1.2 Bangun

660 124 3
                                    

Jarak yang biasanya kutempuh selama 20 menit, kini bisa ku jangkau hanya dalam waktu 10 menit.

Berterimakasihlah kepada Guanlin yang membawa motornya seperti orang yang sedang kesurupan.

Ya, Guanlin ikut menemani ku ke rumah sakit. Dia yang memaksa nya.

Awalnya aku menolak, aku akan lebih memilih diantar ojek online ketimbang dia yang mengantarku.

Tapi saat ini aku juga sedang buru buru. Dan aku rasa tidak ada salahnya untuk aku menerima -ya.. bisa dibilang- niat baik Guanlin.

Aku berlari disepanjang koridor rumah sakit. Aku bahkan tidak mempedulikan Guanlin yang kini tertinggal jauh dibelakangku.

Dari jarak 10 meter aku sudah bisa melihat Yeongue yang tengah berdiri didepan ruang rawat Yoonbin.

"Yeongue.."

Anak laki laki itu melihat ke arahku. Dan tanpa aba aba dia langsung memelukku.

Aku membalas pelukannya, erat. Tubuh Yeongue yang hanya sepundakku membuat anak laki laki itu tenggelam dalam pelukanku.

Aku bisa merasakan tubuh Yeongue yang bergetar, dia menangis.

"Stt, jangan nangis ok? Kak Yoonbin udah sadar. Harus nya kamu seneng, bukan nangis kayak gini," kataku sambil mengusap air matanya.

Bodoh, aku menyuruh Yeongue untuk tidak menangis. Tapi nyatanya mataku sendiri juga mengeluarkan butiran butiran bening itu.

Anak itu masih saja menangis, aku tidak tahu bagaimana cara mendiamkan Yeongue.

"Jangan menangis. Dia sudah kembali. Sekarang tugas kalian adalah untuk mejaganya. Aku percaya pada kalian."

Aku dan Yeongue serentak menoleh. Junghwan tersenyum sambil menghampiri Yeongue.

"Terimakasih." Aku tersenyum pada sosok itu.

Junghwan mengangguk, dia menghampiri Yeongue.

"Kakak mu sangat baik. Aku beberapa kali menemuinya. Dan aku tahu dia orang yang kuat." Setelah mengucapkan hal itu, Junghwan kembali tersenyum dan menghilang begitu saja.

"Cepet juga ya lari lo. Untung gue nggak nyasar,"  Ucap Guanlin yang tiba tiba menepuk pundak ku.

"Dia siapa kak?" Tanya Yeongue sambil menghapus air matanya. Aku rasa Yeongue malu saat tahu ada orang selain aku yang ikut datang kesini.

"Temen ka--"

Suara pintu yang terbuka membuatku menghentikan ucapanku.

Aku melihat Ibu, Ayah dan seorang dokter yang selalu merawat Yoonbin keluar dari ruangan.

"Eh.. Ryujin udah disini?" Tanya Ibu kepadaku.

Aku beralih untuk menghampiri Ibu dan lalu memeluk wanita itu.

"Ibu.. Yoonbinn.."

Ibu mengangguk, mengeratkan pelukannya. "Iya sayang, Yoonbin udah bangun. Ini semua pasti berkat doa dari kamu juga."

Aku menggeleng. Aku yakin, semua ini pasti berkat kemauan Yoonbin yang kuat,  sehingga ia bisa bangun seperti sekarang.

Dokter yang ku ketahui bernama Jonghyun itu berpamitan untuk undur diri. Masih ada banyak pasien yang menunggu nya.

Ibu melepas pelukanku. Matanya langsung mengarah pada Guanlin.

"Ini siapa sayang?" Tanya Ibu kepadaku.

Guanlin langsung menyalami tangan Ayah dan Ibu. "Saya Guanlin Om, Tante. Saya temen sekolah nya Ryujin."

"Oh temen sekolahnya Ryujin, kirain pacarnya Ryujin," ucap Ayah sambil melirik kearahku. Aku tahu saat ini ayah sedanh ingin menggoda ku.

"Ya nggak lah Yah, pacarnya Ryujin kan yang ada didalem sana Yah," kata ku sambil menunjuk ruang rawat Yoonbin.

Ayah dan Ibu hanya tersenyum. "Yaudah sana kalian masuk. Ibu yakin, kamu pasti udah pengen banget kan ketemu Yoonbin?"

Aku mengangguk. Sedari tadi aku memang ingin segera bertemu Yoonbin. Tapi aki cukup sadar diri. Masih ada keluarga Yoonbin yang lebih ingin dan lebih berhak menemani Yoonbin disaat ia baru selamat dari masa kritis nya seperti sekarang.

Guanlin menggeleng, "Nggak usah tante. Biar Ryujin aja yang nemuin. Nggak enak kalau saya ikut masuk, takut ganggu. Saya tunggu disini aja."

Ibu tersenyum. "Yaudah kalau gitu. Tapi kalau kamu mau masuk, silahkan. Yoonbin pasti seneng kalau tau ada yang jengukin."

Aku sudah tidak mendengarkan percakapan Ibu dan Guanlin. Aku memilih untuk menghampiri brankar itu.

Aku berdiri tepat disamping Yoonbin yang memejamkan matanya.

"Yoonbin.."

Aku bisa melihat, mata itu terbuka dengan perlahan. Ia menatapku lama, lambat laun senyuman itu mulai terukir. Meskipun terhalang dengan alat pernapasan, namun aku masih bisa melihat senyuman khas milik Yoonbin.

Saat itu juga aku luruh. Aku kembali menangis dihadapannya.

Yoonbin menatapku, aku bisa melihat setetes air mata yang juga keluar dari matanya.

Aku mendekati nya, lalu membungkuk untuk menyejajari wajahnya.

Tanganku bergerak untuk menghapus air matanya. "Aku seneng Yoonbin ku udah bangun."

Aku meraih tangan Yoonbin yang bebas dari segala macam alat kedokteran. Aku merasakan tenagan Yoonbin yangmenggengam balik tanganku, meskipun genggaman itu terasa lemah.

"Jangan sakit lagi. Kamu buat aku khawatir."

"Maaf"

Suara itu terdengar sangat pelan, nyaris seperti bisikan.

Tapi entah mengapa terasa sangat merdu ditelingaku. Itu adalah suara yang aku rindukan. Suara yang sudah lebih dari 10 bulan terakhir sangat ingin aku dengar.

:::
-fearless-

Fearless✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang