Chapter 22

9.2K 430 51
                                    

Zalfa terdiam. Duduk di atas bangku putih yang berada di taman yang terdapat di samping villa. Tangannya menggenggam sebuah mug berwarna hitam polos berisi coklat panas yang mulai mendingin terkena angin malam. Setelah dinyatakan hamil oleh dokter Zalfa memiliki kebiasaan baru bangun tengah malam dan baru bisa tertidur setelah ia menikmati segelas coklat hangat yang menjadi favoritnya semasa ia hamil. Namun malam ini berbeda, Zalfa tidak merasa mengantuk padahal coklat dalam gelasnya sudah hampir habis. Pikirannya tengah dipenuhi oleh ucapan suaminya sebelum ia terlelap beberapa jam lalu.

“Aku mencintai kamu, Zalfa! Sangat mencintaimu sampai aku bisa gila saat membayangkan jika aku harus kehilanganmu!”

Ucapan cinta suaminya itulah yang terus menari-nari dengan indah di kepalanya saat ini yang membuatnya tidak bisa tidur. Ia sama sekali tidak menyangka jika suaminya akan mengatakan hal itu karena ia sadar betul bagaimana rumitnya hubungan mereka kini dan tidak mungkin mereka bisa bersama.  Hubungan mereka sangatlah rumit, apalagi suaminya yang tidak akan mungkin meninggalkan istri pertamanya.

Namun begitu Zalfa bersyukur walaupun tidak secara langsung mengatakannya setidaknya Zalfa tahu jika cinta yang ia miliki untuk suaminya tidaklah bertepuk sebelah tangan. Zalfa pun paham mengapa suaminya tidak mengatakannya, pria itu pasti takut memberikannya harapan palsu sebab biar bagaimana pun pernikahan mereka tetap harus berakhir cepat atau pun lambat.

Lagi pula Zalfa juga tidak ingin terlalu berharap banyak. Ia sadar diri jika cinta Elang untuknya pasti tidak sebesar cinta Elang untuk Alena. Kalau pun nanti pria itu di tempatkan pada dua pilihan antara dirinya dan Alena bisa dipastikan jika pria itu akan memilih istri pertamanya. Zalfa hanyalah angin lalu, cinta Elang untuknya sekadar cinta semu tidak berwujud dan tidak terucap tetapi bisa ia rasakan kehadirannya. Layaknya angin malam yang berembus, tidak dapat ia sentuh namun bisa ia rasakan kehadirannya lewat belaian lembutnya menerpa helaian rambutnya malam ini.

"Udara malam tidak baik untuk ibu hamil sepertimu."

Zalfa tersentak kaget dari lamunannya saat mendengar suara khas suaminya disertai usapan lembut dipucuk kepalanya. Spontan kepalanya mendongak menatap suaminya yang berdiri di belakangnya sembari tersenyum manis ke arahnya sebelum pria itu duduk di sampingnya.

"Apa yang kamu pikirkan, hmm?" tanya Elang menarik lembut kepala sang istri agar bersandar di dada bidangnya.

Zalfa menggelengkan kepalanya, memejamkan kedua matanya merasakan lembutnya usapan tangan suaminya di kepalanya yang membuatnya merasa sangat nyaman.

"Apa kamu sedang memikirkan pria yang tadi siang mencium kening kamu di cafe?" tebak Elang dengan nada sedikit emosi. Rasanya Elang masih tidak terima ada pria lain yang menyentuh istrinya selain dirinya.

Zalfa tersenyum kecil, ia dapat merasakan kecemburuan suaminya dari setiap nada bicaranya.

"Tidak ada yang lucu Zalfa. Mas itu sedang bertanya bukan sedang melawak jadi kamu tidak perlu tersenyum begitu," ucap Elang semakin kesal, tangannya terhenti mengusap kepala sang istri membuat Zalfa membuka kedua matanya.

Zalfa kembali tersenyum, ia mengubah posisinya menjadi menghadap sang suami. Digenggamnya tangan Elang, mengusap punggung tangannya dengan lembut. "Namanya Aditya, Zalfa sudah tidak memiliki hubungan apa-apa lagi dengannya sejak dia memutuskan pergi meninggalkan Zalfa tanpa memberikan kepastian hubungan kami. Dan tadi siang Zalfa tidak sengaja bertemu dengannya, itu pertemuan pertama kami setelah kami memutuskan untuk mengambil jalan hidup kami masing-masing," jelas Zalfa. Ia tidak ingin jika sang suami terus salah paham tentang hubungannya dan Aditya.

Marriage ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang