aku tahu kalian ngerti cara menghargai. enjoy♡
Bagian 18: Senja Sendu.
Pertama, Ayuna telah lancang melanggar privasi Dimas. Berani bersumpah, Ayuna menyesal sudah penasaran. Denting notifikasi itu berbunyi saat ia hampir terlarut dalam buai mimpi. Ia bahkan mengurungkan niatnya sejenak untuk meraih ponsel Dimas, takutnya Haidar yang bertanya kabar. Namun, ia lancang menganggu privasi Dimas, dan itu hukumannya. Kedua, dirinya telah meledak dan kabur, pergi tanpa menanyakan penjelasan Dimas, meninggalkan tanya-tanya menjadi tak terjawab dan hanya menyuguhkan pemandangan yang membuatnya salah paham.
Hukumannya adalah pusaran kalut dan rasa muak yang tiba-tiba muncul dalam dada.
Rasa-rasanya, air matanya berdesakan ingin keluar. Langkah kakinya seolah tak menapak di tanah melainkan bisa rebah kapan saja. Figurnya yang berjalan seolah menyongsong senja itu tampak hampir roboh diterpa angin. Sepatu kets yang ia pakai rasanya ingin ia lempar jauh, sampai tertimpuk Dimas juga tidak apa-apa.
Namun Tuhan tahu Ayuna tidak sanggup, tidak sampai hati. Makanya yang ada hanyalah decitan kasar sepatunya, bertemu gerusan-gerusan kasar setapakan aspal bumi perkemahan. Mungkin Dimas juga tahu, sehingga ia berani begitu. Ayuna juga tidak tahu namanya apa. Yang ada di dalam dirinya bukanlah rasa patah dan retak yang dahulu ia rasakan, bukan nyeri pilu yang membuatnya ingin menjerit redam, bukan teriakan yang ada di dalam dirinya, hanya samar-samar gurat kekecewaan di sini dan di sana.
Polos sekali, memang. Ia kira pengalaman-pengalaman di masa lalu sudah bisa membuatnya jadi sosok kritis yang bisa menyaring segala suatu hal sebelum diterima matang-matang. Rupanya, cat warna yang memang telah melekat tidak akan pernah hilang, bahkan jika mulai kubas. Ayuna tetaplah dirinya, tetap ia yang mencinta namun berkali-kali pula terjebak pada petak yang salah.
"Cinta bikin aku goblok," gumam Ayuna. Menghela napas, lalu mendekati barisan siswa-siswi yang bersiap untuk upacara pembukaan.
Ayuna tidak menemukan mereka, Yasmin dan Dimas, maksudnya, di kerumunan. Tampaknya urusan mereka belum selesai. Udara petang juga tumpah-ruah jingga mengingatkannya pada sematan nama yang abadi dalam dirinya. Lembayung.
Tepat ketika ia berpikir begitu, sesosok tegap dengan jaket bomber menghampirinya, mengambil tempat dalam diam. Lama mereka hening tanpa suara, berusaha menyambung benang percakapan kembali seperti sedia kala.
"Senja kali ini mendung, ya." Begitu kalimat yang meluncur dari mulut Jeffrey, untuk pertama kalinya. Entah senja mana yang ia maksud."Semoga malamnya nggak hujan," balas Ayuna, berbasa-basi. "Aku kelupaan bawa sandal, soalnya."
"Ya nggakpapa, selancar pakai sepatu." Jeffrey berucap dengan canda. "Sepatu sekalian jadi akuarium, Yun. Cerdikiawan banget nggak tuh."
"Korban iklan banget, Kak Jeff." Ayuna mendengus, tertawa mengejek. "Sekalian jadi brand ambassador aja Kak, itung-itung buat sesuap Starbucks."
KAMU SEDANG MEMBACA
Semenjana
Fanfiction[SUDAH DIBUKUKAN] Aku butuh rumah. Untuk menetap, untuk berteduh. Bukan sekadar singgah melainkan sungguh. ☽ / / antologi bumi raya, COMPLETED