008.

9.3K 1.8K 649
                                    

Bagian 8: Laksaraya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bagian 8: Laksaraya.

Kak Dimas pamit, bawa tas ransel sama tas jinjing. Dengan muka seperti setengah semangat hidupnya baru saja direnggut, dan bibir yang tidak berhenti menggumam kesal. Datang-datang ke rumah Ayuna sekitar pagi Senin bersama sepeda usang milik sang bapak. Mengetuk pintu rumah sederhana dengan kayu mahoni sebagai pondasi, berseru pelan. "Assalamualaikum," salam Dimas di pagi hari. Menunggu si pemilik rumah dengan senyum bagai gula-gula itu untuk membukakan.

"Waalaikum salam ... Siapa ya?" Sialnya, Dimas mungkin sudah amnesia. Ia lupa kalau rumah itu dihuni 4 penghuni ; sang ayah, sang ibu, kakaknya, baru Ayuna. Dengan karakteristik yang berbeda-beda dan hanya Dimas kenal melalui cerita si gadis tentang keluarganya.

Dan balasan sapa itu jelas bukan suara Ayuna, bukan. Dimas begitu kenal nada suara Ayuna yang cenderung memelan untuk sekadar sopan. Dimas kenal lini suara Ayuna yang terbiasa menyapanya dengan riang. Dan yang jelas, itu suara bapak-bapak.

Mati aku, ayah mertua.
Bisik Dimas dalam hati membuat si pemuda kehilangan atensi. Beberapa detik hanya dilalui hening sampai pria paruh baya yang diduga ayah Ayuna itu kembali buka suara, "Cari siapa ya?"

"Oh—Ayunanya ada ... Om?" Dimas kembali ke dunia nyata, berujar dengan agak gugup. Desir jantungnya ribut.

Sang ayah terpaku sebentar, mengernyit samar. Lalu mengangguk dan mempersilakan Dimas untuk masuk. Tentunya dibalas si pemuda dengan gestur menolak sungkan, lagi pula, ia tidak berniat lama-lama. "Masuk aja, mau ngobrol lama, 'kan?" nadanya agak memaksa, ayah Ayuna terlihat kaku persis seperti si gadis. Juga keras kepala—seperti si manis. Aish.

"Nggak, Om, saya cuman mau pamit," tolak Dimas dengan halus, karena ia benar-benar hanya berniat untuk pamit. Takut, di destinasinya nanti susah sinyal, berakhir dengan Ayuna yang mencarinya seperti anak hilang. Ayahnya lalu terdiam, seperti berpikir. Gerigi otaknya jelas digerus bekerja, memproses sesuatu. Sebelum si pria paruh baya menyeru ke dalam rumah,

"Yun ...! Iki pacarmu mau pamitt!!"

Astagfirullah al adzim.








Ayuna menumpuk berkas-berkas di ruang OSIS dengan telaten. Tangannya mengambil sapu di ujung ruangan dan mulai melakukan sebuah kegiatan amal. Rata-rata kakak kelas OSISnya pergi untuk sebuah karya wisata di luar kota. Sebenarnya itu lumayan menyenangkan tapi Dimas, hingga detik terakhirnya tetap saja menyumpah serapah. Tidak ada minatnya sama sekali. Si gadis juga ingat bagaimana Dimas langsung membentangkan tangan di depannya. Dikira minta dipeluk, ternyata Dimas malah bilang, "Bentar, aku mau hirup udara di sini untuk terakhir kali. " Dramatis.

Ponselnya bersuara, menampilkan pesan dari kak Tara dengan sebuah semat gambar yang menampilkan Dimas tengah menganga di hadapan sebuah bis.



Tara Gunawan

Tara Gunawan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SemenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang