07. Blood Controller

4.3K 258 4
                                    

.

.

Kabut hitam menguar memenuhi sebuah ruangan. Ruangan megah dengan setumpukan buku yang kian tinggi menjulang. Memenuhi setiap sisi hingga hanya satu sudut yang tersisa. Sudut itu diisi oleh kursi panjang mirip dengan sofa, namun lebih elegan. Berhias batu safir dan pahatan berwarna perak.

Di sana, gumpalan kabut mulai memudar bagaikan asap yang tertiup udara. Meninggalkan sosok pangeran tampan di baliknya. Dengan manik rubi yang berkilat menawan. Berpadu dengan kulit seputih batu pualam dan surai perak yang mengagumkan.

Pemilik tubuh tegap berbalut jubah kerajaan serba hitam dengan hiasan rumit bagaikan akar-akar emas merayap di dada kirinya. Sedang batu kristal dikelilingi kerlipan emas di dada kanannya.

Zean, sang putra kegelapan memutar pandangan. Mencari sosok yang sejak tadi tak dapat tertangkap oleh manik darahnya. Padahal sudah lima ruangan di kastil timur ia dobrak pintunya, tapi orang itu sama sekali tak tampak meski hanya auranya.

Orang? Bukan.

Lebih tepatnya sang pangeran iblis kedua, Damarion Rensford yang keberadaannya seperti kilatan petir yang menyambar kemudian menghilang tanpa meninggalkan jejak.

Kalau kata anak jaman sekarang, 'Datang tak dijemput-pulang tak diantar'.

"Paman, kau di sini?"

Suara Zean menggema di perpustakaan milik istri sang paman. Dari apa yang ia dengar, pamannya itu lebih sering mengurus sang istri idaman dibanding urusan tata pemerintahan.

Pantas, ayahnya meraung keras saat terakhir kali mereka bertatap muka. Namun saat itu pun, wajah Damarion tetap lempeng-lempeng saja.

"Sepertinya Pangeran Damarion juga tidak ada di sini, Pangeran."

Suara seseorang membuat Zean menoleh di balik punggungnya. Melirik sekilas sebelum kembali menatap ke depan, memikirkan berbagai kemungkinan.

"Apa tidak sebaiknya kita langsung ke kastel utama saja?"

Suara itu kembali menginterupsi dirinya. Tapi sang putra mahkota tetap diam. Apa yang sedang ia pikirkan? Bahkan Caius yang kini berada di belakangnya tak dapat menebak.

Hanya beberapa saat, Zean kembali menoleh ke belakang.

"Kau, tunggu di sini," ucapnya kemudian menghilang dalam sekejab mata.

Caius yang hampir menyuarakan pertanyaan pun tak diberikan kesempatan, terpaksa kembali menutup mulut karena yang diajak bicara tiba-tiba menghilang begitu saja.

Menatap sekelilingnya bosan, akhirnya Caius memilih duduk di kursi sudut ruangan. Menyenderkan kepala dengan tatapan ke atas menatap awang-awang.

Selagi tuannya tidak ada, ia mengeluarkan secarik kain perak yang ia simpan di balik jubahnya.

Membuka lipatan kain itu perlahan, manik coklatnya terfokus tanpa peduli keheningan yang menyapa.

Sebuah benda kecil berwarna hitam legam dengan bentuk menyerupai  limas  segi empat melayang di depannya. Berputar perlahan dengan cahaya yang menguar temaram.

Caius mengerutkan kening. Mencoba menelisik barang yang ia temukan di rumah Florensia saat pria itu menyelidiki tuan dan nyonya Cornell yang tiba-tiba menghilang. Tapi, karena ia sendiri tidak tahu apa itu sebenarnya, Caius mengurungkan niat untuk memberi tahu Zean.

Biarlah dia mencari tahu dulu benda apa yang ia temukan. Berasal dari mana, dan siapa pemilinya. Satu hal yang pasti, benda itu tak mungkin dimiliki manusia biasa.

                      ******

Muncul kembali di depan suatu ruangan, Zean menyentak ujung jubahnya ke belakang. Maniknya menelisik singkat pintu raksasa yang masih tertutup rapat. Ini adalah ruangan terakhir di mana kemungkinan terbesar pamannya berada.

The DEVIL'S WOMAN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang