Chapter 26

9.6K 560 105
                                    

Zalfa tersenyum, mengusap pelan pipi merah putri kecilnya yang baru saja suster antarkan padanya setelah ia memohon untuk bisa bertemu putrinya sebentar. Sungguh, ia tidak pernah menyangka jika sekarang ia telah menjadi seorang ibu. Andai pernikahannya bukanlah pernikahan di atas kertas mungkin saat ini akan menjadi hari paling bahagia dalam hidupnya. Memberikan seorang anak perempuan yang begitu menggemaskan untuk suaminya. Melengkapi kebahagiaan pernikahan mereka dengan hadirnya seorang buah hati.

Namun semua itu hanya akan menjadi khayalannya karena pada kenyataannya ia akan kehilangan putrinya sebentar lagi. Putrinya? Apakah ia punya hak memanggil bayi mungil ini sebagai putrinya? Tetapi bukankah dia memang putrinya, ia yang telah mengandungnya. Menahan sakit juga susah tidur hanya demi dirinya. Dan Zalfa tidak akan membiarkan siapa pun merenggut putrinya dari dalam pelukannya.

Zalfa akan membawa putrinya pergi bersamanya. Tidak peduli dengan semua kontrak yang telah ia tanda tangani. Ia tidak akan mungkin merelakan putrinya untuk orang lain hanya demi uang. Apalagi suaminya pun hanya bisa memberikannya janji juga kata cinta palsu untuknya. Ia tidak akan mempercayai suaminya lagi karena ia tahu sampai kapan pun suaminya tidak akan meninggalkan istri pertamanya walaupun ia telah memberikannya seorang putri.

"Jangan takut sayang, Bunda ada di sini! Bunda tidak akan membiarkan kamu direnggut orang lain! Bunda akan membawamu pergi dan kita akan hidup bahagia bersama!" bisik Zalfa ditelinga putrinya yang nampak menggeliat kecil saat ia mengecup lembut pipi merahnya.

Susah payah Zalfa melepaskan selang oksigen yang melekat di hidungnya juga jarum infus di punggung tangan kirinya. Beruntung suster yang membawa putrinya pergi ke ruangan lain setelah dipanggil oleh temannya untuk memeriksa pasien lain. Dengan begitu ia masih memiliki sedikit waktu untuk membawa kabur putrinya sebelum suster itu kembali.

Perlahan, Zalfa berusaha turun dari ranjang rumah sakit sembari menahan sakit di area perutnya bekas operasi yang baru saja ia jalani beberapa jam lalu. Zalfa segera mengambil selimut rumah sakit. Memakaikannya di tubuh mungil putrinya agar tidak kedinginan. Zalfa lantas beranjak keluar dari ruang perawatannya dengan langkah sedikit terseok. Selain ia harus menahan rasa sakit di perutnya, efek dari obat bius operasinya juga belum sepenuhnya hilang ia baru saja sadar beberapa saat yang lalu membuat kepala Zalfa sedikit pusing sehingga ia tidak bisa berjalan normal seperti biasanya.

Sesekali Zalfa berhenti melangkah, bersandar di dinding rumah sakit saat kepalanya semakin pusing juga lukanya terasa sakit setiap kali ia melangkah. Dengan mendekap erat tubuh putrinya agar tidak menangis Zalfa menghela napasnya yang tersengal karena seharusnya ia masih memakai selang oksigen untuk membantunya bernapas.

"Aku harus bisa! Aku enggak boleh lemah, demi putriku aku harus kuat! Ayo Zalfa, kamu pasti bisa! Jangan biarkan kelemahanmu membuatmu kehilangan putrimu!"  Zalfa berbicara dalam hati, menguatkan diri sendiri kala ia melihat pintu keluar rumah sakit yang tinggal beberapa meter lagi dari tempatnya berdiri.

"ZALFA BERHENTI!!!"

Zalfa menghentikan langkahnya saat ia mendengar seseorang menerikan namanya dengan penuh amarah. Ia tahu betul siapa pemilik suara tersebut, suaranya begitu familiar sehingga ia tidak akan lupa siapa pemiliknya. Memejamkan kedua matanya sebentar, Zalfa lantas membalikan tubuhnya melihat ke arah suaminya yang berlari ke arahnya bersama dengan istri pertamanya, Alena.

"Berhenti! Jangan mendekat lagi, aku mohon berhenti! Jangan ambil putriku! Dia putriku dan hanya aku yang berhak atas dirinya!" Zalfa menggendong putrinya semakin erat saat suaminya memperpendek jarak mereka.

Marriage ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang