please don't be a silent reader. enjoy! ❤
Bagian 15: Perbincangan Manusia.
Tidur jam 2 pagi dan terbangun Subuh hari, Dimas mau tidak mau merutuk. Ah, jaga diri sendiri saja tidak becus, bagaimana mau menjaga yang lain? Akhirnya, si pemuda yang sering disamakan dengan kelinci itu hanya bisa menghela napas. Berniat untuk mengambil minum di dapur, sambil menunggu adzan Subuh berkumandang. Betisnya melangkah pada ubin dingin rumah yang tidak dilapisi karpet, membuat seluruh indera terjaga sepenuhnya. Beku yang menjalar secara perlahan itu begitu menenangkan. Kaki yang hanya dibalut celana pendek tidak sampai lutut itu dingin diraba angin.
Dimas menyalakan lampu rumah satu persatu. Lampu koridor, lampu kamar Haidar—supaya si bungsu ini mudah dibangunkan. Kebiasaan jelek Haidar adalah tidur lagi setelah mendengar adzan, yang akhirnya berakhir dengan acara tarik-menarik si kakak beradik. Adik cowok, nggak bisa dimanjain emang. Dimas kemudian memulai kebiasaan untuk membangunkan Haidar setelah dirinya selesai berwudhu. Tangan Dimas yang dingin dibasuh air SAubuh itu akan perlahan mengusap betis Haidar yang kemudian akan membangunkan si adik semata wayangnya.
Baru saja melangkahkan betisnya di ruang keluarga, Dimas terperanjat. Ada sosok yang duduk di sana, di antara gelap sambil menyesap kopinya. Kepala rumah tangga dengan punggung setegap baja, sang Bapak.
"Bapak?" panggil Dimas di antara gelap. Bapaknya langsung menoleh, mendapati putra sulungnya yang masih memegang tombol lampu di ujung ruangan. Dengan kaus oblong bewarna putih yang lusuh, persis dirinya sewaktu muda.
"Mas? Sudah bangun ya?"
"Iya Pak." Canggung.
Dimas meneguk ludah. Otaknya masih belum bekerja sepenuhnya dan jujur, saking segannya pada sosok penuh wibawa sang Ayah, Dimas kadang kelu dalam berkata. "Sini Mas, duduk dulu."
Dimas menurut, mendudukkan diri di sebelah si bapak. Sofa lawasnya berderit menandakan betapa bersahaja momentum yang tersimpan. Antologi kusam yang penuh rasa, dan ada beberapa rahasia di dalamnya. Sofa itu telah lama bersemayam di sana, menjadi saksi bisu sewaktu Dimas masuk TK. sewaktu Dimas tertidur setelah pulang SD. Sewaktu Dimas termenung, menatap punggung wanita yang ia panggil Mama, untuk pergi dari tempat dari yang ia panggil rumah, saat SMP.
The older I get the more that I see
My parents aren't heroes, they're just like me
And loving is hard, it don't always work
You just try your best not to get hurt
I used to be mad but now I know
Sometimes it's better to let someone go.Dan larik lagu Sasha Sloan, yang Ayuna senandungkan di sampingnya semalam, benar-benar mengetuk rumah. Semakin Dimas pikirkan, rol film hitam putih itu terputar dengan manis-pahit.
"Gimana sekolah?" Bapaknya bertanya, kembali menyeruput kopi tanpa gula.
"Baik, Pak. Lagi sibuk organisasi, tapi masih bisa bagi waktu," jawab Dimas sekenanya. mungkin benar percakapan antar pria agak sulit untuk menyentuh hati. Untuk bercerita dan berbangga pada Bapaknya, kalau ia baru saja memberanikan diri menyatakan perasaan pada perempuan, sepertinya bukan sekarang waktunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semenjana
Fiksi Penggemar[SUDAH DIBUKUKAN] Aku butuh rumah. Untuk menetap, untuk berteduh. Bukan sekadar singgah melainkan sungguh. ☽ / / antologi bumi raya, COMPLETED