"Ayah sama Mama udah bangun Mbak?"
Tanyaku pada Mbak Siti yang tengah menyiapkan makanan dimeja makan.Semalam aku langsung menuju ke kamarku sehabis dari rumah Om Minhyun. Begitu juga dengan orang tua ku, mereka langsung masuk ke dalam kamarnya.
Hari ini adalah hari sabtu, dan tentu saja sekolahku diliburkan. Tapi aku tetap bangun lebih awal.
Bukan tanpa alasan, aku bangun lebih awal karena aku ingin menghabiskan sarapanku kali ini bersama dengan orang tuaku.
"Anu non.. Bapak sama Ibu udah pergi ke bandara. Tadi pagi mereka mau bangunin non Ryujin, tapi mereka nggak enak. Akhirnya mereka langsung pergi tanpa pamit sama non Ryujin."
Aku menipiskan bibirku. Aku tahu Mbak Siti bohong. Kemanapun orang tua ku pergi, mereka jarang berpamitan dengan ku. Mereka hanya menghubungiku saat mereka sampai ditujuan, itupun jika mereka ingat.
"Pergi kemana?" Kataku setenang mungkin. Tanganku bergerak untuk mengambil secentong nasi, aku tidak ingin terlihat kecewa dihadapan Mbak Siti.
"Ke Bangkok non. Bapak bilang mungkin seminggu lagi mereka baru pulang."
Aku mengangguk, mungkin aku harus menahan keinginanku untuk bisa menyantap makanan bersama keluargaku. Mungkin sampai seminggu lagi, atau mungkin dua minggu lagi, entahlah. Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kita makan bersama dalam satu meja-kecuali saat di rumah Om Minhyun kemarin- aku rasa itu sudah hampir sebulan yang lalu.
"Ohh"
Aku mulai menyendokan makananku ke dalam mulut.
"Mbak Siti nggak makan?" Tanyaku ketika melihat Mbak Siti yang akan kembali ke dapur.
"Nanti saja non, saya mau bersihin dapur dulu."
"Sekarang aja Mbak, sekalian panggilin Bi Ane sama Pak Parno. Kita makan bareng disini."
"Eh..ndak usah non. Pak Parno lagi nganterin Budhe ke pasar. Saya makannya nanti saja dibelakang."
"Yaudah kalo gitu mbak Siti aja yang makan disini sekarang."
"Nggak usah non, saya mau--"
Aku berdecak, "sekarang Mbak. Ini perintah."
Mbak Siti akhirnya mengalah. Dia duduk dihadapanku. Aku menunjukan senyum tipisku, tanganku dengan lincah mengambil sepiring nasi lengkap dengan lauk pauk nya, lalu memberikannya dihadapan Mbak Siti.
"Aduh. . Kok malah non Ryujin itu lho yang ngambilin saya, saya bisa ngambil sendiri non."
"Nggak papa mbak, sekali sekali."
Mbak Siti tersenyum dan mulai memakan makanan yang aku ambilkan.
"Gimana sekolahnya non Ryunin?"
Aku tersenyum kecil, "Baik kok Mbak. Semuanya lancar."
"Yasudah, alhamdulillah kalau begitu."
"Non Ryujin kalau lagi ada masalah bisa berbagi sama Mbak Siti. Mungkin Mbak bukan orang pinter. Mbak nggak bisa nyelesaiin semua masalah yang non lagi hadapin. Tapi seenggaknya Mbak bisa jadi pendengar yang baik. Mbak bisa ndengerin semua keluh kesah non Ryujin. Mbak bisa dengerin seluruh uneg uneg non Ryujin. Mbak bisa jadi tempat buat Mbak Ryujin berbagi."
Aku tertegun mendengarnya. Entah mengapa perasaanku terasa campur aduk saat melihat sorot mata Mbak Siti.
Mbak Siti sudah hampir 5 tahun bekerja disini. Semenjak lulus SMA mbak Siti memilih ikut bersama Bi Ane dan ikut bekerja disini.
Mbak Siti sudah seperti kakak untukku. Aku memang jarang berbagi cerita dengan orang lain, aku lebih suka memendam nya sendiri.
Tapi melihat ungkapan Mbak Siti barusan membuatku sadar. Tanpa aku berbicarapun Mbak Siti dan Bi Ane sudah mengerti bahwa aku sedang tidak baik baik saja.
Mereka mengerti perasaanku jauh lebih baik ketimbang orang tua ku sendiri.
Aku berjalan untuk menghampiri Mbak Siti, aku memluk sosoknya dengan erat.
"Ryujin sayang Mbak Siti."
Mbak Siti mengelus kepalaku, "Mbak lebih sayang sama non Ryujin. Non Ryujin sudah seperti adik Mbak sendiri. Mbak pingin bisa selalu njagain non kayak gini. Mbak pengen bisa berguna buat non Ryujin. Mbak pengen bisa meringankan seenggaknya sedikit aja beban yang non Ryujin punya, Mbak pengen ngelihat non Ryujin selalu bahagia."
Aku hanya terdiam, yang bisa aku lakukan saat ini hanyalah memeluk sosok Mbak Siti seerat mungkin.
Aku bersyukur ada Mbak Siti, Bi Ane dan juga Pak Parno yang selalu ada buat ngisi posisi orang tua ku, yang sekarang udah jarang bisa aku rasain.
Kadang aku merasa kalau mereka bertigalah keluarga ku yang sebenarnya. Mereka yang selalu ada buat aku kapanpun aku butuh sosok keluarga.
Sedangkan orang tuaku? Tentu saja mereka lebih memilih mengurus pekerjaannya dibandingkan mengurus anak seperti ku.
:::
-fearless-
KAMU SEDANG MEMBACA
Fearless✓
FanfictionDemi Tuhan, aku takut ketika hari itu harus terulang kembali. ▪cover pict from canva.