002.

22.9K 3.5K 633
                                    

fyi star blossom emang lagu insp utama ff ini hshshshsh mY HEART

fyi star blossom emang lagu insp utama ff ini hshshshsh mY HEART

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bagian 2: Dimas Nawasena.

Malam ini bintangnya bertabur dengan cuma-cuma. Sebuah lukis angkasa indah yang tersedia pada hari selasa. Langitnya juga cerah, tidak ada awan yang menghalau sinar dari si nona bulan.

Ayuna sudah tersenyum senang di teras rumahnya—sambil digigiti nyamuk, sebenarnya. Karena ia malas menyalakan obat nyamuk bakar. Lagi pula, jemputannya sebentar lagi datang.

"Yunnn!"

Bahagianya cuman sebentar rupanya. Karena berikutnya, terdengar suara sumbang milik sang Ibu. Senyumnya luntur dan berubah menjadi datar.

"Iyaaaaa Bu?"

"Jalan sama Kak Tara kan?"

Ayuna meneguk ludah, mengatup bibirnya rapat-rapat. Ia menggaruk tengkuknya dengan canggung. Ibunya memang tidak bisa melihat ekspresi 'tercyduk'-nya saat ini. Ibunya malas keluar, banyak nyamuk katanya. Jadi mereka saling bersahutan dengan dinding rumah sebagai penghalang. Ayuna pun menyahut, "Iya Buu, dijemput Kak Tara!"

Dalam hati Ayuna sudah memohon-mohon maaf pada Kak Tara, teman Kak Dimas yang juga satu teman di organisasinya itu. Si ganteng dengan tatapan satpam namun hati tak lebih dari taman mawar. Iya, Kak Tara memang se-soft itu orangnya.

Enggak kayak Kak Dimas, galak. Eh.

"Pake mobil kan?"

Ayuna merotasikan matanya dengan malas. Gadis kelas 2 SMA itu menghela napasnya keras-keras. "Bukan Buu, pake kereta kencana!" Ibunya tidak pernah nonton film Dilan 1990 sepertinya. Di situ kan, Milea dan Dilan romantisan di atas motor, bukan mobil.

Sepersekian detik, Ayuna menangkap siluet yang ia kenali. Seperti si pemuda bergigi kelinci yang galaknya seperti rentenir. Si hawa pun mengetuk pelan jendela rumahnya. "Ibuu, Ayuna berangkat!"

"Iya, salamin sama Kak Tara!"

Iya Bu, ntar di salamin. Assalamualaikum dan wassalam, cuman bisa lewat pesan, batin Ayuna dalam hati. Langkahnya berderap di antara tanah yang masih basah sehabis hujan.

"Assalamualaikum," Ayuna tersenyum lebar sembari membuka pagar, memperlihatkan geliginya, riang. Jika pencahayaan tidak minim, mungkin bisa dilihat wajahnya yang berseri.

"Eh, waalaikum salam," balas Dimas yang masih berada di sepedanya. "Bentar, mau pamit sama ibu kamu dulu." Dimas sudah beranjak dan bersiap memarkir asal sepeda usangnya namun langsung dicegat oleh si gadis, dengan tinggi yang hanya mencapai dadanya.

"Nggak," sungut Ayuna, merengut. "Enggak inget terakhir Kakak pamit sama ibu gimana? Aku nggak suka Kakak direndahin gitu ..."

Dimas terdiam. Ah, bohong kalau ia bilang ia tidak sakit hati. Masih terngiang jelas di memorinya bagaimana interogasi ibu si gadis di depannya ini. Apalagi saat melihat Dimas membawa sepeda bersahaja. 17 tahun hidup sebagai Dimas Nawasena, tidak pernah ia merasa lebih rendah daripada tanah. Dimas selalu diajarkan untuk tetap mengangkat kepalanya tinggi-tinggi. Tetap berprospek, tetap memiliki pandang.

Dimas hanya bisa mengembus napasnya. "Aku nggak mau bawa kabur anak orang malam-malam tanpa izin yang punya, Yun."

"Nggak, nggak mau!" ujar Ayuna lagi, keras kepala. "Jangan, nanti—"

"Yun." Dimas berujar lagi dengan nada rendah, "Biar gimana pun, kamu milik keluarga kamu. Kita individu yang berbeda Yun, nggak terikat apa-apa. Sedangkan kalian masih diikat hubungan darah. Aku nggak mungkin bawa kabur kamu tanpa izin kan?"

"Nggak pernah Mama aku ajarin buat jadi laki-laki penakut," ujar Dimas lagi, mengusak helai gelita milik Ayuna. "Iya Yun, aku emang anak mama. Jadi, biarin aku lakuin apa sesuai kata Mama aku ya?"

Ayuna hanya bisa tertegun.

Sebenarnya, kalau ada yang bertanya apa status di antara dua insan yang saling melengkapi itu, jawaban mereka begitu rancu. Dimas hanya akan menjawab dengan untaian singkat yang sederhana, "Nggak, kok." sedang Ayuna hanya akan tersenyum atau tertawa. Hal itu benar, tidak pernah ada peresmian status di antara keduanya. Kakak-adek, pacar, atau sejenis hal-hal yang menjurus menuju komitmen dan opini perasaan.

Mereka, sederhananya, hanya dua individu yang berbeda. Kebetulan bertemu di lajur yang sama dan bersibobrok pandang pada sesuatu yang sederhana.

Antologi kusam yang tidak perlu diceritakan. Baik Dimas maupun Ayuna bukan tipe yang dengan mudah memberikan sesuatu dalam pikiran mereka. Walau kelihatannya Dimas begitu jujur dan blak-blakan, pemuda tegap itu tetap menyimpan segalanya dalam hati, disaring benar-benar, baru dikeluarkan. Ia tahu bagaimana lisan bisa menyakiti, maka ia selalu berpikir sebelum meluncurkan kalimat-kalimat dari bibirnya.

Sedang Ayuna—tidak usah ditanya. Sebuah gembok yang hilang kunci, Ayuna hanya seseorang yang begitu akrab dengan diri sendiri. Terlalu sering diam hingga ia lupa, ia terperangkap di zona nyaman. Bertemu Dimas yang begitu suka mendobrak stigma tampaknya membuka pandang baru bagi si gadis yang selama lajur hidupnya hanya bisa mengangguk dan mengiyakan.

Ayuna sudah dibentuk sebagai boneka pendiam. Tidak bisa membantah maupun menentang. Sedang Dimas sudah berpikiran matang sejak dini, dorongan dan faktor lingkungan sekitar.

Kadang sebenarnya, Ayuna dengan iseng bertanya.

"Kak Dimas," panggil Ayuna, di boncengan si pujaan hati. "Sebenarnya bagi Kak Dimas, aku ini apa?"

"Adik kelas," balas Dimas, "Manis, baik, sayangnya diem terus kayak punya utang."

Ayuna sontak bingung. "Lah, kok gitu?"

"Nggak tahu. Emangnya deskripsi dari aku salah?"

"Yahh ..."

"Kalau salah, sini. Saling mengenal. Biarin aku kenal kamu sebagai Ayuna Nafara yang sebenar-benarnya."

Oh, gitu.

Dan juga,

"Kak Dimas, kata temen aku, dia salam!"

"Waalaikum salam, balesin ke temen kamu."

"Yang salam tiga orang!"

"Waalaikum salam, waalaikum salam."

"Kak Dimas, assalamualaikum."

"Waalaikum salam, pujaan hati."

Hahaha. Haduh, mama.

Dusta namanya kalau tidak ada rasa di antara mereka. Tidak ada kupu-kupu ribut dalam perut, atau talu gendrang dalam hati. Jelasnya, rasa itu menggelitik, dan kadang meledak bagai kembang api.

Biar mereka meniti kisah, bagai direngkuh hangat oleh semesta. Mari nikmati dengan tenang, seolah memori mereka tidak akan pernah usang.

 Mari nikmati dengan tenang, seolah memori mereka tidak akan pernah usang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


hehe, sejauh ini, kalian suka?

SemenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang