0.1 Rutinitas

2.9K 228 4
                                    

20 September 2019.

Seperti hari hari sebelumnya, tepat pada pukul 17.00 aku sudah berada didepan bangunan kokoh yang didominasi dengan warna putih ini, salah satu bangunan yang paling ku benci, tapi juga paling sering ku datangi.

Aku membuka salah satu pintu ruangan berukuran 5x5m itu.
Ruangan inilah yang selalu menjadi tujuanku setiap kali bel pulang sekolah telah terdengar. Semenjak beberapa bulan yang lalu, hampir tidak seharipun aku absen mengunjungi ruangan ini.

Ruangan bernomor 207.

Tidak ada hal spesial diruangan itu. Ruangan yang terisi dengan sebuah brankar, lemari kecil tempat meletakan pakaian dan juga sebuah kursi lipat sederhana. Aku rasa setiap kamar dirumah sakit ini memiliki fasilitas yang hampir sama.

Tapi seseorang yang tertidur diatas brankar itu yang berbeda. Dia adalah alasan aku rutin mengunjungi tempat ini.

"Hai, apa kabar?" Tanyaku ketika menghampiri orang itu.

Tentu saja dia tidak akan menjawab pertanyaanku. Dia masih bertahan dengan matanya yang tertutup.

Aku meletakan tasku diatas lemari kecil dan menarik kursi itu untuk kududuki.

Bisa kudengar suara gemrecik air dari kamar mandi. Aku rasa itu berasal dari Ibu yang tengah dikamar mandi.

Dan ternyata dugaan ku benar, beberapa saat kemudian Ibu keluar dari kamar mandi dengan rambutnya yang masih basah.

Mata sayu itu bertemu dengan mataku, dia tersenyum. Aku berdiri untuk memeluknya.

"Kamu langsung kesini lagi?" Tanya nya sambil mengusap rambut panjangku.

"Iya bu," kataku singkat. Aku memperhatikan wajah lelah itu. Bibirnya tak pernah absen untuk menunjukan senyuman.

"Lain kali pulang dulu kerumah. Ganti baju, istirahat, baru kesini lagi. Emangnya kamu nggak capek kesini mulu tiap hari? Kamu juga butuh istirahat nak."

Aku tersenyum, lalu menggeleng. "Aku nggak akan capek kok Bu. Disini juga aku bisa istirahat. Seenggaknya disini malah aku punya temen. Dirumah sepi."

Orang yang kupanggil dengan sebutan 'Ibu' itu lagi lagi hanya menunjukan senyuman hangatnya.

"Oh iya Bu, tadi aku ketemu suster didepan. Katanya dokter manggil Ibu."

Ibu mengangguk. "Yasudah, ibu kesana dulu. Semoga kali ini ada kabar baik dari dokter."

"Amin,"  kataku kemudian.

Setelah itu Ibu meninggalkan aku dan dia sendirian diruangan ini.

Aku kembali memfokuskan seluruh perhatian ku kearahnya.

Melihat wajahnya yang begitu tenang membuatku kembali mengingat hari hari yang dulu selalu kita habiskan bersama.

Dia yang selalu menjadi pilar ku untuk bertahan kini tengah terbaring lemah disana. Berbagai peralatan medis yang tidak ku ketahui terpasang disekujur tubuhnya.

Aku benci pemandangan ini.

"Kenapa kamu betah banget sih tidurnya? Nggak capek apa merem mulu? Aku aja capek tahu ngelihat kamu kayak gini."

"Terakhir kita ketemu, kamu bilang kamu bakal ngasih aku medali kejuaraan kamu. Sekarang mana? Aku mau nagih janji kamu itu."

"Kamu tahu nggak, kemarin anak anak pada gangguin aku lagi. Mereka ngerusak semua alat peraga yang udah aku buat mati mati an. Dan karena itu juga, aku gagal ikut lomba sains yang udah aku harepin sejak dulu."

"Tapi kamu tenang aja, aku nggak nangis kok. Kamu benci kan kalo ngelihat aku nangis?"

"Bodoh ya aku, gagal ikut lomba aku masih bisa diem. Tapi kenapa nglihat kamu diem kayak gini aku malah nangis sih?!"

"Kamu nggak mau marahin aku gitu? Dulu kan kamu selalu ngomel waktu aku nangis kayak gini."

Tenggorokan ku semakin tercekat. Entah mengapa aku selalu menangis ketika seperti ini.

Suara derit pintu yang terbuka membuatku mengalihkan pandanganku. Aku fikir itu adalah Ibu yang telah kembali dari ruang dokter. Tapi ternyata itu ayahku.

Dia kemari dengan ibu tiriku.

:::
-fearless-

Fearless✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang