2.3 Pilihan

634 113 12
                                    

"Dia kembaran gue."

"Gue, Yeji sama Guanlin udah temenan sejak kecil. Kemana mana kita selalu bertiga."

"Sampe suatu saat gue tahu, Yeji punya perasaan lebih ke Guanlin. Gue telat nyadarin semuanya, ternyata kembaran gue udah lama jatuh cinta sama si bangsat ini."

"Tapi sayangnya waktu itu Guanlin malah suka sama lo. Dan dengan gobloknya Guanlin malah nyeritain semua tentang lo ke Yeji. Semaleman Yeji nggak tidur cuma karena nangisin hal itu."

"Gue nggak tahu kalian masih inget apa nggak, tapi waktu itu Guanlin pernah janji mau nemenin Yeji jalan ke taman. Gue nggak tahu udah seberapa lama adek gue nungguin dia, tapi dia nggak juga dateng nyamperin Yeji."

"Dan yang paling gue inget, sekitar jam 5 sore keluarga gue dapet telfon dari rumah sakit. Mereka bilang Yeji kecelakaan. Dan.."

"Dan nyawanya udah nggak bisa ditolong lagi."

"Dan lo tau Jin? Alesan Guanlin nggak nemuin Yeji waktu itu? Dia nggak nyamperin Yeji karena dia lupa. Dia keasikan nongkrong sama lo sampe dia nglupain janjinya sama Yeji. Segampang itu dia ngomong lupa disaat gue harus kehilangan adek gue buat selamanya."

"Mulai saat itu juga gue benci sama dia."

"Gue pengen bales dendam ke Guanlin. Gue tahu dari awal dia suka sama lo, Jin. Dan karena itu juga gue pengen bisa ngancurin Guanlin lewat lo."

"Tapi sayangnya gue nggak punya kesempatan buat deketin lo. Lo terlalu jauh buat bisa gue raih."

"Sampe tiba tiba orang tua gue bilang kalau mereka mau ngenalin gue sama lo. Waktu itu gue pikir ini kesempatan yang bagus, lewat cara ini gue bisa deketin lo."

"Sebulan dua bulan gue kenal sama lo, gue malah lupa sama tujuan awal gue. Dan bodohnya lagi, gue malah beneran jatuh cinta sama lo. Gue nggak bakal bisa buat nglanjutin bales dendam gue, gue nggak mau nyakitin lo, Jin."

Air mataku menetes begitu saja. Begitu juga dengan Hyunjin, dia sudah menangis sejak pertama kali menyebutkan nama Yeji tadi. Sedangkan Guanlin, aku tidak tahu ekspresi wajahnya. Sedari tadi dia terus memalingkan wajahnya.

Hyunjin merogoh sakunya, dia meraih tanganku. Lalu neletakan sebuah botol kecil berisi 2 butir obat.

"Gue yakin lo udah pernah nglihat obat ini?"

Aku mengangguk, aku pernah mendapati Hyunjin meminum obat itu saat di rooftop sekolah. Saat itu Hyunjin bilang itu adalah obat sakit kepalanya.

"Gue bohong. Ini bukan obat sakit kepala."

"Ini obat penenang."

Aku menutup mulutku dengan telapak tangan. Aku sudah menduganya, tapi mendengar pengakuannya langsung dari Hyunjin membuat aku tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutku.

"Sejak kapan?"

Hyunjin tersenyum, lalu membetulkan posisi duduknya. Sekarang matanya malah terfokus kearah langit.

Hyunjin mengangkat bahunya, "Sekitar setahun lalu kayaknya."

"Orang tua lo?"

Hyunjin mengangguk, "Heem, mereka udah tahu. Dan mungkin karena itu juga kemarin gue milih kabur dari rumah. Mereka maksa gue ikut mereka pindah ke Jerman. Mereka bilang lebih baik gue di rehab disana."

"JERMAN?!" Baik aku dan Guanlin langsung menyerukan kata yang sama.

"Iya. Mereka mau bawa gue ke Jerman. Dan kemungkinan terbesarnya, gue nggak bakal bisa balik ke Indonesia lagi."

"Jin--"

"Bentar sat, gue belom selesai ngomong," ucap Hyunjin memotong perkataan Guanlin.

"Awalnya gue nggak mau pergi. Pergi dari Indonesia sama aja gue ninggslin Yeji sendirian disini. Juga berarti gue nggak bakal ketemu lagi sama lo."

Tanganku bergerak untuk menghapus air matanya, namun Hyunjin malah menghentikan pergerakanku. Dia mengambil tanganku dan meletakan tanganku didada nya.

"Tapi sekarang gue sadar, mungkin pergi bisa jadi pilihan terbaik buat gue saat ini."


:::
-fearless-

Fearless✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang