Bagian 1: Gambaran Masa Depan
Panas terik hari ini bikin Ayuna jadi ingat dosa. Jelasnya, sudah pukul 4 sore namun matahari tidak kunjung mengendorkan kinerjanya. Dikira jingga tenang yang akan menemani, ternyata malah panas bagai neraka. Gadis bersurai hitam gelita itu menghela napas. Pikirannya tak ubah benang-benang kusut yang tak berhasil ia susun rapi, frustrasi. Tenggat waktu laporan pertanggung jawaban sudah di depan mata sedang klub ekstrak yang berhubungan tidak ada kabarnya sama sekali.
Selasa terik, sedang hatinya terus memekik.
Dilihatnya dari ruang OSIS, Kak Dimas lagi sepedaan di tengah lapangan. Dibonceng Kak Tara, musuh bebuyutan bagai Tom and Jerry dari zaman jebot. Ayuna mau tidak mau tersenyum simpul. Teringat lagi percakapan via telpon Kak Dimas semalam. Terhalang sinyal dan hujan deras.
"Bingung milih IPA atau IPS?"
Padahal Kak Dimas pasti tidak bisa melihatnya, namun Ayuna tetap mengangguk samar. "Iya."
"Kamu sukanya apa?" suara Kak Dimas yang menenangkan terdengar serak di ujung telefon.
Ayuna terdiam sejenak, berpikir.
"Suka Kak Dimas."
Terdengar gedebak-gedebuk di ujung sana. Sepertinya, pemilik nama Dimas Nawasena itu baru saja jatuh dari kasurnya—itu hanya dugaan Ayuna saja, tentunya.
"Hahaha—Yun, jangan gombal lagi, ya ...." lirih Dimas yang terdengar memelan tiap perkatanya. "Enggak baik buat jantung ...."
"Iya, maaf," ujar Ayuna lagi, padahal tidak ada rasa bersalah dalam hati.
"Kamu sukanya matpel apa? Yang gak bikin frustrasi pas di sekolah, gitu?" tanya Dimas lagi, lagaknya penuh afeksi dan atentif.
"Aku sukanya matpel kosong."
"Terserah, Yun, terserah."
Gelak tawa terdengar memenuhi ruangan. Sementara derai hujan kian menghujam genteng rumahnya di luar sana.
"Kak Dimas, kenapa pilih IPA?" Giliran Ayuna yang balik bertanya. Ia merapatkan selimut ke tubuhnya, kedinginan.
"Kenapa ... hmm, kenapa, ya? Aku suka aja, gitu."
Kalau sama aku, suka nggak? Tapi Ayuna berbaik hati hanya menyimpan pertanyaan itu sendiri. Kasihan, nanti Dimas kena serangan jantung, batal jadi dokter.
"Yun,, pokoknya kamu harus lakuin apa yang kamu suka. aku tahu ibu kamu pasti bilang hal kayak—HAIDAR JANGAN BERISIK ABANG LAGI TELPONAN INI!"
Keluar deh, galaknya. Ayuna menjauhkan telinganya dari ponsel. Memang Dimas punya adik, namanya Haidar Bimasena Baskara. Asyik kok anaknya. Sering kelihatan tuh si Haidar dengan baju seragam penuh lumpur, entah hasil apa. Ya nggakpapa, asal jangan tawuran.
Pernah juga terjadi hal berikut kala Haidar dan Ayuna tengah bertemu.
"Haidar sayang ajarin aku make-up dong?"
"BANG DIMAS INI MBAK YUN SELINGKUH!"
"LOH?"
Padahal kan Ayuna sama dan Dimas tidak ada statusnya alias zonk.
"Nggak kok, Kak. Ibu bolehin aku milih jurusan mana aja." Ayuna tersenyum tipis, samar dan hampir tidak terlihat. Dan berikutnya, suaranya melirih.
"Lagian, Ibu bilang, mau gimana pun juga nanti aku cuma kerja di dua ur ...."
"Maksudnya?"
"Kasur sama dapur."
"HAH!? APA-APAAN!"
Kaum sumbu pendek macam Dimas memang tidak bisa dipancing sedikit pun.
"Kenapa beliau bisa bilang gitu, Yun? Itu pemikiran lawas. Sepertinya pikir Ibu kamu mesti di-upgrade," komentar Dimas dengan pedas. Ayuna jadi meringis.
"Ibu juga bilang, jangan bikin malu keluarga. Kalau bisa, cari laki lulusan IPA sana." Suara Ayuna semakin pelan, teringat lagi perdebatan ia dengan ibunya yang lagi-lagi, hanya berakhir dengan hening. Ayuna tidak sekuat itu untuk melawan. Namun, tidak dengan Dimas.
"Terlalu memikirkan stereotip itu ngeselin, Yun. Kasusnya sering begini; ortu lihat ada calon menantu yang menjamin. Satu lulusan kedokteran dan satunya lulusan akuntansi, kerja di bank. Pasti yang bakal dimanja, dielu-elukan, dan dikira jackpot itu si sarjana kedokteran kan? Padahal kata siapa? Mereka sama-sama jackpot. Kerja di bank susah loh. Harus punya kemampuan komunikasi juga. Jangan jadikan jurusan sebagai tolak ukur kesuksesan, mau pun kesusahan, Yun." Bisa terdengar penjelasan Dimas yang panjang lebar. Dihalangi hujan dan secangkir kopi panas.
"Jangan karena pandangan masyarakat kamu jadi linglung, Yun. Siapa bilang hanya dokter yang pantas jadi pekerjaan mulia? Tanpa guru sosiologi anak-anak akan jadi bodoh dan acuh satu sama lain, 'kan. Berkat siapa kita jadi tahu sejarah? Sejarah itu ada supaya kita bisa jadikan pembelajaran dengan enggak mengulangi kesalahan yang sama, 'kan."
Perlahan, Ayuna merasa pikirannya mulai jernih. Semua mulai terlihat jelas, dan tali temali yang mengikatnya mulai terlepas. Mungkin ini yang ia suka. Kak Dimas yang mengajarkannya cara untuk bebas.
"Apalagi pas denger kalau akhirnya wanita itu cuman jadi 'istri orang'. Maaf-maaf aja nih, tapi aku emosi."
"Mama aku adalah wanita paling mulia yang pernah aku temui. Lemah lembut dan penuh tanggung jawab. Bunga yang rapuh tapi luar biasa tangguh. Beliau udah melewati banyak hal tapi tetap berdiri teguh. Aku sudah mandang wanita sebagai makhluk paling mulia, jadi mendengar wanita lain malah merendahkan sesamanya, itu salah."
Ayuna terdiam.
"Yun? Kamu masih di sana kan?" Suara Dimas mulai terdengar khawatir. Sepertinya amarahnya sudah mulai reda. "Aduh, aku ada salah ngomong ya?"
"Enggak, Kak. Aku masih di sini," pungkas Ayuna, sebuah senyum terulas dari wajahnya. "Kak, sebenci-bencinya aku sama Ibu dengan segala pemikiran kunonya. Aku bisa setuju sama satu hal."
"Hm? Apa?"
"Cari pasangan hidup yang mampu membela kamu. Bukan sebagai senjata namun sebagai tempat teduh. Bukan sekadar singgah tapi untuk menetap. " Ayuna berkata, terasa ada getaran di tiap katanya. "Cari lelaki yang mau berdiri demi kamu, yang siap untuk menggandeng tangan kamu walau dunia kejamnya keterlaluan."
Akhirnya Ayuna mengembus napas, mengakhiri. "Kak Dimas, paham?"
Tut. Telepon terputus. Di luar terdengar gemuruh angin ribut.
Dan Ayuna hanya bisa menghela napas. Sembari hatinya berteriak sekencang-kencangnya.
jadi ini agaknya tumpah ruah isi hati aku kali ya sebagai anak ips wkkwkw.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semenjana
Fanfiction[SUDAH DIBUKUKAN] Aku butuh rumah. Untuk menetap, untuk berteduh. Bukan sekadar singgah melainkan sungguh. ☽ / / antologi bumi raya, COMPLETED