Bagian 4: Arti Bahagia.
Gadis dengan rambut yang ia ikat tinggi-tinggi itu mengambil piring-piring kotor, berniat membersihkannya. Sudah jadi kebiasaan Ayuna untuk melakukan pekerjaan rumah. Tumbuh di keluarga sederhana membuat Ayuna harus mengecap semuanya seadanya. Tidak masalah, ia merasa berkecukupan.
Dengan telaten Ayuna membasuh semua piring-piring kotor yang ia susun sedemikian rupa, sampai terdengar suara kompor yang dinyalakan. Ibunya berniat memasak air. Ayuna meneguk ludah, masih ingat benar ia dan ibunya masih dalam perang dingin karena semalam, lagi-lagi Ayuna melanggar pantangan ibunya. Tentang untuk jangan lagi jalan maupun memberi harapan pada Dimas.
Namun, seperti yang Dimas katakan sebelum-sebelumnya, Jangan membantah. Koreksi, tapi jangan dengan suara tinggi. Hormati beliau, beliau Ibu kamu. yang membesarkan kamu. dari apapun, aku adalah nomor kesekian dari Ibumu, Ibumu, Ibumu, lalu Ayahmu.
Dimas begitu menghormati ibunya, membuat Ayuna menangis dalam batin. Pria yang sang wanita larang mati-matian, begitu mengistimewakan seorang ibu.
Diam, Ayuna bergeming. Batinnya hening, otaknya berpikir. Seperti perang batin, karena biar bagaimana pun. Jika memang Ayuna memiliki rasa yang lebih pada kakak kelas dengan senyum gusinya itu, kakak kelas galak yang selalu mengingatkannya, seorang Dimas Nawasena yang selalu mengajarkannya filosofi hidup. Maka Ayuna harus berjuang juga, dengan cara gadis itu sendiri.
"Bu," panggil Ayuna dengan sungkan. Membuat wanita paruh baya dengan keriput bersahaja itu memandang teduh pada anak bungsunya. "Kenapa sih, Ibu ngelarang aku sama Kak Dimas?"
Namun, ibunya hanya membalas sunyi. Dirasakannya hati kecilnya nyeri.
"Kenapa sih, Bu?" tanya Ayuna lagi dengan getir. "Kak Dimas enggak pernah ngajakin aku yang aneh-aneh, Bu. Nggak pernah ngajarin aku buat ngebantah, apalagi buat marah. Kak Dimas ngajarin aku cara sabar, tentang arti sederhana. Tentang cara bersyukur, dan hal baik lainnya. Kenapa Ibu nggak suka dia?"
Ayuna melanjut lagi, walau sekarang, gemetar di suaranya lebih kentara. "Padahal, Ibu yang bilang aku nggak boleh beda-bedain orang. Aku boleh memilah teman, tapi aku nggak boleh membedakan. Terus kenapa Ibu malah keras menolak Kak Dimas?"
"Padahal, Bu. Aku yakin dia orangnya." Ujar Ayuna, membalik pandangnya pada sang ibu. tatapnya begitu mantap dan netranya terlihat begitu dalam. "Perasaanku mungkin aja nggak berbalas, tapi aku yakin dia itu lelaki yang bisa menopang dan tetap menggandengku, walau dunia kejamnya keterlaluan. Walau mungkin aku salah, dia bersedia menuntun. Dan mungkin saja aku tersesat, tapi Kak Dimas tetap mengarahkan. Dia itu mata kompas, Bu."
Diam, hening lama. Yang terdengar hanya suara TV lawas di ruang tamu yang menyiarkan siaran bola. Ditonton oleh sang ayah dengan kopi pahit dan kacang pilusnya.
"Kamu yakin sama dia?" akhirnya Ibu bersuara, walau pandangnya masih tetap lurus pada teko berisi air di atas kompor tersebut.
Ayuna diam. Dan sepersekian detik kemudian menjawab, "Iya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Semenjana
Fanfiction[SUDAH DIBUKUKAN] Aku butuh rumah. Untuk menetap, untuk berteduh. Bukan sekadar singgah melainkan sungguh. ☽ / / antologi bumi raya, COMPLETED