pls dont be a silent reader, enjoy!🌼
Bagian 19: Butuh Untuk Berhenti (Sejenak).
Semilir angin yang membawa dedaunan berguguran, juga bisik-bisik dari air yang mengalir di sepanjangan wadah keran itu terdengar sumbang. Hingga yang sampai pada telinga berikutnya adalah suara Dimas yang memecah hening.
"Kamu marah, ya?" Dimas bertanya dengan nada yang terdengar begitu rumit. Apa Kak Dimas memang selalu terdengar begini? Hati Ayuna mulai mempertanyakan.
Namun hal itu bukan fana, bukan khayalan, bukan artifisial maupun fiksional. Jauh dalam lubuk hati, bahkan Dimas sendiri tahu ada yang salah. Jantungnya bergejolak tak nyaman dan seolah ada yang melilit hatinya dengan tali tambang. Ayuna seolah semu, seolah bisa lepas dari genggamnya begitu saja.
Ayuna lebih rumit lagi, rasanya rusuh dalam hati. Kemudian ia berdiri dengan suara seminim mungkin. Berujar miris, "Kayaknya gitu, ya?"
Dimas menggeleng sendu, matanya menatap dengan sungguh ke kedua netra dalam milik si gadis lembayung. "Jangan kasih aku jawaban ambigu gitu, Yun."
Tapi perasaan kamu lebih abu-abu. Dalam batinnya Ayuna menyahut bisu.
"... Aku sesalah itu, ya." Kalimat dengan nada pahit itu terdengar dari mulut Dimas. Ah, ya. Tampaknya Dimas mengira Ayuna marah karena masalah kado tadi.
Sekarang, segalanya telah tercampur aduk menjadi suatu perasaan yang buruk rupa dalam hatinya.
"Kita bicarain nanti aja, Kak Dimas." Tidak mau memperumit keadaan, ia rasanya ingin jadi debu saat ini juga. Menghilang jadi kekosongan dan ketiadaan. Ia tidak ingin berada di sini. Dengan begitu betisnya tergerak, berniat segera melangkah melewati Dimas.
Tapi Dimas tetap menghalangi jalannya. Berdiri tegap dan rikuh di depan si hawa. "Kamu tahu aku nggak suka sama orang bohong." Orang bohong. Seketika darah di sekujur tubuh Ayuna serasa mendidih, ia menatap Dimas dengan tatapan tak percaya. Ada luka, ada kecewa. Ia yakin Dimas menangkapnya..
"Kalau gitu, jangan suka aku, Kak."
Runtai kata, hingga jadi kalimat, hingga terluncur begitu saja itu mengawang di udara. Seolah tidak nyata, seolah suara tadi hanyalah alam yang sedang bercanda. Karena jika benar, ini tidak lucu. Reaksi dari Dimas lebih masif dari yang ia kira. Si adam, dengan punggung yang masih menghalau bias senja dari mentari sore hati, tampak terhenyak. Terpukul batu besar, seolah sesuatu dalam dirinya telah diremukkan hingga hanya tersisa puing-puing tak berguna.
Dimas membelalakkan kedua manik legamnya, tampak tak menyangka jawaban dari si hawa yang dicintainya. Aku salah dengar?
Kumohon salah dengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semenjana
Fanfiction[SUDAH DIBUKUKAN] Aku butuh rumah. Untuk menetap, untuk berteduh. Bukan sekadar singgah melainkan sungguh. ☽ / / antologi bumi raya, COMPLETED