29. Rebel

1.5K 90 46
                                    


.

.

.

Zean termenung di ruang tamu mansion sang ibunda. Duduk dengan kepala menunduk dan jari tangan saling bertaut. Punggungnya membungkuk, menyembunyikan kebimbangan akan apa yang harus ia pilih nanti.

Sang putra mahkota menarik napas dalam, memejamkan mata guna mencari sedikit ketenangan. Namun otaknya masih saja menentang kenyataan, memaksa untuk dianggap sebatas imajinasi semata, mimpi terburuk disela-sela keabadiannya yang kini mulai terasa menyesakkan.

Bunyi 'ting!' pada meja di depannya membuat manik rubi itu kembali terbuka. Kepalanya menengadah, menatap sebuah cangkir dengan cairan kental kecoklatan yang masih mengepulkan asap. Lebih mendongak, Zean mendapati Caius yang tengah berdiri di seberang meja dengan satu tangan ia ditekuk ke depan sembari menunduk hormat.

"Saya kembali, Pangeran."

Zean mengangguk kecil. Kembali menunduk seraya memejamkan mata seperti sebelumnya.

Caius hanya menatap dalam diam, merasa bersalah karena baru tiba sekarang. Jika saja ia tahu akan jadi seperti ini, ia akan menolak untuk menggantikan Aylmer mengurus kerajaan Asmodeus untuk sementara, sekalipun pangeran ketiga memaksa.

Caius bahkan tak menyangka jika masalah yang sedang dihadapi tuannya akan jadi sepelik ini. 'Florensia' nama itu bahkan tak masuk dalam daftar orang-orang yang ia curigai.


"Saya dengar susu coklat dapat menenangkan pikiran. Mungkin anda bisa mencobanya." Suara Caius kembali memenuhi ruangan yang sejenak sesunyi pemakaman. Lengkap dengan hawa dingin dan aura suram yag terpancar dari tubuh sang tuan.

Zean menghembus napas, kasar. Beralih menyandarkan punggung tegapnya pada sandaran sofa. Mengangkat tangan guna menutupi kedua matanya. Ia dilanda kekalutan yang luar biasa.

"Apa yang harus aku lakukan, Caius? Apa yang harus ku lakukan sekarang?" Suara serak Zean membuat Caius menatap lebih lekat.

Caius diam. Wajahnya menyiratkan luka yang sama meski dengan sebab yang berbeda. Sedikit banyak, ia tahu apa yang membuat Zean seterpuruk sekarang.

Jika Zean memilih untuk melindungi Sia, maka ia harus siap dengan segala resikonya. Karena itu sama saja ia membiarkan sebilah pedang terhunus di depan dadanya. Maju sedikit saja, Zean bisa kehilangan nyawa. Tapi jika memilih melenyapkan. Sanggupkah ia?

"Saya--"

"Bagaimana aku harus bersikap saat bertemu dengannya? Apa aku harus tersenyum seolah tak tahu apa-apa? Atau aku harus langsung melenyapkannya saat itu juga? Atau tiba-tiba menghilang dan menganggapnya tak pernah ada?" Zean tersenyum pilu dibalik lengan tangan yang masih menutup manik rubinya. "Katakan, Caius, aku harus apa?"

Caius semakin bingung saat diberondong dengan pertanyaan yang ia sendiri tak tahu jawabannya.

Sejenak, Caius diam sebelum menjawab, "apa anda benar-benar mencintai nona Florensia?"

Kini ganti Zean yang diam. Namun bukan karena menimang atau tak dapat menjawab. Karena dibalik kebungkamannya pun pertanyaan Caius sebenarnya sudah terjawab. Dan Caius menyadarinya.

"Sebelum kembali, saya sempat mampir ke kastil barat. Bertemu dengan Pangeran Aylmer yang saat itu sedang menatap kedua potongan kristal obsidian," Caius menjeda. Berhenti sejenak untuk kembali menimang apakah harus melanjutkan kalimatnya atau tidak.

Sejujurnya, ia sendiri tengah dilanda kebimbangan karena Aylmer memberinya saran yang membuatnya tercengang. Setidaknya untuk keadaan tuannya sekarang. Zean yang baru saja mendapatkan kembali kekuatannya setelah terluka cukup parah.

The DEVIL'S WOMAN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang