3. Mulai Nyaman?

15.5K 571 6
                                    

Entah ini benar atau salah, tetapi aku telah mulai merasa nyaman dengan kehadiranmu meski tidak seharusnya aku memiliki perasaan itu

~Raezya Erlangga Naratama~

🍂🍂🍂

Zalfa tersenyum setelah menyajikan dua piring nasi goreng juga piring yang berisi telur mata sapi ke atas meja sembari, menu sarapan untuk suaminya pagi ini. Meski pernikahan mereka hanyalah di atas kertas juga hanya sebuah formalitas semata demi mengesahkan bayi yang nanti akan lahir dari rahimnya.

Namun, meski semua itu Zalfa akan tetap melakukan tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri. Seperti yang sudah ibunya ajarkan padanya sejak ia masih kecil. Jika, seorang perempuan yang sudah menikah maka dia harus mengikuti apapun permintaan suaminya selama itu baik dan tidak menyalahi aturan agama. Zalfa selalu mengingat pesan sederhana yang kini akan ia lakukan dengan sepenuh hatinya, walaupun mungkin suaminya tidak menganggapnya istri.

"Mas, sarapan dulu, sudah siap!" Zalfa menghampiri suaminya---dengan senyum manis di bibirnya, yang baru saja keluar dari kamar tamu---sudah siap pergi ke kantornya. Mereka memang tidur terpisah setelah melakukan kewajiban mereka sebagai sepasang suami istri tadi malam.

Elang mendongakan kepalanya yang sejak tadi tertunduk sembari memakai jam tangannya. Entah ia harus bersikap seperti apa kepada Zalfa, mencintainya juga menyayanginya seperti Alena atau mengabaikannya. Jujur saja mempunyai dua istri tidak pernah terpikirkan olehnya sebelumnya.

"Saya sudah terlambat pergi ke kantor jadi saya sarapan di kantor saja!" tolak Elang setelah melihat jam tangan yang melingkar dipergelangan tangan kirinya. Sebenarnya jika untuk sarapan saja ia masih bisa, tetapi Elang tidak ingin menjalin kedekatan dengan Zalfa secara lebih intens. Ia takut terjebak ke dalam pesona senyuman manis sang gadis desa dihadapannya kini. Dan itu pasti akan menyakiti banyak hati.

"Tapi kan biasanya Mas tidak akan pergi keluar sebelum perut terisi makanan," ucap Zalfa setelah mengeluarkan keberanian dalam dirinya demi suamunya. Mengingat kebiasaan suaminya selama ia bekerja sebagai pembantu di sana yang diam-diam selalu ia perhatikan. Zalfa tidak ingin jika Elang sakit karena dirinya.

Elang menghela napasnya kasar. "Saya hanya akan makan jika yang menyajikannya istri saya, Alena. Kamu jangan lupa jika kita hanyalah menikah kontrak jadi jangan pernah mencoba untuk mencampuri kehidupan pribadi saya," tegas Elang. Pria itu yakin jika kata-katanya pasti akan menyakiti Zalfa, tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain.

Senyum Zalfa perlahan memudar susah payah ia menahan air matanya agar tidak mengalir. Ia hampir saja lupa jika dirinya ini hanyalah istri kontrak yang pasti tidak akan memiliki hak apapun kepada suaminya.

"Ma---maaf Mas, saya hanya tidak ingin Mas sakit jika ti---tidak sa---sarapan," tergagap Zalfa berbicara tanpa berani menatap ke arah suaminya. Ia menyesal karena telah bersikap lancang kepada suami juga majikannya.

"Kamu tidak perlu bersikap sebagai seorang istri untuk saya. Lakukan saja tugas kamu dengan baik agar semua ini segera selesai," tutup Elang sebelum ia beranjak keluar dari rumahnya. Perasaan aneh semakin menguasai hatinya saat melihat raut wajah kecewa dari istri keduanya saat ia menolaknya. Namun, Elang juga tidak ingin jika perasaan itu akan semakin dalam setiap harinya.

Selepas suaminya keluar dari rumah Zalfa meluruhkan tubuhnya ke atas lantai marmer putih seraya terisak pilu. Ia tidak menyesali semua keputusan yang ia ambil demi keluarganya. Karena semuanya Zalfa lakukan dengan ikhlas demi untuk membalas semua kebaikan yang kedua orangtuanya lakukan untuknya. Namun, sedikit pun Zalfa tidak pernah menyangka jika akan menikah dengan pria yang sama sekali tidak mengharapkan kehadirannya. Bahkan menjadi istri kedua, salah satu hal yang begitu ia hindari sejak dulu, tetapi kini ialah yang harus terjebak ke dalam pernikahan orang lain.

Marriage ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang