembari membaca kembali chat yang masuk.

"Kuning! Baca lagi deh chat kemarin"

Arya sudah cemberut, ia menggulir lagi pesan kemarin, sesaat setelah ia mengetahui kebenarannya ia lalu membuang ponselnya menjauh darinya, kesal. 

"Iya. Kuning deng! Aku salah baca yang perkusi, sialan!"

"Pulang sana ambil baju dulu" saranku demikian.

"Males. Emang kamu nggak ada baju kuning lain apa, Mocc?"

Aku menggaruk tengkukku, tidak yakin, "Setahuku sih cuma punya satu doang"

"Nggak mungkin! Anak owner cafe yang bercabang dimana-mana kayak kamu gini masa baju kuningnya cuma satu biji"

Aku termenung sejenak atas pernyataannya barusan, memangnya anak owner cafe harus punya baju kuning banyak, ya? Nggak kan?

"Seingetku ada sih satu lagi, Arya, tapi aku males nyari"

Arya terlihat mengehembuskan nafas panjang, ia pun langsung turun dari kasur, turun ke lantai bawah, dan berhenti di depan lemari. Aku mulai merasa cemas, ku yakin dia akan berniat untuk mengobrak-abrik isi lemariku.

Pacarku, Pelatihku [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang