023.

6.2K 1.2K 423
                                    

2124 words. rekor terbaru aku loh ini hshshsjs moga aja kalian suka

aku tahu kalian ngerti cara menghargai♡

well, enjoy reading!


Bagian 23: Malam, Mau Mendengarkan?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bagian 23: Malam, Mau Mendengarkan?



Suara api unggun yang merayap bagai rintik itu terdengar, meliuk-liuk pada langit malam. Terdengar pula tawa-tawa samar, bersahutan, silih berganti. Ditemani semilir hening angin menuju jam satu, para panitia yang berjaga di sekitar api unggun itu asyik membakar sosis dan jagung yang diberi mentega. Saling bertukar cerita.

Lain lagi dengan suasana balkon di lantai dua, menghadap langsung pada bumi perkemahan dengan tenda-tenda yang berjejer rapi. Dimas mengedarkan pandang, jauh ke depan. Menatap langit Kalimantan yang tengah terang tanpa awan, menampilkan bintang dengan segala coraknya yang indah dan elegan. Mendengar derap langkah yang semu membuat jantungnya berdegup kencang. Siap, Dimas. Bismillah. Begitu batinnya pada diri sendiri, membalikkan tubuh sepenuhnya pada suatu figur dengan kardigan putih gading yang terbalut di raganya.

Dan Dimas tersenyum tipis. "Met malam, Yun."

Ayuna hanya membalas dengan tatapan yang tidak bisa Dimas artikan. Bukan penuh amarah atau kecewa, tidak seemosional tadi sore, di mana mereka bersiteru di belakang penginapan. Ledakan perasaan yang ditampilkan gamblang oleh si pujaan hati menyadarkan Dimas, seketika itu juga.

Maaf sudah jadi pecundang.

Tapi untuk saat ini, maafnya masih ia simpan dalam hati. Ia biarkan Ayuna mengambil duduk di kursi rotan sebelah kiri, menyisakan kursi rotan lainnya di sebelah kanan, dipisahkan oleh meja kaca dengan tanaman kecil di tengahnya.

"... Aku bawa cemilan," ucap Ayuna, hampir ditelan malam. Dengan (sangat—super—tolong Dimas segera) menggemaskan si gadis mengeluarkan beberapa snack ringan. Dimas ingat bahwa si pemilik nama Lembayung itu memang menyetok banyak makanan untuk dibawanya ke sini.

"Hehe, gembul."



"Apa?" Ayuna mengernyit, mendengar lirihan Dimas yang harusnya tidak terdengar.

"Nggak—nggakpapa." Dimas tersenyum kikuk. Akhirnya memutuskan untuk mengambil duduk.

Aduh, canggung maksimal.

Hanya terdengar suara tawa dan lontaran ejekan dari bawah, tempat api unggun di mana anak-anak membakar makanan sekaligus kenangan. Dimas menggaruk tengkuknya, jelas tak nyaman. Ia tidak pernah terlibat perkelahian yang bertajuk perasaan dengan siapapun. Mungkin pernah—sama pacar SMPnya dahulu. Tapi kan, keadaan sudah berbeda. Dahulu hanyalah cinta monyet yang tak jelas. Sekarang, ia harus bisa dewasa dalam keadaan seperti ini. Keadaan sekarang, membuat Dimas sadar pula, dirinya belum dewasa sepenuhnya.

"Jadi?" tanya Ayuna memecah sunyi.

Bibir Dimas tersenyum, namun matanya tidak. "Kamu mau mulai dari mana?"

SemenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang