035.

3.4K 645 130
                                    

aku pernah (dalam konteks bercanda) bilang bakal apdet setelah 300 votes ... ternyata bener-bener baru bisa apdet pas lebih 300 votes ... shhshshsjsjs

semoga ini tidak terlambat.

happy reading!

Bagian 35: Luka Paling Sentosa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Bagian 35: Luka Paling Sentosa

Ibu baru saja selesai mengepak barang-barang yang dibawa dari rumah sakit, sore itu masih terasa lenggang dengan keadaan rumah yang terasa sepi. Putri bungsunya telah kembali pulang tapi dari yang sering mengoceh berubah jadi pendiam. Masih teriris hatinya kadang bila mengingat salah satu warna dalam hidup Ayuna telah direnggut. Ibu tak bisa lagi menyanyikan senandung turun-temurun keluarga mereka, pun tak bisa jua membisikkan doa-doa ke telinga kanan sang putrinya.

Namun, ada yang berubah.

Ayuna Nafara Lembayung, putri bungsunya itu bergeming semenjak mereka meninggalkan rumah sakit. Hari-harinya berada di kotak dengan dinding-dinding putih juga lantai marmer itu membuat Ayuna menjadi sosok yang pediam. Kadang tafakur memandang dinding dingin kamar rumah sakitnya. Ibu coba pancing dengan kesukaan putrinya seperti alat menggambar dan benang rajutan, tapi responsnya minim sekali. Hanya dibalas senyum tipis dan tatap yang tak bisa Ibu artikan.

Ayuna juga didapatinya tengah membaca surat yang sama, berkali-kali, bahkan jika kertasnya telah lecek akibat dilipat-lipat sehabis dibaca. Gadis dengan helai-helai gelita itu akan membacanya huruf perhuruf, kata perkata, di tiap kalimat yang ditulis di kertas tersebut. Dengan tatap teduh dan kepala yang sedikit menunduk. Dan jika telah selesai, ia akan melipat-lipat kertas itu dengan helaan napas yang kelewat kentara.

Pernah Ibu menyuruh Gisel untuk bertanya, dan Gisel pun tak kalah bingung mendengar jawaban Ayuna.

"Dia bilang sayang kalau diremas atau disobek," lapor Gisel, menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Mungkin isinya bikin dia marah? Aku nggak paham ... kalau emang bikin dia emosi kenapa masih dibaca berulang kali?"

Mungkin itu pula yang dipikirkan Ayuna.

Amplop yang diberikan Haidar padanya sore itu masih utuh, tak kurang suatu apapun. Masih bertuliskan kalimat pujangga milik Sapardi Djoko Damono, yang tulisannya begitu familier di mata Ayuna. Tulisan pemuda dengan sepedanya yang sering membawa Ayuna pergi melintas senja. Dengan suara merdu yang sering melantukannya lagu di atas sepeda atau di kala malam ketika kantuk melanda. Pemuda yang sering jadi tempatnya berkeluh-kesah, mencurahkan isi hatinya tentang kenapa hidup begitu rumit sebagai anak remaja.

Memberitahukan si pemuda bahwa takdir suka menjahatinya, mempermainkannya, membuatnya bersedih atas sesuatu yang bukan kuasanya.

Jangan menangis.

Kita bisa tersenyum.

Dalam memorinya, pemuda itu tumbuh bersamanya. Dari kejadian bersejarah di kelas 10 dan kerumitan di kelas 11 akibat sebuah salah paham yang berbunga pernyataan perasaan dan satu kata 'jadian'. Tapi tidak, sekonyong-konyongnya, Ayuna tidak pernah mengira apa yang ada dengannya dan Dimas akan semudah ini diurai hingga kemudian dicerai-berai.

SemenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang