21. Poison Roses

1.4K 115 1
                                    

.

.

.

Kabut hitam menyeruak bersamaan dengan angin malam yang berembus kencang sesaat. Diiringi rinai hujan yang turun semakin lebat saat kabut itu melayang melewati sebuah jendela yang terbuka. Menerbangkan kelambu tipis, membuatnya semakin basah oleh rintik hujan.

Kabut itu membumbung dan berputar layaknya sebuah tornado. Kemudian memudar, menampilkan sesosok pria dengan surai panjang yang berkibar pelan. Menghadang sinar remang sang rembulan dengan punggung tegapnya, merefleksikan bayangan sepasang sayap legam yang mengepak di balik punggung dengan kedua tanduk di atas kepalanya.

Pria tampan dengan kulit sepucat pualam, sedingin es yang membekukan. Rahang tegas dan dagu lancipya masih meneteskan butiran hujan. Manik kelabunya menatap datar, begitu menghanyutkan.

Kemeja hitam yang dikenakannya tampak menerawang. Mencetak jelas dada bidang dan perut sixpack karena deraian air hujan. Sementara surai legamnya kuyup, menjatuhkan tetesan air yang masih melekat dan tertinggal di setiap helaian.

Sungguh, berterima kasihlah pada hujan yang tiba-tiba turun di malam hari. Karena berkatnya kalian bisa melihat tubuh indah Damarion tanpa terpental oleh bola api miliknya.

"Hahh ...." Dada bidang itu terangkat. Bibirnya meloloskan desah yang menguarkan asap tipis, penanda hawa dingin tak biasa yang mengiringi kedatangannya.

Damarion melirik melalui ekor mata. Memperhatikan bulir kristal yang tampak mengembun di ujung surainya. Mengangkat tangan kiri sebatas bahu lalu menjentikkan jari, Damarion menyeruakkan cahaya kebiruan yang berpendar dan menghilang dalam satu kedipan mata. Setelah cahaya itu lenyap, tubuhnya telah kembali kering seperti sedia kala.

Melirikkan manik kelabu untuk yang kedua kalinya,  Rion kini menoleh ke belakang. Menatap rintik air yang masih membasahi malam meski sudah tak terlalu deras. Maniknya menyipit, lalu terdengar sebuah decakan.

"Benar-benar menyebalkan," ucap Rion seraya menarik kembali tatapannya.

Di antara suasana sunyi sebuah kamar temaram yang hanya berhias sederet lampu-lampu kecil yang mengerlip memanjang, manik kelabu itu berkilat keemasan. Menatap lekat setiap sudut ruangan di depannya. Dari butiran debu yang tak terlihat oleh pandangan manusia, hingga hewan-hewan kecil yang bersembunyi di antara celah dinding.

Bagus. Karena itu berarti Damarion belum terlambat. Ia datang lebih dulu sebelum sang kakak melakukan hal mengerikan yang akan membuatnya semakin sakit kepala, karena Rion kini terjebak di antara ayah dan anak yang sama-sama gila.

'Aku ingin kau melindunginya ... hingga akhir.'

Damarion memijat pangkal hidung pelan. Mengingat ucapan Zean saja sudah membuat kepalanya nyut-nyutan.

Dan di sinilah dia sekarang. Menerobos masuk lewat jendela kamar seorang gadis remaja di tengah malam. Sementara pemilik ruangan masih bercengkrama bersama buaian mimpi indah di balik selimut tebalnya.

Di balik kegelapan, Damarion mulai melangkah. Mendekat ke arah Florensia, sang gadis yang membuat Zean sampai berani membawa posisi Putra Mahkota sebagai ancaman di depan iblis terkuat dunia bawah.

Rion berhenti di sisi ranjang, raut datarnya masih tak berubah. Menatap lekat wajah cantik yang terlihat tenang dan anggun, tanpa menyadari apa yang akan terjadi dalam kehidupannya karena terjerat oleh benang merah milik sang Putra Mahkota kegelapan.

"Apa yang membuatmu istimewa hingga bocah itu berani menantangku hanya untuk meminta perlindungan untukmu?" Rion memiringkan kepala, bermonolog tanpa adanya jawaban atas pertanyaan yang ia lontarkan.

The DEVIL'S WOMAN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang